Islamologi

Kredo Penauhidan Kita

Saya tertarik dengan sebuah artikel di geotimes.co.id yang berjudul “Tauhid dan Trinitas: Jangan Dipertentangkan”. Di sana, penulis menjelaskan bahwa umat Islam saat ini berspekulasi tentang konsep ketuhanannya yang tidak memiliki kerumitan di berbagai sisi; rasionalitas dan wahyu. Mulanya saya berpikir demikian, utamanya usai melihat penauhidan kita yang cenderung simpel ketimbang konsep trinitas. Namun setelah mengikuti alur tulisannya, saya menemukan satu poin dari tulisan itu, bahwa konsep tauhid dan trinitas sama-sama rumit dipahami. Jika dianggap rumit, lalu kenapa masih dipertentangkan?

Berangkat dari artikel tersebut, ruang tulisan ini akan menanggapi satu poin saja, yaitu konsep tauhid yang dianggap rumit. Sekilas tampak rumit ketika penulisnya menyinggung perdebatan ulama tentang eksistensi ke-esa-an Tuhan; dzat, sifat dan perbuatan. Dimana perdebatan tersebut jika tidak dijelaskan secara runut, dikhawatirkan timbul kerancuan dan pernyataan yang tidak lazim. Nah, untuk mengurai kerumitan itu, diperlukan kesepakatan sedari awal bahwa yang akan dijabarkan tentunya tidak lepas dari pondasi wahyu.

Kelihatannya tidak adil jika kita masih ngotot berspekulasi bahwa konsep ketuhanan para penganut agama lain salah dan cacat logika. Apalagi kita terjebak pada kondisi memahami tauhid secara general, artinya sekilas tahu bahwa Dia Yang Maha Esa. Sedangkan di luar itu, para ulama berbeda pendapat ketika menginterpretasikan ke-esa-an Tuhan, yang tentunya ini semakin menambah kebingungan. Ironinya, tidak sedikit orang-orang sinis dengan konsep ketuhanan agama lain dengan dalih bahwa konsep tauhid lebih mudah. Sebenarnya sama-sama rumit kok!

Konsep Tauhid Rumit?
Perbincangan konsep tauhid bukan terletak pada salah dan benar saja. Membaca perbedaan pendapat ulama akan membantu meyakinkan ketauhidan yang selama ini diklaim mudah dan tidak rumit. Ya, hitung-hitung tidak melulu hobi mengomentari konsep ketuhanan agama lain salah, tapi setidaknya mengoreksi kembali penauhidan kita selama ini; sudah yakin atau belum.

Pada persoalan ini, saya mengambil dua kelompok yang dianggap vokal membahas ke-esa-an Tuhan. Pertama, kelompok Asyairah yang mengatakan bahwa sifat dan perbuatan Tuhan bukan termasuk dzat Tuhan, melainkan sebuah sifat tambahan yang ada di dalam dzat. Mungkin sedikit membingungkan. Kedua, kelompok Muktazilah yang menafikan sifat dalam dzat Tuhan itu sendiri, karena dianggap menciderai ke-esa-an Tuhan. Mereka berpendapat bahwa dzat Tuhan Maha Esa itu mencakup keseluruhan; Dia Maha Menciptakan, Maha Melihat, Maha Mendengar dan lainnya. Setelah mengetahui perbedaan tersebut, seakan muncul diferensiasi dalam pemaknaan tauhid, yang semula mudah menjadi rumit.

Mengenai dzat Tuhan, ulama ilmu kalam sepakat bahwasanya Tuhan tidak memiliki entitas lain yang berada di dalam atau di luar dzat-Nya. Jika ada entitas lain, kemungkinan yang muncul adalah Tuhan tidak memiliki kuasa secara otoritas. Semisal, Tuhan memiliki dua entitas, maka di antara salah satu entitas tersebut memiliki kekurangan dan kelebihan. Tentunya, Tuhan tidak memiliki kekurangan di dalam eksistensi-Nya. Jika kedua-duanya memiliki kelebihan, maka salah satunya sia-sia dan tidak memiliki kuasa.

Sedangkan sifat dan perbuatan Tuhan pun memiliki otoritas ke-esa-an. Maksudnya, Tuhan tidak memiliki dua sifat yang sama dalam dzat-Nya, semisal sifat qudrah. Seandainya Tuhan memiliki dua sifat dalam satu dzat, maka ada dua kemungkinan yang terjadi; ada dua sifat yang sama atau salah satunya ada yang memiliki kekurangan dan kelebihan. Ketidakmungkinan ini sama halnya dengan pembahasan dzat tadi, bahwa Tuhan tidak berbilang pada sifatnya. Artinya, sifat Tuhan Esa, tidak memiliki permisalan yang sama dalam satu sifat. Pun dengan perbuatan Tuhan, Esa.

Sebenarnya, konsep tauhid itu mudah, hanya saja butuh sisi rasional untuk memaknai Tuhan atas pembacaan ayat-ayat-Nya, baik penciptaan dan kalam-Nya. Ketika kita mendedah bahwa ke-esa-an Tuhan itu mutlak; dzat, sifat dan perbuatan-Nya, yang sedikit rancu setelahnya adalah perbedaan pendapat ulama terkait sifat dan perbuatan Tuhan. Apakah keduanya itu termasuk dzat Tuhan atau tidak?

Nah, pendapat Muktazilah yang menafikan adanya sifat Tuhan tadi bukan berarti mereka berpendapat bahwa Tuhan tidak memiliki daya untuk bertindak. Tapi Muktazilah lebih menyederhanakan eksistensi Tuhan ketimbang Asyairah. Misal, Tuhan Maha Kuasa (Kaunuhû Qâdiran), yang sejatinya kita paham bahwa qudrah (kuasa) menjadi salah satu sifat Tuhan. Mereka mengartikan bahwa dzat Tuhan Maha Kuasa melalui perantara ilmu-Nya. Atau dzat Tuhan yang mempengaruhi adanya sifat qudrah dan dzat tersebut yang mengkhususkan segala kehendak. Dengan alasan, bahwa dzat Tuhan tidak memerlukan penyokong lain untuk menyatakan bahwa Dia Maha Kuasa, termasuk dengan sifat qudrah-Nya.

Sedangkan Asyairah berbeda pandangan dengan Muktazilah terkait persoalan ini. Mereka berpendapat bahwa sifat dan perbuatan Tuhan bukan termasuk dzat, melainkan ‘suatu tambahan’ dalam dzat-Nya. Misal, Tuhan Maha Kuasa. Sifat kuasa Tuhan ini bukan dinamakan dzat, melainkan sifat-Nya berada dalam lingkup ‘kapasitas’ dzat. Tuhan Maha Kuasa, berarti Dia yang memiliki eksistensi Esa dengan sifat Kuasa. Mudahnya, pemisahan ini bukan secara dhahir melainkan secara i’tibâry (kapasitas) atas dzat. Sifat dan perbuatan Tuhan bukan dua entitas yang berada di luar dzat, cuma pengistilahan sederhananya saja.

Argumen-argumen di atas tidak menciderai tauhid dalam sisi manapun. Sekalipun Asyairah membedakan antara dzat, sifat dan perbuatan Tuhan. Ya, yang disembah oleh umat Islam tetap Dia Yang Maha Esa, tidak ada dari luar atau di dalam dzat-Nya. Setelah membaca perbedaan ulama atas ke-esa-an Tuhan, apakah tauhid benar-benar rumit?

Autokritik
Secara mendasar, meyakini Tuhan Yang Esa merupakan bentuk keimanan yang bersifat generalisasi substantif. Artinya, ketika kita mengatakan dengan yakin bahwa Tuhan itu Esa dan tidak berbilang, maka sah keimanan kita. Disebabkan kegeneralan tersebut, kita sering terjebak dalam perilaku konservatif yang dengan mudah mendatangkan ayat-ayat al-Quran untuk menjelaskan ke-esa-an Tuhan. Lalu berdalih bahwa konsep ketuhanan dalam Islam itu simpel dan tidak rumit. Saya yakin, jika umat agama lain berada di posisi kita, mereka pun mendatangkan ayat-ayat dari kitab sucinya sebagai pembelaan bahwa konsep ketuhanan kita salah.

Ayat yang sering dibawa tentang konsep ketuhanan adalah surah al-Ikhlas ayat pertama. Dengan mudah kita mengatakan Tuhan itu Esa, tanpa mempertanyakan kembali makna ke-esa-an yang seperti apa. Memang, setelah kelanjutan ayat pertama tadi dijelaskan bahwa Tuhan tidak memiliki entitas yang menyerupai dalam eksistensi-Nya. Berbeda lagi ketika kita berhadapan dengan seorang penganut agama lain yang cukup kritis dan mengetahui perbedaan pendapat ulama di atas. Bisa jadi dia dengan enteng beranggapan bahwasanya umat Islam menyembah dan mengagungkan dzat, sifat dan perbuatan Tuhan dalam satu waktu.

Andaikan kita tidak berhati-hati memahami konsep tauhid secara utuh, bisa jadi kita terjebak pada trinitas di satu sisi. Bedanya, kita tidak mengambil entitas lain ke dalam dzat Tuhan. Sepemahaman kita, kelompok Asyairah memisahkan sifat dan perbuatan dari dzat Tuhan. Dari sini bakal timbul konklusi bahwa Islam juga mengenal istilah trinitas. Sementara yang selama ini kita tahu tentang trinitas adanya di konsep ketuhanan Kristen; Tuhan Bapa, Yesus dan Roh Kudus.

Pernyataan seperti tadi dapat disimpulkan bahwasanya tauhid mudah mengalami diferensiasi ketika diciptakan oleh konklusi yang salah. Bukan berarti berusaha mengaburkan makna tauhid secara sengaja, namun begitulah adanya. Berbekal ayat-ayat Tuhan di surah al-Ikhlas dan yang lainnya saja tidak cukup menjawab pertanyaan dan pernyataan yang agak nyeleneh. Bukankah Tuhan membuka alur berpikir tentang eksistensi-Nya? Suara-suara sumbang yang mengatakan bahwa tauhid tidak perlu dibahas dengan logika dan mencukupkan dengan wahyu, merupakan anggapan yang kurang dibenarkan.

Teologi Asyairah memang terlihat agak rumit, tapi belum berarti sulit. Keistimewaan dalam teologi Asyairah ini menyeimbangkan logika dan wahyu dalam membincang persoalan akidah. Pada satu sisi Imam Asyari menyetujui implikasi logika dan di lain sisi wahyu menjadi acuan untuk persoalan akidah. Pun satu waktu logika dan wahyu dapat beriringan untuk menyelesaikan pelbagai persoalan akidah.

Nah, untuk persoalan ke-esa-an Tuhan, Imam Asyari menyetujui keabsolutan logika sebagai argumentasi penguat wahyu Tuhan. Saya menyimpulkan, bahwasanya argumentasi beliau tentang ini melihat kemaslahatan umat di kemudian hari. Maksudnya, persoalan-persoalan akidah selalu menjadi obrolan menarik di forum-forum yang membutuhkan nalar berpikir kritis. Terbukti, dengan menggunakan logika, kita bisa menjelaskan konsep ketuhanan dengan lebih lugas dan tidak monoton. Tersebab, teologi Asyairah pada zaman dahulu tidak hanya menjawab syubhat dari kelompok yang mengagungkan teks wahyu saja, seperti Khawarij. Melainkan juga menjawab persoalan dari kelompok yang mengagungkan logika, seperti Muktazilah.

Cukup disayangkan, terkadang kita kurang memahami di mana ranah logika dan wahyu dapat menjawab persoalan akidah. Persoalan yang membutuhkan logika, justru hanya diberhentikan oleh wahyu Tuhan. Ketika seseorang mencoba menjelaskan kerumitan tauhid dengan pemahaman Asyairah, dengan mudah dilabeli liberal. Mungkin beberapa orang belum paham bahwasanya tujuan metode tersebut diproyeksikan untuk mengasah nalar kritis agar tidak konservatif, jumud dan terjebak pada teks wahyu. Seperti yang kita sepakati, bahwa rasionlitas berfungsi sebagai penguat argumentasi keautentikan wahyu terhadap persoalan umat. Jika menghentikan fungsi kerasionalan, untuk apa Tuhan megapresiasi rasionalitas sebagai alat mengetahui diri-Nya? Selamat berpikir!

Cek Juga
Close
Back to top button