Menakar Kapabilitas Pengkaji Sastra Arab

Ada sebuah kutipan menarik yang saya temukan saat membaca buku “Fi Naqd al-Aqli al-Balaghi” karya Dr. Muhammad Taufiq Muhammad Sa’ad. Kutipan tersebut kurang lebih bermakna, “… Pemahaman terhadap pramasastra grafetik dalam kemukjizatan al-Quran hanya mampu dilakukan oleh mereka yang memiliki kapabilitas dalam memahami bahasa Arab dan mampu untuk berbahasa Arab dengan jelas (fasih). Adapun orang-orang non-Arab, mereka tidak mungkin mampu mencapai kapabilitas tersebut.”
Kutipan Dr. Taufiq di atas tersebut berhasil membuat saya bertanya-tanya, “Sejauh apa kapabilitas orang Arab dalam memahami prasmasastra grafetik, sehingga ulama Azhar seperti Dr. Taufiq (terkesan) mengerdilkan kemampuan orang-orang non-Arab?
Secara garis besar, tujuan dari pramasastra atau sering kita kenal sebagai ilmu Balaghah memanglah untuk memahami maksud dari teks al-Quran. Baik itu dari segi makna, penjelasan, maupun dari sisi keindahannya. Syekh Sakkaki, ulama Balaghah abad ketujuh tersebut menyebutnya dengan ilm maa’ni, ilm bayan, dan ilm badi’. Sedang grafetik sendiri memiliki arti kajian tentang sifat visual dari sebuah bahasa yang tertulis. Mudahnya, prasamasastra grafetik adalah kajian terhadap suatu teks dengan melalui tiga kategori di atas sebagai pintu masuk. Bagi Dr. Taufiq, pramasastra grafetik adalah tahap dasar yang wajib dikuasai seorang sastrawan Arab. Tahapan selanjutnya adalah mampu menuju tahap akhir, yaitu kredibilitas dari seorang sastrawan dalam berargumen dan mampu menelurkan teori-teori dari penalarannya terhadap sebuah teks sastra.
Setelah melakukan analisis, saya berpendapat kalau Dr. Taufiq itu sejatinya tidak bermaksud untuk mengerdilkan kemampuan orang-orang non-Arab. Tentunya, beliau cukup tahu bahwa rujukan umat muslim setelah al-Quran adalah Hadits. Sumbangsih pengodifikasian Hadits terbesar sepanjang sejarah yang belum tertandingi hingga hari ini adalah Imam Bukhari. Seorang ulama yang bukan dari bangsa Arab, tapi justru dilahirkan dan besar di desa Bukhara, Uzbekistan. Selain Imam Bukhari, Imam Sibawaih, seorang berdarah Persia juga sangat diakui sebagai salah satu pakar bahasa Arab -nahwu khususnya- yang berhasil menemukan kaidah-kaidah sintaksis dalam bahasa Arab. Yang mana, penemuan Imam Sibawaih ini mampu mendorong perkembangan kegramatikalan dalam bahasa Arab itu sendiri.
Bagi saya, apa yang disampaikan oleh Dr. Taufiq bukanlah sebuah pernyataan mutlak. Namun, pernyataan itu mampu berubah menjadi mutlak jika kita melihatnya dari sudut pandang ‘urfy atau kebiasaan. Hal ini saya dapatkan dalam tulisan beliau saat membahas karakteristik pemikiran seorang sastrawan atau yang dibahasakannya dengan al-khashaish al-tafshiliyyah li al-aqli al- balaghi. Masih dalam buku yang sama, beliau menjelaskan di antara karakter mutlak yang harus dimiliki oleh seorang pengkaji sastra Arab di antaranya adalah: Pertama, punya kemampuan dalam menguraikan keindahan makna yang dimiliki oleh setiap kata, atau bahkan huruf dalam suatu susunan kalimat. Kiranya karakteristik tersebut mengingatkan saya pada al-Rummani, seorang teolog muktazilah yang berpendapat bahwasanya ‘ijaz al-Quran terdapat dalam keindahan maknanya.
Pada karakteristik pertama ini, Dr. Taufiq memberi keterangan lanjutan bahwa untuk menguasai karakter tersebut, seorang pengkaji disyaratkan selesai dalam urusan bacaan secara komprehensif terhadap bahasa Arab itu sendiri. Bacaan komprehensif yang dimaksudkan oleh beliau adalah bagaimana seorang pengkaji mampu membaca bahasa Arab, baik dari segi sintaksis, filologi, morfologi, gramatologi, antropologi linguistik, bahkan psikologi penuturnya.
Saat mengetahui beberapa kecakapan yang harus dimiliki oleh mereka tersebut, mampukan orang-orang non-Arab menguasai tiap hal yang dijadikan sebagai penunjang kesempurnaan bacaan terhadap bahasa Arab? Menurut saya, jelas mereka kurang mampu. Mengapa saya mengatakan ‘kurang mampu’? Sebab saya tahu bahwa Imam Sibawaih, seorang non-Arab yang mampu menunjukkan keberhasilan dalam membaca bahasa Arab dari segi sintaksis, namun beliau belum tentu mengusai penunjang lainnya. Sebab itulah dunia lebih mengenalnya sebagai bapak gramatikal bahasa Arab semata.
Kedua, punya kemampuan dalam menemukan estetika makna dari setiap kata. Pada bagian ini, Dr. Taufiq menjelaskan bahwa dibutuhkan keterampilan dalam mengorelasikan antara tanzil dan ta’wil. Dari uraiannya, saya membaca makna ta’wil yang dimaksudkan oleh Dr. Taufiq adalah ta’wil yang diterminologikan oleh Ibn Rusyd. Yakni sebuah metodologi untuk mendedah suatu kata dari makna aslinya menuju makna imajinatif. Karakter kedua ini tidak akan mampu dimiliki oleh seorang pengkaji sastra Arab yang tanpa memiliki ragam penunjang atas karakter pertama. Sebagaimana karakter pertama, penunjang dari karakter kedua ini merupakan perkara-perkara yang membutuhkan kepekaan mata hati, perasaan, serta kecerdasan dalam memahami makna yang terkandung. Sehingga ia mampu berargumen dan menyusun teori-teori secara generik dan spesifik.
Dari kedua karakter tersebut, kiranya bukan berlebihan jika Dr. Taufiq mengeluarkan statement yang terkesan mengotorisasikan keilmuan sastra Arab di tangan bangsa Arab. Hal tersebut sejatinya dikarenakan keterampilan-keterampilan yang menjadi penunjang untuk memahami sastra secara holistik dan komprehensif sebagian besar sudah dimiliki oleh bangsa Arab secara murni. Namun, bagi saya tetap saja ada kemungkinan bagi orang non-Arab untuk mampu menembus permasalahan geografis (a’jami) layaknya Abdul Qahir al-Jurjani. Beliau seorang Persia yang mampu keluar dari identitas dirinya sebagai orang non-Arab, tapi mampu mendapatkan pengakuan sebagai ahli semantik. Syekh Jurjani juga berhasil tampil di panggung keilmuan dengan pembacaan dan penguasaannya terhadap pramasastra grafetik al-Quran berdasarkan teori nazam yang dimilikinya. Bahkan, semenjak abad kelima (masa dimana beliau hidup dan menghasilkan karya Asrar al–Balaghah dan Dala’il al-‘Ijaz), belum ada satu ulama pun yang mampu menandinginya. Selain itu, pengkajian terhadap kedua buku turats-nya itu juga masih berlangsung hingga detik ini. Tabik!