BukuResensi

Oksidentalisme Hasan Hanafi; Upaya Memosisikan Hegemoni Barat

Perang peradaban termasuk perbincangan yang cukup serius, dari dulu hingga kini. Pengaruh Amerika atas ekonomi dan perpolitikan dunia, telah membuat Francis Fukuyama menulis “The End History Of  Man”. Usai perang dingin, Samuel Huntington menyusul dengan tema, “The Clash of Civilizations”. Gegap gempita tersebut turut menggenapi persinggungan Barat dan Timur (Islam). Mulai muncul dalam perkembangan Islam, tema post-Islamisme, Pan-Islamisme, menyusul dengan varian aliran-aliran Islam kontemporer; liberalisme, puritanisme, tradisionalisme, Islam kiri, hingga Islam progresif. Ibaratnya, gesekan peradaban bukan lagi menggetarkan dunia episteme-Islamologis, tetapi juga pada ontologisnya; mempertanyakan keberadaan Islam di hadapan medan raksasa yang bernama ‘modernitas’.

Orientalisme yang semula dihadirkan untuk memonopoli kebenaran atas sejarah dan realitas Timur, namun kini juga menjadi kajian-kajian ‘elite’ dan mentereng di kalangan kaum sarjana Islam (kaum liberal) sendiri. Ada semacam kebanggaan untuk berlagak ‘ilmiah’, menggunakan metodologi Barat hingga tradisi sosio-kultural, untuk mewacanakan kemajuan ke dalam dunia Islam. Suatu modus ilmiah untuk menghipnotis kesadaran umat Islam dalam mengaca Barat, berkiblat padanya, dalam segala hal; dari politik, pemikiran, hingga gaya hidup. Yang kemudian berakhir pada, “Taklid buta pada Barat.”

Pada momentum ini, saya rasa tepat untuk menghadirkan wacana oksidentalisme Hasan Hanafi dalam bukunya, Muqaddimah fî al-Ilm al-Istighrâb. Membaca karya tersebut, kesadaran kita dibawa untuk lebih ‘hati-hati’ sekaligus ‘sadar diri’ dalam membaca Barat. Sebab, saya melihat banyak orang terjebak pada sikap penolakan ekstrim (ala kaum puritan) terhadap Barat, saat melakukan oksidentalisasi, atau katakanlah mereaksi arus westernisasi. Hasan Hanafi mencoba mengajak kita melihat Barat melalui kesadaran transendental “keaslian” kita, dengan mengembalikan Barat pada ruang ‘teritorial-historis’ dan ‘bangunan-tradisi’ di dalamnya.

Nama Hassan Hanafi cukup populer di sayap Islam progresif Timur Tengah atau kiri Islam di dunia Islam secara umum. Pemikir kelahiran Mesir tersebut dikenal dengan proyek rekonstruksi tradisi Islam (Turats Wa Tajdid). Suatu proyek rekontruktif yang memuat tiga bagian; sikap terhadap tradisi klasik Islam (turats al-Qadim), sikap terhadap tradisi modern Barat (al-fikr al-Garb al-Jadid), terakhir, sikap terhadap keadaan keberislaman umat Islam hari ini (al-Waqi’ ar-Râhin). Pada bagian kedua, Hasan Hanafi menyebutnya dengan oksidentalisme (Ilmu al-Istighrâb). Sejak karya itu terbit pada tahun 1992, seketika itu ia mengemuka di dunia Arab sebagai pemikir pertama yang memulai diksi oksidentalisme.

Rekontruksi keberislaman kita, menurut Hasan Hanafi, rasanya belum benar-benar mengakar ketika westernisasi (Barat-sentris) masih menjadi arus yang menghegemoni di berbagai bidang. Memang, warisan Barat telah menjadi bagian dari kesadaran kita, umat Islam Sejak zaman Yunani Klasik, hingga zaman Barat-modern. Sayangnya hingga hari ini, Hassan Hanafi belum menemukan gerakan kritik objektifikasi terhadap hegemoni-hegemoni Barat, kecuali pada kritik gaya retoris dan gaya mendebat (Jadali) kaum puritan.

Membaca Barat Melalui ‘Aku’ Transenden
Jika orientalisme adalah upaya menjadikan Timur sebagai objek, dan Barat sebagai subjek, Oksidentalisme sebaliknya, “Upaya melihat yang ‘liyan’ dari sisi ‘aku’ (keaslian).”  Dalam buku ini, Hasan Hanafi membagi sejarah Barat melalui tiga tahapan; Pertama, tahapan pembentukan kesadaran Eropa ( Takwîn al-Wa’yi). Kedua, tahapan bangunan kesadaran Eropa (Binyat al-Wa’yi). Ketiga, tahapan masa depan kesadaran Eropa (Mashîr al-Wa’yi).

Pembagian ini bukan berdasarkan sejarah, atau klasifikasi aliran-aliran sebagaimana lazimnya di buku sejarah, akan tetapi memakai analisis struktur kesadaran fenomenologis. Barat dibayangkan sebagai yang “liyan” yang mewujud dalam sejarah, dibaca melalui kesadaran “Aku” sebagai keaslian. Ini merupakan filsafat peradaban Hasan Hanafi, yang mampu melepaskan diri dari atribut apriori subjek, maupun dalam objek. ‘Aku’ adalah peradaban Islam, ‘selain aku’  adalah peradaban Barat.

Melalui intensionalitas semacam ini, Hasan Hanafi mampu membongkar di mana rahim Barat lahir, yang selama ini banyak ditutup-tutupi. Tak hanya Yunani-Romawi yang menjadi nenek moyang mereka, Barat klasik juga “menyusu” pada Peradaban Timur; Mesir, Persia, India, hingga Babylonia. Watak teologi Yahudi-Nasrani Eropa di masa-masa awal (5 SM-3M), juga sempat berjumpa dan berdialog dengan Islam. Berlangsung dialog keilmuan-filsafat yang juga beriringan dengan perkembangan agama Barat dan Timur dalam suatu pergumulan yang dinamis. Hasan Hanafi menilai, fanatisme Barat telah membuat mereka menutup-nutupi pengaruh Timur atas Barat di masa klasik tersebut. Yunani bagi mereka adalah sumber peradaban dunia, yang secara ajaib, muncul secara tiba tiba.

Masa kegelapan dan keterkungkungan Barat di tangan Gereja juga tak luput dari perhatian Hasan Hanafi. Upaya dogmatisasi dan monopoli gereja, selama beberapa abad tersebut (1-8 M), telah melahirkan gelombang sekularisme yang kemudian menjadi watak masyarakat Barat. Sebagai suatu reaksi, kesadaran teologis dari yang semula berpusat pada Tuhan, berubah menjadi pada manusia. Dunia bukan untuk Tuhan, yang kemudian membelenggu manusia. Tetapi Tuhan ada, dicipta, untuk kebebasan manusia. Gerakan protestan lahir, bersamaan dengan filsuf-filsuf Renaisains (Abad 9-14). Membentuk kesadaran manusia bebas, berpikir, berdaulat, berswa-ada, semata untuk eksistensinya. Keberlangsungan dunia hanya untuk manusia. Renaisains kemudian hadir menjadi babak baru Barat, membuka dunia baru bernama modernitas.

Bagi saya dalam buku itu, tulisan Hasan Hanafi memiliki ciri khas. Uraian yang mengalir, beserta pemakaian diksi dan kalimat yang semi-persuasif. Seolah-olah membawa suatu daya pergerakan (ala-kiri), yang membuat jiwa pembaca tergerakkan, merasa tidak tinggal diam pada suatu problem. Ia memakai kalimat “kita”, “aku” untuk menjangkau kesadaran yang luas, pada identitas keislaman kita, sekali lagi sebagai keaslian. Akan tetapi, pada penggunaan majas yang terlalu sering, saya merasa terganggu apabila majas tersebut tidak cocok, tetapi tetap dipakai. Seperti menurut dia, Barat mengambil dari Yunani suatu asas rohani, dan dari Romawi asas Jasmani. Dan hal itu sering ia ulang-ulang di berbagai pembahasan.

Sementara dalam kerangka epistemologis dan metodologis, muatan oksidentalisme dalam buku ini sepenuhnya belum utuh. Sesekali masih mencoba memaksakan suatu pembacaan, dan pada beberapa pembahasan terdapat kontradiksi logika. Seperti, di satu sisi ia ingin mengajarkan kita untuk mencurigai Barat dan westernisasi, tetapi di sisi lain juga mengajak kita tidak antipati pada Barat. Suatu upaya menengahi dalam keadaan terengah-engah, bahkan bisa jadi pincang sebelah. Dari sini saya ingin mengajukan suatu pertanyaan, Barat manakah yang tepat untuk kita musuhi, dan Barat seperti apa yang bisa kita jadikan guru?

Kesimpulan atas pembacaan saya, setidaknya menghasilkan beberapa poin. Pertama, Hassan Hanafi membedakan bangsa kita (Timur) dan mereka (Barat), dengan analisis waktu dan sejarah. Timur adalah bangsa pemegang tradisi klasik (Mujtama’ at-Turâstiyah), dimana waktu masa lalu begitu besar pengaruhnya. Sehingga menjaga tradisi (Islam) menjadi pundi utama yang tak bisa ditawar sejarah. Sedangkan Barat adalah bangsa yang lepas dari tradisi klasiknya (Mujtama’ al-Lâ Turatsiyah) yang sebaliknya hanya memikirkan masa depan. Sehingga kritik dan pembaharuan yang terus dijaga untuk melihat masa depan umat manusia. Kedua, oksidentalisme ini hanya pengantar metodologis, dimana Hasan Hanafi memakai kaca mata Husserl untuk membaca Barat. Ia sepenuhnya tidak bisa melepas diri dari keterpengaruhan dirinya dari Husserl, bahkan saat ia mengkaji Barat dan bersemangat kajian oksidentalisme. Ketiga, Hasan Hanafi sadar betul (sebagai jawaban pertanyaan di atas) dalam membedakan Barat antara musuh dan guru. Barat sebagai musuh, asumsi saya, adalah negara-negara imprelial, kolonial, di masa lalu. Yaitu, Barat yang borjuis-imprealis, atau bisa langsung saya tujukan pada Amerika, sebagai bukti konkritnya. Sementara Barat yang akan tetap menjadi guru, adalah Eropa. Barat yang berperadaban, memiliki keilmuan yang dinamis, seperti Perancis.

 

Judul Buku : Muqaddimah fî al-Ilm al-Istighrâb
Penulis : Hassan Hanafi
Penerbit : Markaz al-Kitab li an-Nasry, Kairo
Tebal Buku : 630 halaman

Back to top button