Opini

Kesalahpahaman Makna Kodrati Perempuan

Perempuan merupakan makhluk ciptaan yang multifungsi; bisa menjadi ibu, dosen, profesor, ilmuwan atau banyak peran lainnya. Eksistensinya untuk dapat mengimbangi alur kehidupan manusia sudah tak perlu diperdebatkan lagi. Banyak teks suci dan gerakan feminisme yang turut mendukungnya. Namun tampaknya, dewasa ini masih banyak mata awam yang masih tersihir dengan narasi-narasi yang belum dipahami secara absolut ihwal kebenarannya. Contoh, salah satunya dalam pemaknaan istilah Naqsu al-Aqli. Yang mana banyak oang awam yang masih menganggap bahwa identitas ini dinisbatkan kepada perempuan, bahkan mereka (masyarakat awam; laki-laki atau perempuan) berani menyandingkan istilah ini dengan kodrat alami perempuan. Padahal pemaknaan istilah ini sudah banyak digaungkan akan kebenaran maknanya oleh pemuka agama.

Dalam konteks ini, perkiraan saya (seolah) didukung seminar International Bookfair pada Rabu, 03 Februari 2020 lalu yang menyoal kehidupan perempuan dan literaturnya. Dibuktikan dengan adanya kaum Adam yang menanyakan bagaimana perempuan dapat menyeimbangi Naqsu al-Aqli (yang diduduki perempuan) terhadap eksistensinya sebagai penulis. Narasi tersebut dibantah oleh novelis Mesir Suheir Mushadafah, yang menyajikan cerita fiksi dengan sentuhan filsafat. Bahwa narasi tersebut tidak hanya diduduki oleh perempuan saja, namun seluruh manusia. Dari sinilah kita tahu, ternyata masih ada doktrin lain yang menyihir banyak orang awam terhadap pemaknaan dan fungsi perempuan, meskipun kesetaraan dan keadilan sudah banyak diiramakan oleh teks suci, serta gerakan feminisme. Maka jelas, ada kesalahpahaman di sini, baik yang dipahami oleh perempuan ataupun laki-laki. Untuk itu, sebelum menuju ke pembahasan, perlu diketahui arah dan tujuan terhadap upaya gerakan feminisme terlebih dahulu.

Gerakan Ekofeminisme
Dalam istilahnya, Gender Equality merupakan akses yang diartikan sebagai kapasitas untuk menggunakan sumber daya bagi keduanya, agar berperan aktif terhadap ranah sosial, ekonomi, dan politik. Teori ini memiliki strategi besar yang salah satunya adalah ‘melestarikan kodrati perempuan’ yang memiliki dua aliran, yaitu Feminisme Radikal, dan Ekofeminisme. Namun dalam pembahasan kali ini, penulis hanya akan menjelaskan arah dan tujuan dari Ekofeminisme. Strategi ini kuat hubungannya dengan alam, yang mana strategi ini merupakan teori gabungan dari konsep ekologi dan feminisme.

Tujuan utama dari strategi ini adalah agar para perempuan dapat mengubah kerangka berpikir, serta memahami kuatnya relasi perempuan dan alam (kodrati perempuan). Selain itu, tujuan terpentingnya adalah agar dapat menggeser sistem patriaki yang tanpa menghilangkan kodrat, tetapi menunjukan eksistensi kualitas feminin. Tujuannya agar dapat mengubah sistem patriarki menjadi egaliter. Gerakan ini juga dapat mempengaruhi serta mengembalikan kesadaran manusia akan pentinya peran perempuan terhadap kualitas feminin. Sikap yang ditawarkan juga dapat mendukung peran perempuan di dalam institusi keluarga. Namun dewasa ini, banyak sekali para feminis yang tidak mengoptimalkan gerakan ini. Mereka berdalih akan kodrat dan tabiat perempuan sebagai penyandang Naqsu al-Aqli alias hanya sebatas pelayan-pelayan keluarga, sehingga dapat mempengaruhi sistem patriarki yang mengakar di masyarakat.

Dari asumsi ini sendiri terdapat kesalahpahaman pemaknaan kodrati perempuan, sehingga gerakan yang dipelopori oleh Vandana Shiva, seorang ilmuan dari India ini mengalami disfungsi yang mengakibatkan kaum perempuan belum dapat menjalankannya secara optimal. Lantas, apa saja faktor dan doktrin yang mempengaruhinya?

Kesalahpahaman atas Kodrat
Ada dua hal terkait hipotesa untuk menjawab pertanyaan di atas, berdasarkan ruang lingkup masyarakat awam, dan ranah Masisir. Pertama, pengaruh historiografi linguistik dalam pemaknaan perempuan yang salah, sehingga berdampak  pada potensi kemanusiaannya. Dalam hal ini, ada sebuah Hadits “Perempuan tercipta dari tulang rusuk laki-laki” yang acap dimaknai secara harfiah oleh masyarakat awam. Untuk itu, penulis menghadirkan Rasyid Ridha, seorang intelektual Muslim dari Suriah yang mengembangkan gagasan modernisme Islam, dengan membaca Hadits secara metaforis (mazaji). Mulanya, pemahaman mereka (manusia awam; Naqsu al-Aqli) teridentifikasi dalam kecenderungannya meminggirkan kaum perempuan, disebabkan oleh (kabar) adanya perbedaan penciptaan manusia antara laki-laki dan perempuan. Asumsi mereka dimulai dari material yang Tuhan gunakan sebagai bahan dasar penciptaan manusia. Sebagian awam menafsirkan, Hawa merupakan perwujudan dari tulang rusuk Adam. Lantas, benarkah tulang rusuk laki-laki merupakan bahan dasar diciptakannya perempuan?

Persoalan ini sebenarnya telah dijawab sepihak oleh masyarakat pra-Islam yang menganut paham Monotheisme. Monotheisme sendiri merupakan campuran pemahan yang masih dipengaruhi oleh agama Yahudi, dan berkaitan dengan tauhid yang dibawa oleh Nabi Ibrahim As. Mereka memberikan jawaban di dalam kitab perjanjian lama (Genesis II;12) yang berisi kisah terciptanya Adam dan Hawa. Sehingga jawaban tersebut memberikan dampak kuat terhadap masyarakat. Buktinya adalah banyak orang yang memahami tafsiran ini sebatas taklid.

Usai datangnya Islam, agaknya kejadian tersebut justru dituangkan dalam teks Hadits yang menarasikan “Hawa terbuat dari tulang rusuk Adam yang bengkok”. Oleh karenanya, Rasyid Ridha memberikan gambaran untuk memaknai Hadits secara metaforis, sehingga dapat memberikan gambaran yang lebih rasional terhadap pemaknaan Hadits. Dalam teks tersebut, tulang rusuk yang bengkok dimaknai dengan fisik yang lemah. Hal ini dikarenakan secara biologis, perempuan akan lemah semenjak usia baligh. Yakni dengan mengeluarkan darah setiap bulannya, yang itu berpengaruh terhadap vitalitas tubuhnya. Pun banyak hal lainnya, semisal hamil. Sehingga, pemaknaan dalam diksi “Tulang rusuk yang bengkok” dirasa tidak tepat, karena pesannya adalah agar laki-laki dapat bertanggung jawab dan dapat menyikapi perempuan yang lemah akan fisik.

Dari sini, kita tahu bahwa ada doktrin kuat yang dibawa oleh masyarakat pra-Islam, sehingga dapat  mempengaruhi berabad-abad zaman setelahnya. Dibuktikan dengan banyak kaum Hawa yang mendukung sikap superior terhadap kaum Adam. Mereka (kaum Hawa) justru memosisikan dirinya secara horizontal dan tidak linier untuk dapat sejajar terhadap posisi kaum Adam. Inilah yang dmaksud sebagai kesalahpahaman atas kodrati perempuan itu sendiri. Dampak lainnya adalah low self, yaitu merupakan rasa rendah diri. Dengan begitu, diharapkan agar para perempuan tidak menggunakan pemahaman taqlid, sehingga kesalahpahaman tersebut tidak terus mentradisi.

Kedua, kejumudan perempuan dalam memaknai fungsi dirinya sendiri. Syekh Muhammad Muhammad al-Madani, seorang pemikir Islam di Mesir, menegaskan dalam bukunya Wasathiyah al-Islâm; bahwa perempuan bukanlah penyebab langsung dari kelemahan akal (Naqsu al-Aqli), ilmu atau agama. Tidakkah banyak kaum Hawa yang menunjukan progresivitasnya (dalam bidang apapun). Namun saya rasa masih banyak perempuan yang belum melek terhadap fungsinya sendiri. Pola pikir perempuan juga masih dibatasi dengan posisinya sebagai istri (jika kelak berumah tangga), sehingga mereka kemudian skeptis terhadap pendidikannya. Sebut saja Masisirwati di Azhar, sebagian besar dari mereka berasumsi untuk cepat lulus, cepat menyandang Lc. Cepat di sini dengan artian, modal menghafal talkhisan (ringkasan) dan mengikuti bimbel agar hasil ujian memuaskan. Setelah itu segera menikah, yang lantas akan terbatasi oleh perannya sebagai Ibu rumah tangga.

Mereka justru menafikan dedikasinya sebagai institusi pertama untuk generasi manusia selanjutnya. Seperti yang dikatakan oleh wakil dekan pascasarjana fakultas studi Islam dan Arab untuk Mahasiswi al-Azhar Kairo; Nahla El-Saedi. Beliau berpendapat dalam acara internasional Bookfair, terkait peran perempuan untuk Azhar. Menurutnya, perempuan dapat setara dengan laki-laki terkait fungsinya (hak manusia), kualitas intelektualnya, dedikasi, serta perannya dalam dakwah. Sebagaimana ia dapat dijadikan rujukan utama dan terpenting dalam membangun generasi manusia yang berkualitas.

Di kancah Masisir sendiri, tidak susah untuk menemukan hal tersebut. Bukti terkuatnya adalah ada sebuah percakapan di dalam majelis Quran yang menyatakan merasa cukup terhadap al-Quran (Istighnâu al-Quran), (menghafal saja, tanpa kuliah, talaki, dan kajian). Karena itulah yang dirasa mampu untuk terjun ke masyarakat. Dalam hal ini dapat dinilai bahwa perempuan sendiri yang menciderai tingkat kualitas intelektual dan potensi kemanusiaannya. Padahal, itu sudah banyak ditegaskan dalam diktat perkuliahan. Sebagaimana ditegaskan dalam Maâlimu al-Sunan, menurut Abu Sulaiman al-Khitabi, manusia tidak dapat dikatakan berilmu untuk mencapai Aqlu Kâmil jika ia masih jumud terhadap al-Quran.

Maka dari itu, dapat disimpulkan memang ada kesalahpahaman dalam kodrati perempuan. Imbasnya terjadi disfungsi terhadap teks suci, serta upaya yang telah digaungkan oleh gerakan feminisme. Dari sinilah, perempuan seharusnya bisa memaknai dirinya dalam urgensitas penciptaannya sebagai penyeimbang dan tidak memaknainya secara sempit. Saya rasa, tidak perlu lagi ada upaya-upaya lainnya untuk dapat menyadarkan kerangka pemikiran mereka. Yang lebih perlu yaitu menepuk tangan dipundaknya dan berkata, “Hai perempuan, sadarlah!”

User Rating: 4.65 ( 2 votes)

Back to top button