Korona dan Rasisme Ras Cina

Usai diguncang seputar ketegangan di sekitaran Persia (Iran vs AS) dan perang ekonomi, kini dunia kembali diguncang wabah virus Korona (COVID-19) yang berasal dari Provinsi Wuhan, Cina. Menurut CNN Indonesia, virus tersebut bisa menular melalui interaksi langsung manusia, seperti jabat tangan, percikan bersin ataupun batuk. Virus Korona kini bahkan menjadi pandemi dan telah menelan korban jiwa sekitar 4700-an yang korbannya mayoritas berasal dari Cina.
Beragam media nasional dan internasional terus-menerus mencari fakta dan mengabarkan secara intens guna memperkuat kewaspadaan negara dan masyarakat. Bisa dipastikan seluruh media mainstream menjadikan virus korona menjadi titik fokus pemberitaan, sehingga informasi yang dihadirkan bisa bersifat objektif dan akurat. Akan tetapi, hal tersebut menjadi berbeda 180 derajat ketika masyarakat sipil turut menjadi agent of informatif tanpa dibekali dengan kemampuan dan etika jurnalistik yang baik. Walhasil, informasi virus Korona menjadi alat untuk menjatuhkan martabat warga ras Tionghoa (di daerah Asia) atau ras Asia (di daerah non-Asia). Oleh sebab itu, dalam tulisan ini saya akan membahas mengenai perubahan arus produksi informasi dan efek samping bagi sebuah objek informasi.
Post-Truth dan Rasisme
Sebelum pembahasannya diulas lebih lanjut, terlebih dahulu saya akan memaparkan sebuah wacana kontestasi kebenaran bernama post-truth. Prof. Francis Fukuyama dalam wawancaranya oleh University of Stanford mengatakan bahwa ia merupakan refleksi atas ketidakpercayaan terhadap otoritas institusi sosial dan politik yang selama ini melahirkan dan mengembangkan sosio-kultur masyarakat. Lebih lanjut, mereka (masyarakat post-truth) memiliki kecenderungan yang berlebihan dalam mengkritik apapun yang berasal dari institusi sosial dan politik dan mencari bentuk dengan caranya sendiri, bahkan meski tidak akurat. Bisa disimpulkan, post-truth merupakan gerakan perlawanan masyarakat atas wacana sosial, sudut pandang politik dan informasi massal hasil rekonstruksi institusi sosial-politik yang telah mapan.
Dari sudut pandang lain, seorang jurnalis senior The Telegraph (Jim White) dalam sebuah diskusi panel yang diadakan Oxford Union mengatakan post-truth atau post-fact ialah terjadinya demokratisasi informasi atas informasi yang beredar di masyarakat. Maksud dari demokratisasi informasi tersebut ialah hilangnya monopoli sumber informasi yang selama ini diberlakukan dan dinikmati oleh media massa, sehingga masyarakat yang selama ini menjadi penerima informasi (consumer of information) pun turut menjadi produsen informasi. Berbekal dengan kecanggihan teknologi smartphone, media sosial dan kemampuan beropini (sense of opinion), masyarakat merasa percaya diri untuk melakukan kegiatan jurnalistik dan menyebarkan informasi yang dibuat. Hasilnya, luberan informasi terhadap suatu peristiwa itu berasal dari berbagai sumber dan menimbulkan kebingungan massal (mass of confusion) atas kebenaran mengenai peristiwa yang diberitakan.
Jika diperhatikan dari kedua pernyataan tersebut, saya menyimpulkan bahwa keduanya bersepakat atas kondisi post-truth. Yaitu sebuah kondisi di mana masyarakat mendekonstruksi apapun yang berasal dari institusi sosial dan politik yang telah mapan dan berusaha mencari bentuk baru dari sebuah konstruksi. Namun, keduanya berbeda mengenai porsi atas dekonstruksi tersebut. Pernyataan pertama cenderung secara keseluruhan hasil konstruksi yang mapan (institusi) sedangkan yang kedua memperkecil porsi hanya pada persoalan peredaran informasi saja. Meskipun post-truth sendiri masih bersifat wacana (belum memiliki hipotesis teori yang jelas), akan tetapi dapat kita jadikan ukuran mengingat fenomenanya telah terjadi. Melalui kedua pendapat tersebut, saya akan menggunakan pendapat yang kedua untuk melihat kondisi peredaran berita mengenai COVID-19 di Indonesia.
Di saat saya melihat peredaran informasi mengenai virus Korona tersebut, proses demokratisasi informasi atau post-truth membelah jenis berita menjadi dua sumber, yakni media mainstream dan opini masyarakat. Pada arus media mainstream, seluruh informasi berfokus pada virus Korona, mulai dari asal-muasal virus, deteksi penyebaran, jumlah korban, hingga perkembangan mutasi virus dan penelitian antidotnya. Semuanya tersusun rapi dari waktu ke waktu, tanpa henti dan tanpa dibumbui personalitas negara asal virus tersebut. Seluruh model penyajian informasi tersebut bisa dilihat di media massa seperti Kompas, CNN, Jawa Pos dan lain-lain yang beritanya tidak bisa saya hadirkan karena akan memakan ruang di tulisan ini. Meskipun tetap saja menimbulkan kepanikan, akan tetapi sifat panik tersebut merupakan reaksi biasa atas hal baru yang menimpa, sehingga pemerintah dan pihak berwenang dapat mengonter dengan baik.
Namun, pada jenis informasi yang kedua justru tidak hanya berisikan informasi mengenai virus Korona, namun juga personalitas negara asal virus tersebut yang berujung pada caci maki. Ini bisa dilihat pada beberapa ceramah dari ustadz (gadungan) seperti Zulkifli Muhammad Ali dan Ahmad Baequni yang mengaitkan virus Korona sebagai akibat dari bangsa Cina yang telah menyiksa muslim Uyghur. Ataupun di beberapa media anonim yang memberitakan bahwa COVID-19 merupakan senjata biologis yang dikembangkan oleh Cina. Seluruh informasi yang demikian, bukan hanya menimbulkan kepanikan, melainkan juga sinisme yang berujung pada rasisme pada ras Tionghoa (di wilayah Asia), bahkan ras Asia (di wilayah non-Asia).
Sebuah contoh kasus pada lingkungan mahasiswa Indonesia di Mesir (Masisir) yang notabene mereka sedang belajar di negeri orang (Mesir). Yang mana mereka sebagai mahasiswa ras Asia acap menjadi korban rasisme para sopir ataupun masyarakat Mesir. Bahkan ada yang menjadi korban makian rasial dan pelecehan oleh oknum sopir Uber. Meski persoalan tersebut sudah diselesaikan dan tidak ada hubungannya dengan Indonesia, tetapi bisa kita lihat betapa buruknya akibat dari opini publik yang diselewengkan dan menyimpang dari etika jurnalistik.
Wabakdu, pada ilmu mustholah hadist seorang perawi (pembawa hadist) harus ‘adâlah (bersikap adil) dan dhôbith (berkeahlian dan cerdas) agar hadistnya dapat diterima. Maka, kita pun dapat menerapkannya untuk mengonfirmasi setiap informasi yang kita terima. Apakah sang pembawa informasi itu telah bersikap adil; yang berarti no framing terhadap sebuah berita? Apakah sang pembawa informasi memiliki kapabilitas yang mumpuni untuk menangkap dan membawa sebuah informasi? Kiranya, kedua pertanyaan tersebut dapat menjadi alat bagi kita untuk memilah informasi, agar tidak justru mengarahkan kita pada jurang permusuhan.