Indonesia Rumah Toleransi (?)

“Tidak ada tempat bagi mereka yang tak mampu bertoleransi di negara kita, apalagi dengan kekerasan—Presiden Joko Widodo”
Lima tahun belakangan, kita sering mendengar beberapa kalimat atau diksi yang cukup populer. Semisal, ujaran kebencian, politik identitas dan intoleransi. Pada mulanya, ketiga diksi atau kalimat itu tidak bermakna, namun pada masa-masa politik, ketiganya memiliki pengaruh yang cenderung mengarah ke hal-hal negatif. Ketiganya muncul akibat eskalasi perpolitikan Indonesia yang butuh segera diselesaikan bersama. Tentunya, semua tidak lepas dari persoalan agama yang menjadi tunggangan para elit politik. Imbas dari persoalan tersebut memunculkan paradigma tentang radikalisme yang berujung pada intoleransi.
Problematika yang muncul dalam rentang dua bulan ini, kerap menyinggung persoalan intoleransi. Sebut saja seperti tragedi penolakan renovasi Gereja Paroki Santo Joseph di Tanjung Balai Karimun (6/2), aksi perusakan mushala di Minahasa Utara (29/1) kasus penolakan acara Harlah NU di masjid Gedhe Kauman Yogyakarta (3/3) ataupun kasus-kasus intoleransi lainnya yang tidak bisa saya sebutkan semua. Tragedi semacam itu menjadi peringatan bagi pemerintah, bahwa Indonesia sedang tidak sepenuhnya baik-baik saja. Apalagi jika mengacu ungkapan Pak Jokowi di atas (12/2/2018), sontak timbul pertanyaan; Apakah benar selama ini intoleransi sudah tidak ada tempat di Indonesia? Ataukah hanya sebatas seremonial untuk menambah daftar perkara yang bersifat ilusif?
Meskipun dampak intoleransinya tidak seperti India, kita tidak bisa mutlak mengatakan bahwa Indonesia lebih toleran dari India. Realitanya, istilah “mayoritas” dan “minoritas” sering digunakan di ruang publik, sehingga menciptakan jurang perbedaan. Asumsi ini berkembang, bahwa menyoritas bisa sewenang-wenang dan minoritas harus legawa. Pola pikir masyarakat yang seperti ini perlu diperbaiki, baik oleh pemerintah, cendekiawan, maupun masyarakat, sebelum terjadi segregasi akut.
Pemikiran Konservatif
Penggunaan istilah “mayoritas” dan “minoritas”, sering kita temui di media sosial yang mana itu menguatkan intoleransi warga negara Indonesia. Ketika tragedi perusakan mushalla di Minahasa Utara, tidak sedikit netizen muslim mengatakan, “Kita mayoritas di negara sendiri, tapi serasa minoritas.” Atau saat aksi penolakan renovasi gereja di Tanjung Balai Karimun. Beragam komentar muncul dari pemeluk Kristen yang menyatakan bahwa mereka hanya bisa legawa dan berharap ditegakkannya keadilan. Pemikiran-pemikiran semacam ini berimplikasi pada segregasi antar-kelompok beragama. Memang data menunjukkan bahwa Islam agama mayoritas, tapi seyogianya perbedaan yang ada tidak perlu ditampakkan di ruang publik, agar tidak semakin memperkeruh suasana.
Pola pikir yang demikian cenderung ke arah konservatisme dalam memahami agama. Bentuk konservatismenya terletak pada poin pemisahan kelompok masyarakat dengan dua istilah tadi. Sejatinya, Islam sendiri selama 14 abad telah menjunjung tinggi pemahaman egaliter, toleransi, pluralitas dan seterusnya. Tapi mengapa kita masih latah dengan pemahaman seperti ini? Satu contoh bahwa Islam menjunjung tinggi hak asasi manusia bisa dilihat dari asas Maqâshid al-Syariah; melindungi jiwa, akal, agama, harta dan keturunan. Dalam asas tersebut, disusun bagaimana seseorang melindungi hak orang lain tanpa melihat perbedaan keyakinan, suku dan warna kulitnya. Asas ini memberikan pandangan untuk menghargai hak seseorang dari sisi kemanusiannya, tanpa tendensi apapun.
Ironisnya, tidak sedikit pemeluk agama Islam yang berasumsi bahwa Maqâshid al-Syarîah hanya berlaku untuk umat muslim saja. Kelompok yang mengklaim bahwa Maqâshid ini bersifat fragmentaris, tentunya salah besar. Ini hanya pemikiran konservatif seseorang ketika ia hidup di sebuah negara yang menjunjung pluralitas. Padahal asas ini sejatinya menciptakan ruang bernegara yang bersifat komunal. Ruang dimana semua manusia bisa mencapai satu kesepakatan untuk hidup damai dalam satu negara, yang bukan berdasarkan agama.
Refleksi seseorang yang mengimplementasikan Maqâshid untuk melindungi hak saudara non-muslimnya, akan menumbuhkan semangat beribadah antar-sesama umat beragama. Sinergitas dalam melindungi hak orang lain untuk beribadah, akan membentuk suatu lingkungan yang damai. Berangkat dari lingkungan kecil, bisa saja nanti menjadi refleksi bagi lingkungan lain dalam memahami pluralitas. Hingga akhirnya pengaruh tersebut dapat dirasakan oleh negara yang sifatnya kolektif dan komunal.
Membincang persoalan ibadah tentunya berkaitan dengan identitas seorang beragama. Sejatinya, ibadah bukanlah tujuan. Tujuan sebenarnya ialah hasil dari interpretasi ibadah yang tercermin pada perilaku. Pemikiran yang menjadikan ibadah sebagai tujuan cenderung mendeskripsikan kesalehan individual atau fanatisme yang melupakan dirinya sebagai seseorang yang bernegara. Misalnya memberikan sedekah termasuk ibadah. Kita sering melihat penggalangan dana untuk umat muslim di Palestina dan Suriah dengan mengatasnamakan kemanusiaan. Memang perlu dan penting. Akan tetapi mereka melupakan kemaslahatan bangsanya, bahwa ada saudaranya di beberapa daerah mengalami kelaparan. Belum lagi ketika ternyata ada kepentingan politis dari kepedulian mereka atas derita umat muslim di Palestina ataupun Suriah. Semisal karena mereka sama-sama berafiliasi ke partai yang sama, partai Ikhwanul Muslimin.
Peristiwa ini memiliki korelasi dengan kisah Rasulullah, terkait pembagian ghanimah perang Hunain kepada para pembesar Quraisy. Dalam kisah tersebut, Rasulullah tidak membagikannya kepada sahabat Anshar, sehingga menimbulkan pertanyaan besar dan rasa iri. Padahal, mereka yang berjuang membela Rasulullah dalam dakwah Islam dan perang. Berangkat dari kisah ini, tentunya ada hikmah besar dari sikap Rasulullah. Ternyata, pembagian ghanimah kepada para pembesar Quraisy yang baru masuk Islam bertujuan untuk memantapkan keimanannya yang masih lemah. Analoginya sederhana, bahwasanya saudara muslim yang sedang mengalami kelaparan di beberapa daerah lebih menjadi tanggung jawab muslim di daerah setempat. Pun untuk kasus muslim yang berada di Indonesia, mestinya tujuan dan penerapannya sama. Beberapa faktor lemahnya iman, dapat dilihat dari ia ketika diuji kekurangan. Sementara memberikan bantuan kepada muslim yang bukan berada di Indonesia, hukumnya fardlu kifayah.
Imam Ibnu Hajar dalam Fath al-Bârî, menunjukkan satu pendapat yang mengatakan bahwa ghanimah tersebut bisa dibagikan kepada non-muslim yang ada ketertarikan kepada Islam. Pendapat tersebut menarik. Sederhananya, pemberian bantuan juga dapat diberikan kepada non-muslim yang sebangsa dengan syarat-syarat tertentu. Sebagai catatan, pemerintah atau cendekiawan muslim perlu menimbang kemaslahatan kedepannya. Tentunya pemahaman seperti ini tidak dimiliki kelompok yang berasumsi bahwa asas tadi bersifat fragmentaris. Ruang Maqâshid yang komunal, dipersempit oleh pemikiran konservatif dalam memandang kemaslahatan atas nama ibadah dan kemanusian. Hingga nantinya menimbulkan kesenjangan dan rasa iri atas aksi penggalangan dana yang ada. Padahal jika melihat kemaslahatan, saudara sebangsanya justru berhak untuk dikedepankan.
‘Aku’ Lain
Persoalan intoleransi, tentu terjadi di berbagai belahan dunia mana pun. Akan tetapi, beberapa langkah nyata untuk meminimalisir terjadinya intoleransi perlu digalakkan oleh pemerintah dan cendekiawan. Pemerintah, baik pusat maupun daerah, tidak boleh terintervensi pihak mana pun dan golongan agama mana pun untuk mengambil sikap. Aksi penolakan renovasi Gereja Paroki Joseph di Tanjung Balai Karimun ditengarai adanya intervensi kepada Pemda dari kelompok yang menamai dirinya sebagai FUIB (Forum Umat Islam Bersatu). Dalih penolakan tersebut berdasarkan pada kecemasan akan berubahnya ikon kota ‘Bumi Berazam’ dan kekhawatiran macet. Sedangkan aksi masyarakat non-muslim di Minahasa Utara yang menolak pembangunan mushalla, itu dilandasi alasan tidak adanya izin dan enggan mendengarkan kebisingan adzan.
Alasan-alasan di atas tentunya menimbulkan persepsi baru tentang motif pelarangan di atas. Hemat saya, kasus yang terjadi di Tanjung Balai Karimun yang mengatasnamakan kecemasan, seoalah-olah mereka hanya ingin menciptakan kedamaian dalam pandangannya. Maksudnya, kecemasan yang ditunjukkan ialah sikap egoisme yang mengatasnamakan ikon kota Islam. Nah ini, yang bisa disebut ‘Aku yang lain’. Sikap mereka yang bernaung di bawah ikon kota islami, bukan semerta membela agamanya, melainkan hawa nafsu yang sengaja ditampakkan untuk mempersulit IMB (Izin Mendirikan Bangunan). Padahal, IMB tersebut sudah dikantongi pihak gereja.
Sama halnya dengan yang terjadi di Minahasa Utara, mereka menolak pembangunan mushalla karena mayoritas penduduk daerah tersebut adalah non-muslim. Sedangkan ketidaksenangan dengan suara adzan, hanya motif untuk meluluskan peran ‘Aku yang lain’ agar tidak dikenai pasal penistaan agama, seperti kasus sebelumnya. Tendensi tidak mau berdampingan dengan pemeluk agama lain dengan alasan tertentu, melahirkan sikap ‘Aku yang lain’ dengan pertimbangan kecemasan. Dari sini, tampak peran ‘Aku yang lain’ dalam lingkup berbangsa dan bernegara menjadi parasit dan menghambat eksistensi toleransi. Barangkali begitu juga dengan adanya penolakan harlah NU di Yogyakarta, dimana ‘Aku yang lain’ dari kelompok ormas mayoritas setempat disinyalir sebagai pihak yang keberatan terselenggaranya acara harlah NU di masjid Gedhe Kauman Yogyakarta.
Syahdan, sikap ke-aku-an yang muncul di bawah naungan agama, menjadi salah satu penguat tumbuhnya pemikiran konservatif yang berujung pada radikalisme. Tentunya, persoalan radikalisme tidak hanya terjadi pada pemeluk agama tertentu. Melainkan, semua pemeluk agama rentan terpapar radikalisme, jika ia menginterpretasikan kitab sucinya secara tekstualis dan memandang kemaslahatan dalam kacamata fregmentasi. Oleh karenanya, kita dapat menilai sebuah negara itu menjunjung toleransi atau tidak, bisa dari sisi interaksi antar-saudara sebangsanya yang berbeda keyakinan. Lantas, bagaimana dengan Indonesia saat ini?