Opini

Membaca Arah Baru BUMN

Tahun 2019 merupakan awal kisah baru bagi bangsa Indonesia, setelah pelaksanaan pesta demokrasi berlalu. Hasil dari pemilu tersebut memberikan satu kesempatan terakhir kepada Presiden Joko Widodo untuk kembali memimpin Indonesia. Keinginan untuk menciptakan hal baru membuat sang presiden merombak kabinet lamanya dan mengisinya dengan wajah-wajah baru. Salah satu wajah baru yang paling disoroti ialah Erick Thohir yang ditunjuk menjadi “jenderal” baru BUMN yang membawahi sekitar 142 perusahaan “pelat merah”.

Kehadiran sang pendiri Mahaka Group sedikit memberi kejutan dan harapan bagi publik. Terlebih setelah melihat langkah-langkahnya dalam menyetrum BUMN untuk bangkit dari keterpurukannya. Mulai dari perombakan direksi, pemangkasan jabatan, hingga menertibkan kembali gerak bisnis setiap anak usaha BUMN. Adanya gebrakan tersebut bukanlah tanpa alasan, pasalnya (jika menengok lima tahun lalu) mayoritas dari anak perusahaan BUMN mengalami kerugian. Bahkan, negara sampai turut mengulurkan bantuan berupa suntikan dana. Adapun nama-nama perusahaan yang berada di kategori merugi yakni, Garuda Indonesia, Krakatau Steel, Pertamina dan Pelindo.

Padahal, saat itu badan usaha tersebut sedang melakukan kolonialisasi dengan membeli saham-saham perusahaan swasta dan mengambil alih kepemilikannya. Akan tetapi, kenyataan yang terjadi ialah badan usaha tersebut justru menderita kerugian dan tidak dapat menyetorkan pendapatan ke kas negara. Apa yang terjadi di dalam BUMN? Bagaimana langkah-langkah sang menteri ke depan? Kali ini, saya akan mencoba mengurai benang kusut kerja perusahaan “pelat merah” saat di bawah bendera Rini Soemarno dan menjadikannya pijakan untuk merefleksikan langkah masa depan BUMN.

Obesitas dan Kerajaan Dagang
Sebelum menyentuh persoalan kinerja BUMN, terlebih dahulu saya akan mengurai teori akumulasi kapital oleh Adam Smith dalam bukunya “An Inquiry into Natural and Causes of the Wealth of Nation”. Dikatakan bahwa sebuah perusahaan/negara jika ingin menggandakan kapitalnya, maka diharuskan untuk memperhatikan dua arah produksinya. Yaitu alur produktif dan alur non produktif. Alur produktif berpusat pada produksi barang yang bersifat tetap dan jangka pendek. Sasarannya ialah kebutuhan pasar dan menjaga stabilitas penghasilan (constituting revenue). Bisa dikatakan bahwa alur produktif merupakan arus utama dalam dunia ekonomi yang berputar pada produksi, distribusi dan konsumsi dan hasil profitnya digunakan untuk menambal biaya operasional dan keuntungan pribadi bagi pengusaha. Adapun dalam pengembangan kapitalnya ia bersifat lambat dan bergantung pada luas jangkauan perusahaan dalam perputaran dunia ekonomi. Sebagai contoh, sebuah perusahaan roti lokal yang menjajakan produksinya pada sebuah daerah. Alur produktif yang ia lakukan adalah memproduksi, mendistribusi dan menjual roti tersebut ke sekitarnya. Hasil (profit) dari kegiatan tersebut digunakan untuk membiayai produksi selanjutnya dan (sisanya) masuk kantong sang pengusaha. Jika diperhatikan seksama, perkembangan kapital bagi pemodal hanya berkutat pada sisa keuntungan dari biaya produksi tersebut sehingga untuk menuju “berkali-kali lipat” butuh waktu yang lama. Selain itu, laba perusahaan juga bergantung pada luas cakupan kegiatan ekonominya yang semakin sempit rentang wilayahnya, maka semakin akan sedikit keuntungannya. Oleh sebab itu, Adam Smith memberikan komentar pedas bagi perusahaan/negara yang hanya bergantung pada alur produktif, “Ketika (perusahaan) mengejar penghasilan, maka (pasti) akan terjebak kemalasan.

Jenis kedua ialah alur non produktif yang bermain pada kegiatan ekspansi/kolonialisasi perusahaan dengan melakukan penanaman modal (replacing capital) pada sektor lainnya atau membeli saham perusahaan. Ia disebut non produktif karena ia tidak dapat menghasilkan keuntungan yang tetap dan secara langsung seperti alur sebelumnya. Ia akan menghasilkan laba ketika sudah melakukan kegiatan ekonomi dan menjadi “berkali-kali lipat” karena ditopang oleh perusahaan utama dan perusahaan hasil ekspansi. Bisa dikatakan, alur non produktif berfungsi untuk memperluas jangkauan bisnis ke wilayah yang belum terjamah dan memperbesar perputaran kapital untuk sang pemodal. Bagi Adam Smith, alur non produktif menjadi sebuah keharusan bagi perusahaan/negara yang ingin berkembang dengan pesat menjadi sebuah industri. Atas dasar tersebut, para kapitalis sangat bernafsu untuk kolonialisasi bisnis seluas-luasnya demi meraih capital gain.

Melalui kedua alur tersebut, saya menyimpulkan bahwa sebuah perusahaan/negara dinyatakan sehat secara ekonomi ketika ia bergerak secara dinamis, baik gerak ke dalam maupun ke luar. Maksudnya, sebuah badan usaha diharuskan untuk terus melakukan kegiatan produktif ekonomi untuk menjaga stabilitas pendapatan, sekaligus melakukan ekspansi untuk menjangkau pasar lainnya serta menambah keuntungan. Setelah mengetahui teori akumulasi kapital, saya akan menggunakannya untuk menganalisis gerak BUMN selama lima tahun terakhir sebelum era Jokowi jilid dua.

Jika saya amati, arah pergerakan government’s companies selama masa Rini Soemarno ialah alur non produktif di mana ia terus melakukan ekspansi bisnis. Perusahaan “pelat merah” tersebut (di bawah komando sang menteri) melakukan diversifikasi bisnis seperti dunia perkebunan (PT. Perkebunan Indonesia), industri pembuatan semen (Semen Indonesia), dan lain-lain hingga merambah ke industri kendaraan bermotor (mobil Esemka). Kemudian membeli saham-saham perusahaan yang dinilai strategis seperti Freeport (Amerika Serikat) dan Inalum (Jepang). Hasil dari kolonialisasi tersebut ialah akumulasi aset senilai 8000 trilyun rupiah dan membuat BUMN terkena obesitas karena nilai asetnya yang dua kali lipat dari pada APBN Republik Indonesia. Gerakan ekspansi tersebut diharapkan dapat menjadi pondasi menopang lahirnya sebuah kerajaan dagang (superholding) layaknya Temasek (Singapura) dan Khazanah Nasional (Malaysia).

Selayaknya manusia yang terkena obesitas akan mengalami penurunan performa, maka perusahaan yang berpostur gemuk juga akan mengalami hal yang sama. Sebuah badan usaha ber-aset besar beresiko lamban dalam bergerak dan kurang terawasi gerak-geriknya. Hal tersebut terbukti saat diminta setor pendapatan negara yang hanya diwakili oleh 15 perusahaan dari 142 perusahaan yang ada. Kemudian terdapat beberapa perusahaan yang mulai menyimpang dari kegiatan bisnis utamanya, sebagai contoh PT Krakatau Steel memiliki bisnis hotel dengan nama The Royale Krakatau Hotel. Melalui kedua contoh tersebut tampak BUMN kehilangan kontrol anak-anak usahanya yang mulai mandek produksi dan berujung pada ketidakseimbangan pengeluaran (untuk ekspansi) dan pemasukan (stabilisasi pendapatan). Dari sini, saya menyimpulkan bahwa badan usaha negara tersebut sedang tidak sehat karena mengesampingkan kerja produktif yang merupakan roda utama kegiatan ekonomi. Oleh sebab itu, menjadi sebuah kewajaran ketika perusahaan “pelat merah” terus merugi karena dipaksa untuk terus belanja aset tanpa diberi kesempatan untuk membenahi sisi produksinya.

Membaca Langkah Erick Thohir
Setelah mengetahui persoalan kronis yang ada, kini saya akan mencoba menerka langkah sang menteri baru ke depannya. Si Erick memulai langkahnya dengan memangkas birokrasi dalam tubuh badan usaha tersebut untuk memperkecil kemungkinan korupsi, mempermudah evaluasi kerja serta mempercepat realisasi bisnis. Kemudian menertibkan gerak masing-masing anak usaha dengan konsep subholding-nya yang dinilai lebih menitik fokuskan pada kegiatan bisnis dari pada diversifikasi perusahaan yang tidak jelas ujungnya. Menurut saya, langkah tersebut sudah tepat karena ibarat sebuah mobil yang rusak, maka harus diperbaiki terlebih dahulu sebelum melaju kembali. Bahkan, saya berharap akan dilakukan merger dari 142 perusahaan tersebut dengan tujuan efisiensi anggaran dan gerak perusahaan serta menghindari saling sikut antar perusahaan “pelat merah”. Selain itu, agar iklim bisnis di Indonesia lebih kompetitif dengan memberikan kesempatan bagi perusahaan swasta anak bangsa turut andil dalam membangun negeri ini.

Back to top button