Opini

Jalan Memutar Perdamaian AS-Iran

Watak peperangan di seluruh dunia, tidak akan pernah lepas dari kepentingan ekonomi. Di awal-awal abad 20, kita bisa melihat sejarah meledaknya perang dunia pertama dan kedua tak lepas dari motif ekonomi—baik berupa kolonialisme, klasik hingga neokolonialisme (kapitalisme). Amerika menjadi raja pasca-perang dunia kedua. Negara yang dijuluki “polisi dunia” tersebut tak pernah puas sebelum benar-benar menguasai ekonomi dunia. Melihat minyak yang menjadi ladang investasi Amerika di timur tengah, tak heran jika sejak dulu konflik di Timur Tengah tak pernah reda. Mengapa? Karena campur tangan Amerika tak pernah usai, sebelum mereka menguasai sumber daya ekonomi Timur Tengah.

Di awal tahun 2020 ini, dunia ramai membincangkan (kemungkinan) perang dunia III, akibat konflik AS-Iran. Hal itu dipicu kematian Qasem Solaimani, jenderal garda Revolusi Iran  pada 3 Januari lalu, akibat serangan Amerika di bandara Baghdad. Reaksinya, pemimpin tertinggi Iran, Ayatullah Ali Khamenei, menyatakan Iran akan membalas dengan keras aksi brutal di bandara Baghdad tersebut. Syahdan, pembunuhan jendral tersebut atas perintah langsung dari Donald Trump, dengan dalih membunuh teroris nomor 1 di Iran, sebagaimana yang ia utarakan dalam pidato resminya.

Tak lama setelahnya, Iran pada 8 Januari dini hari mulai membalas dengan menyerang markas militer AS di Irak. Meski hanya permulaan, serangan tersebut menurut Menlu Iran, Javad Zarif tidak bertujuan mencari perang. Akan tetapi hanya sebentuk pertahanan diri dari segala jenis agresi. Meski Iran mengklaim serangan rudal tersebut menewaskan 80 orang; setelah melalui investigasi lapangan, ternyata tserangan itu tidak menimbulkan korban jiwa. Menurut beberapa intelejen Amerika, serangan rudal tersebut sengaja diplesetkan agar tidak memperparah suasana.

Tidak berselang lama dari serangan Iran, mantan presiden SBY turut menyuarakan pendapatnya melalui tulisan di akun Facebook pribadinya. Muatan dalam tulisan tersebut, saya rasa sangat tepat untuk menenangkan situasi panas konflik AS-Iran yang dibayang-bayangi ketakutan akan perang dunia ketiga. Disadari atau tidak, harapan SBY untuk perdamaian AS-Iran ‘seakan-akan’ diamini oleh Donald Trump. Hal itu bisa kita lihat pada sikap gedung putih selanjutnya setelah adanya serangan balas dendam Iran terhadap markas militer AS di Irak tersebut. Sikap yang dikeluarkan As benar-benar tak terduga, melalui konferensi Pers Trump menyatakan, “Amerika Serikat siap berdamai dengan siapapun yang menginginkan perdamaian.”

Terlepas dari sikapnya kali ini memang sungguh-sungguh atau tidak, dunia bisa bernafas panjang setelah sebelumnya mengelus dada. Akan tetapi, di era pos-Turth ini, kita tidak bisa memercayai statement siapapun sebagai sebuah fakta atau kebenaran. Begitu juga sikap dan ucapan sosok Donald Trump. Kalau dianalisis, sikap berdamai dengan Iran ini perlu kita curigai, sekalipun itu juga merupakan harapan kita semua. Dengan kata lain, kita perlu tau, apa sebenarnya kepentingan ekonomi Trump di balik kebijakan-kebijakannya.

Babak Baru Amerika-Iran (?)
Sebagaimana kebijakan Amerika sejak dulu, logika politik Trump bisa dibaca dengan simbol Carrot and Stick, “mereka yang tidak mengikuti kebijakan Amerika, baik ekonomi maupun politik, akan mendapatkan sanksi.” Kebijakan tersebut terlihat dari bagaimana Amerika mengendalikan Timur Tengah. Dari ekonomi, sumber minyak di Timur Tengah menjadi sasaran investasi bisnis AS. Sebagai timbal balik, negara-negara sekutu AS mendapatkan jaminan keamanan, persenjataan dan kekuatan militer lainnya. Sementara bagi yang menentang, AS melakukan berbagai strategi dan upaya untuk mengacaukan situasi negara tersebut. Seperti isu-isu terorisme yang hingga kini mengacaukan beberapa negara Timur Tengah. Campur-tangan tersebut adalah “sanksi” bagi yang tidak patuh pada kebijakan luar negeri AS.

Iran yang sejak revolusi 1979 memusuhi AS, di mata Trump merupakan ancaman yang mengganggu stabilitas kepentingan ekonomi-politiknya. Di sisi lain, Iran juga merupakan objek ekonomi yang belum bisa dikuasai oleh Amerika. Sebuah indikasi bahwa kepentingan ekonomi ada di balik ancaman-ancaman perang militer yang disuarakan Trump. Jika demikian, apakah lantas ancaman perang Trump sebenarnya untuk menakut-nakuti Iran saja? Dimana setelah itu, ia bisa menguasai ekonominya? Hal ini tentu masih menjadi teka-teki. Karena saya melihat media-media internasional belum mampu menangkap watak dan hubungan sebenarnya antara dua negara ini. Apa yang tampak di permukaan, belum benar-benar mencerminkan hal yang sebenarnya di balik teka-teki skenario AS ini.

Hal tersebut juga dikuatkan dengan watak kepemimpinan Trump. Kebijakan-kebijakan yang terkesan sembrono, inkonsisten dan berbau populistik membuat ia sendiri dimakzulkan oleh menterinya sendiri pada desember lalu. Trump sepenuhnya bukanlah representasi Amerika. Ketika ia menginginkan perang melawan Iran, ia terlebih dahulu harus menghadapi jutaan rakyatnya yang tidak menginginkan perang. Maka, dari kebijakan damai terakhir, kita bisa membaca bahwa ia juga mempertimbangkan masa depan ekonomi Amerika daripada memulai perang. Melihat akhir-akhir ini Amerika tengah menghadapi perang ekonomi melawan China.

Sementara kalau kita membaca posisi Iran, ia sebenarnya berhak untuk mendeklarasikan perang. Melihat kerugian yang dialaminya tidak main main. Keputusannya untuk keluar dari kesepakan nuklir termasuk juga menguatkan potensi peperangan. Namun, karena krisis ekonomi sedang menimpanya (kenaikan BBM, Embargo Produk Amerika, dll) akhir-akhir ini, perang tentu bukan pilihan terbaik. Perang hanya akan memperburuk keadaan negaranya, baik dari politik, ekonomi dan lain sebagainya. Dari sini, saya menemukan kesamaan posisi Iran dan Amerika dalam situasi hari ini; keterdesakan untuk memperbaiki keadaan ekonomi.

Dengan kesamaan krisis tersebut, saya mengharap sejarah akan membuka babak baru bagi kedua negara ini. Kemungkinan (meminjam istilah SBY) “endgame”  berupa perdamaian dari kedua negara ini bisa diusahakan, meski melalui jalan memutar; regulasi ekonomi. Benar kata SBY, perang bisa jadi hanya drama dan strategi yang takkan terjadi semudah mengucapkan kata di podium atau motif emosi dan balas dendam saja. Kabar baiknya juga, Uni Eropa juga sedang membujuk Amerika untuk mempertimbangkan keputusan dan sikap-sikapnya selanjutnya dalam persoalan ini. Kepada Trump, saya ingin berpesan “Mari, sekali lagi menatap dengan jernih dunia yang sedang terpuruk ini.

 

Artikel ini telah dimuat Jawa Pos, Radar Bromo pada Minggu, 12 Januari 2020

Back to top button