Islamologi

Merayakan Spirit Maulid Nabi

Kiranya sudah masyhur, apabila Maulid merupakan bulan dirayakannya hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Sebagai perayaan hari kelahiran, Maulid bukan sekadar perayaan hari ulang tahun biasa. Ada spirit luar biasa yang tentunya harus dihayati dan senantiasa digelorakan oleh seluruh umat muslim yang merayakan Maulid.

Di Indonesia, tanggal 12 Rabiul Awal telah ditetapkan sebagai “tanggal merah” dan kulminasi perayaan Maulid Nabi. Sebagai hari besar keagamaan Islam yang menjadi hari libur nasional, segala pro-kontra yang mengiringi perayaan Maulid tentunya juga menjadi sorotan bersama. Polemik pro-kontra perayaan hari kelahiran Nabi Muhammad masih saja terjadi tiap tahunnya. Bahkan, seiring merebaknya kelompok fundamentalis dan ekstremis di Indonesia, suara-suara yang menggaungkan Maulid adalah amaliah bidah yang haram pun kian lantang. Mereka berdalih bahwa di dalam al-Quran dan Hadits tidak ada anjuran agar umat Islam merayakan Maulid Nabi Muhammad SAW. Padahal, jika mau jeli dalam mengobservasi, al-Quran maupun al-Hadits telah menyuratkan dan menyiratkan anjuran agar umat Islam bergembira serta merayakan Maulid Nabi.

Termaktub dalam al-Quran surat Yunus, ayat 58: Qul bifadhlillahi wa birahmatihi fabidzalika falyafrahuu; Katakanlah (Muhammad) “Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu semua mereka bergembira.” Dari QS Yunus ayat 58 tersebut, kita dianjurkan untuk bergembira dengan adanya karunia dan ramat Allah yang turun kepada kita. Padahal, termasuk karunia dan rahmat Allah yang paling agung adalah lahir dan diutusnya Nabi Muhammad kepada kita umat muslim. Ini sebagaimana keterangan dalam kitab Tafsir Ruuhul Ma’aani juz VIII halaman 41, karya Syekh al-Alusi: “Wa akhraja Abu al-Syaikh ‘an ibn ‘Abbas radliyallahu ‘anhuma, annal fadhla al-‘ilmu wa al-rahmatu Muhammadun SAW; Imam Abusysyekh mengeluarkan (meriwayatkan) dari Sahabat Ibnu Abbas Radhiyallaahu Ta’aalaa ‘Anhuma, “Sesungguhnya al-Fadhl (karunia Allah) adalah ilmu dan sesungguhnya al-Rahmah (rahmat Allah) adalah Nabi Muhammad SAW.”

Sementara sudah mafum bagi kita semua, bahwa Nabi Muhammad SAW memang sebuah rahmat terbesar bagi kita semua, bahkan bagi alam semesta. Ini sebagaimana keterangan dalam al-Quran surat al-Anbiya ayat 7: “Wama arsalnaaka illa rahmatan lil’alamiin; Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam.”

Dalam sebuah Hadits, sebagaimana yang diriwayatkan Imam Hakim dalam kitab Mustadrak Shahihain, Juz 1 halaman 91, Nabi Muhammad bersabda: “Ya ayyuhannasu innama ana rahmatun muhdatun; Wahai manusia, tiada lain bahwa aku ini adalah rahmat yang dihadiahkan (oleh Allah untuk kalian).”

Dari penjabaran beberapa dalil di atas, status Nabi Muhammad SAW sebagai rahmat bagi manusia dan alam seisinya kiranya adalah suatu realita yang valid. Jadi sudah sepantasnya kita umat muslim berbahagia dan merayakan rahmat terbesar tersebut, sekaligus sebagai manifestasi atau implementasi dalil dalam al-Quran.

Pada tataran praksis, perayaan Maulid Nabi secara masif memang tidak terdapat pada zaman Nabi Muhammad SAW, zaman Sahabat, maupun masa Tabiin. Namun, sebenarnya Nabi Muhammad sendiri merayakan hari Maulid (baca-kelahiran)nya dengan cara berpuasa setiap hari Senin. Perayaan Nabi atas hari lahirnya itulah yang termasuk “hari Allah” sehingga merayakannya juga merupakan implementasi perintah Allah SWT. Lebih spesifiknya, perayaan Maulid oleh mayoritas ulama diyakini sebagai bagian dari pokok syariat Islam dan juga implementasi firman Allah dalam surat Ibrahim ayat 5: “Wa dzakkirhum bi ayyamillah, inna fi dzalika la aayatin likulli shabbaarin syakuurin; Dan ingatkanlah mereka kepada hari-hari Allah, sungguh pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi setiap orang yang penyabar dan banyak bersyukur.” (QS.14.5).

Dalam kitab Tafsir Ibn Katsir, yang dimaksud hari-hari Allah yang harus senantiasa diingat, bahkan dirayakan adalah hari dimana manusia mendapat nikmat besar. Jadi kapan pun manusia mendapat nikmat sangat besar dari Tuhan, maka ia diharuskan untuk mengingat, bergembira dan merayakannya. Berpijak dari ayat ini, umat Islam kemudian dianjurkan merayakan momen Maulid, Nuzulul Quran, Rajab, dan momen-momen besar lainnya.

Dari sisi histori, satu riwayat menyebutkan bila Maulid pertama kali dilakukan oleh Shalahuddin al-Ayyubi, seorang sultan dari dinasti Mamalik Mesir, yang menjadi panglima pasukan Islam dalam perang Salib. Maulid bukan berasal dari tradisi Syiah, sebagaimana dituduhkan para ustadz yang anti dan benci pada perayaan Maulid Nabi. Syahdan, perang antara umat Islam dengan umat Kristen Eropa waktu itu berlarut-larut dan tidak jua muncul pemenangnya. Singkat cerita, kemudian turun fatwa jihad dari Paus Roma untuk seluruh pengikut Kristen Eropa. Imbasnya, orang-orang Kristen Eropa pun berbondong-bondong menyerbu daerah Islam kawasan Syria dan semangat perangnya kembali bergelora. Melihat realitas itu, Sang Sultan dinasti Mamalik berkebangsaan Kurdi itu lantas menitahkan untuk membuat peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad guna membakar semangat patriotisme umat Islam agar terlecut memenangi perang Salib.

Sultan al-Ayyubi memang terkenal cerdik dan bijaksana. Ia pintar membaca situasi dan berkeyakinan bahwa kemenangan perang tidak sekadar mengandalkan kekuatan pasukan dan strategi. Ada hal lain yang tak kalah penting, yakni semangat juang dalam perang yang harus selalu dipertahankan, bahkan ditingkatkan.

Berawal dari kecerdikan serta kepintarannya itulah Islam akhirnya memperoleh kemenangan. Dari sini, momen peperangan dan perayaan Maulid bisa ditarik benang merah yang patut untuk ditampakkan serta digelorakan. Yakni adanya spirit implementasi ruh agama dan spirit cinta yang ketika bergelora, akan berimbas positif ke segala lini.

Merayakan Maulid Nabi sendiri adalah sebentuk ekspresi suka cita atas kelahiran Nabi Muhammad SAW. Perayaan Maulid dikategorikan amaliah positif, karena merupakan salah satu bukti cinta kepada Rasulullah. Menurut keterangan dalam HR. al-Bukhari dan statement Ibnu Rajab, rasa cinta termasuk dari pondasi keimanan. Kecintaan atas Nabi Muhammad itu melengkapi rasa cinta kepada Allah, sebagaimana anjuran dalam QS. al-Taubah ayat 24. Apalagi, Rasulullah sendiri adalah seorang utusan Allah sekaligus rahmat bagi semesta alam yang mana umat manusia dianjurkan untuk menyambutnya gembira, sebagaimana sudah kita bahas di awal.

Ketika Allah meringankan siksa Abu Lahab setiap Senin karena dahulu bersuka cita atas kelahiran Nabi Muhammad dengan memerdekakan budaknya yang bernama Tsuwaibah, sudah barang tentu umat Islam yang mau merayakan Maulid Nabi Muhammad akan mendapat “bonus” lebih. Apalagi jika dalam perayaan maulid Nabi juga banyak dibarengi amaliah positif semisal khataman al-Quran, sedekah, pembacaan dzikir, shalawat ataupun membaca madah-madah lain. Umpamanya seperti al-Barzanji, ad-Dibai, Burdah, Simtud Durar, atau madah lainnya yang berisi pujian serta kecintaan atas Nabi Muhammad. Nabi Muhammad SAW sendiri dalam konteks ini kerap diibaratkan sebuah gelas yang penuh. Tatkala kita membaca shalawat atau madah kepadanya, berarti kita sedang mengisi gelas yang sudah penuh tersebut, sehingga airnya akan meluber. Air luberan yang tumpah itulah yang dianalogikan sebagai syafaat Nabi bagi umatnya.

Syahdan, para ulama sejak abad ke-4 telah merayakan Maulid Nabi dengan aneka macam ibadah. Bahkan tidak terkhusus pada pembacaan syair pujian atas nabi, bertadarus,  bersedekah makanan, dzikiran, tapi juga aneka kegiatan positif lainnya. Perayaannya juga tidak terkhusus tanggal 12 Rabiul Awal saja. Jumhur Ulama memang mengatakan beliau lahir tanggal 12 bulan Rabiul Awal, ada yang mengatakan tanggal 8, ada pula yang mengatakan tanggal 21 Rabiul Awwal. Terkait hal ini, ada statement menarik dari Syekh Ali Jum’ah ihwal adanya perbedaan tanggal hari lahir Nabi Muhammad SAW.

Dari perbedaan itu, seolah-olah Allah SWT menyembunyikan kepastian hari kelahiran Rasulullah, serupa ketika Allah menyembunyikan kapan pastinya Lailatul Qadar. Menurut mantan mufti Mesir tersebut, justru ada hikmah tersirat yang mestinya bisa diambil. Yakni, hendaknya kita tidak merayakan hari kelahiran beliau pada satu hari saja di bulan Rabiul Awal, tapi merayakan selama sebulan penuh, bahkan hingga setahun penuh. Hal itu telah dijelaskan pula oleh banyak ulama tarikh maupun Hadits, di antaranya Ibnu Jauzi, Ibnu Katsir, Ibnu Dihyah al-Andalusi, Ibnu Hajar dan Jalaluddin al-Suyuthi.

Para ulama fikih banyak pula yang menulis tentang keutamaan perayaan maulid Nabi dengan dalil-dalil yang sahih, di antaranya seperti Ibnu al-Hajj dalam kitab al-Madkhalnya, Imam Suyuthi dalam risalahnya yang berjudul “Husnul Maqsid fi Amal al-Maulid, Syekh al-Hafizh Syamsuddin bin al-Jazari dalam Kitab ‘Arf ut-Ta’rif bil Maulidisysyarif, hingga Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki dalam kitab Mafahim Yajib an Tushahhah-nya,  

Terkait adanya penentangan dari pihak-pihak yang mengatakan bahwa Maulid adalah bidah yang sesat dan haram, ada baiknya kita kembali fokus pada spirit positif Maulid. Fakta historis telah membuktikan bahwa spirit Maulid mempunyai dampak positif nan signifikan bagi perjuangan Islam. Dalil Quran maupun Hadits pun secara tersirat telah mendukung legalitas perayaan Maulid. Begitu juga dari beberapa literatur fikih karangan ulama-ulama alim, abid nan kompeten. Apabila sekarang ini, ada banyak ulama dari kelompok Salafi Wahabi atau sejenisnya yang secara frontal melarang kita merayakan Maulid. Larangan itu dengan dalih kita sebagai orang Islam tidak boleh membebek perkataan ulama, tapi ironisnya  kita justru disuruh mengikuti perkatan mereka. Dengan dalih semua harus kembali ke al-Quran dan Hadits. Kenapa pula kita harus mengikuti arahannya, sementara secara tersirat, al-Quran dan Hadits telah gamblang mengarahkan kita untuk bergembira dan merayakan Maulid Nabi. Dibanding para ulama dahulu yang alim dan kompeten, sangat naif kiranya jika kita lebih memilih mendengarkan perkataan ulama “baru” yang secara serampangan melarang perayaan Maulid.

Wabakdu, kalaupun Maulid tetap mau diklasifikasikan sebagai perbuatan bidah, maka ia akan masuk pada bidah yang hasanah, alias hal baru yang positif sebagaimana shalat Tarawih. Tentang adanya pihak yang setuju atau tidak atas sebuah hal baru, itu adalah sebuah keniscayaan manusia untuk berbeda. Bukankah justru kita tidak boleh memaksakan hal-ihwal baru yang masih diperdebatkan untuk “wajib” diterima atau “harus” ditolak semua pihak. Bahkan di Saudi, yang sejak dahulu paling getol menyuarakan Maulid adalah bidah sesat, ada pula kubu ma’had ar-Ribath atau ada sosok Syekh Qais al-Mubarak yang membolehkan perayaan Maulid.

Adapaun untuk perayaan Maulid pada konteks sekarang, spiritnya memang bukan lagi untuk mengobarkan semangat juang memenangkan peperangan bersenjata, akan tetapi untuk menggelorakan cinta dan semangat beragama. Fakta sejarah boleh mencatat bahwa spirit perayaan Maulid (awalnya) menjadi pelecut semangat umat Islam untuk mengenyahkan tentara Salib dari dunia Islam. Namun, adanya pergeseran dari spirit awal dirayakannya tidaklah mengurangi substansi spirit positif perayaan Maulid. Sebab, semangat juang dan spirit cintanya harus terus digelorakan serta dijaga semangatnya. Tidak hanya berlaku untuk perang bersenjata, tapi bisa juga berlaku untuk hal-hal lain. Misalnya saja pada semangat juang untuk memberantas kemiskinan, kesenjangan, korupsi, kriminalitas dan hal-hal negatif lainnya. Allahu a’lamu, shallu ‘ala nabi Muhammad.

Cek Juga
Close
Back to top button