Menyikapi Corona; Perspektif Sains dan Agama

“Tidak ada suatu musibah apapun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah,
dan setiap orang yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya.
Dan Allah mengetahui segala sesuatu.” (Q.S; at-Taghabun, ayat 11)
Saat ini, ayat di atas menurut saya tepat untuk menjadi penenang masyarakat (muslim) di belahan dunia manapun. Momentum yang sedang terjadi ini juga cocok untuk menata kembali tauhid dan keimanan kita pada sang Khalik. Terlepas dari adanya beberapa komentar, apakah virus Corona ini alami atau buatan pihak-pihak tertentu; ia hakikatnya adalah makhluk Tuhan. Saya yakin, ada banyak pandangan teoretis dan sikap masing-masing individu yang menginterpretasikan fenomena ini. Ayat di atas tersebut sedikitnya mengajak kita untuk ‘kembali’ mengingat, bahwa segala sesuatu yang terjadi telah dituliskan oleh-Nya, jauh sebelum manusia itu sendiri diciptakan.
Melansir dari peta penyebaran Covid-19, Coronavirus COVID-19 Global Cases by John Hopkins CSSE, hingga Kamis (19/3/2020) pagi, jumlah kasus virus Corona di seluruh dunia telah mencapai lebih 229.390 kasus, dengan korban meninggal lebih dari 9.325 orang dari 177 negara. Beragam media informasi di sekitar kita terus memberikan kabar dan fakta terbaru sebagai pengingat kepada masyarakat untuk selalu berhati-hati dan aktif melakukan tindakan pencegahan.
Fenomena Corona harus ditanggapi dengan cepat dan tenang, tidak perlu panik dan gegabah. Sayangnya, beberapa tokoh masyarakat yang seharusnya menjadi rujukan masyarakat dan kalamnya berfungsi menenangkan khalayak ramai, malah memberikan statement ngawur. Misalnya ceramah Ustadz Abdul Somad (UAS) yang memberikan penjelasan bahwa Virus Corona merupakan tentara Allah. Ia mengatakan bahwa saat tentara Abrahah ingin menghancurkan Kakbah, maka ‘Wa Arsala ‘alaihim thoiron Ababil; Kami kirimkan kepada mereka burung Ababil. Ia menganut tafsir Muhammad Abduh yang mengartikan bahwa burung Ababil, secara metaforis diartikan sebagai penyakit campak yang menular. UAS kemudian mengiaskan burung Ababil tersebut dengan virus Corona. Menurutnya, tentara Allah itu macam-macam, yang terakhir bernama Corona. Ia adalah tentara yang dikirimkan oleh Allah atas penyiksaan yang terjadi pada muslim Uyghur di Cina.
Tidak berselang lama, Ustadz Zulkifli Muhammad berstatement bahwa virus Corona yang sedang mewabah ini sebenarnya adalah buatan organisasi terlarang Illuminati. Informasi ini, alih-alih berdasarkan pada penelitian bertahun-tahun atau survei pada beberapa negara, tapi beliau mendapatkannya dari potongan video seorang perempuan bercadar yang kesurupan saat diwawancarai seseorang. Di luar dugaan, jawaban perempuan kesurupan itu lantas menyebutkan siapa sosok/pihak di balik virus Corona, yakni ia mengatakan ‘Illuminati’.
Dua buah pernyataan di atas menurut saya tidak tepat dan gegabah. Sebagai (katakanlah) tokoh masyarakat yang diharapkan keberadaannya untuk menenangkan, ia justru menimbun berbagai masalah yang kompleks pada masyarakat. Masyarakat yang sudah cukup sedih atas wabah yang sedang melanda, justru kian kalut usai mendengar pernyataan ngawur tokoh masyarakatnya. Tentunya ini akan menggiring mereka kepada intoleransi dan rasisme kepada ras China, khususnya.
Momentum pandemic Corona ini seharusnya cocok untuk dijadikan sebagai sarana kita kembali mendekatkan diri kepada Tuhan. Ada banyak syukur yang lebih patut kita haturkan, ketimbang berburuk sangka atau melontarkan ujaran kebencian dan memberikan statemen serampangan. Sekalipun benar bahwa wabah yang sedang melanda saat ini adalah azab atas perilaku sewenang-wenang kepada umat muslim di Uyghur, kenapa ini juga melanda negeri-negeri muslim? Bagaimana pula dengan wabah MERS pada tahun 2012 yang berasal dari Unta Arab Saudi? Tidak adil rasanya jika wabah yang muncul dari negeri non-muslim disebut azab, sementara wabah yang muncul dari negeri muslim kemudian disebut cobaan.
Riset Sains
Melansir dari KOMPAS.COM, virus ini memiliki sejarah yang mana diidentifikasi sebagai penyebab flu biasa pada tahun 1960. Sampai pada tahun 2002, virus ini belum dianggap fatal. Akan tetapi, pasca munculnya virus SARS-Cov dan MERS-Cov, diketahui bahwa virus ini bukan virus yang stabil, serta ia mampu beradaptasi menjadi lebih ganas hingga dapat menyebabkan kematian.
Prof. Soewarno yang juga wakil dekan III Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) Universitas Airlangga berpendapat bahwa virus Corona bukanlah hal baru. Ia adalah hasil mutasi. Virus ini juga serupa dengan virus yang menjadi penyebab SARS-Cov dan MERS-Cov. Dari sejumlah berita yang beredar, penyebaran virus ini diduga memiliki keterkaitan dengan aktivitas sejumlah masyarakat dalam mengonsumsi satwa liar, seperti tikus, kelelawar, curut, dan primata.
Corona virus sendiri adalah virus Serena yang beramplop. Oleh karena itu, jika dibayangkan, virus ini berbentuk seperti balon yang dikelilingi oleh paku-paku. Paku yang mengelilinginya terdiri atas lapisan lipoprotrein. Sebuah lapisan yang akan sangat mudah hancur oleh pelarut lemak, detergen, dan disinfektan. Jadi, meskipun virus ini memiliki kemampuan untuk menyebar dengan cepat, ia memiliki kelemahan; mudah hancur oleh pelarut lemak, detergen, dan disinfektan. Oleh karenanya, jika kita sering mencuci tangan, mengepel lantai dengan disinfektan, maka virus ini akan hancur.
Agama Menjawab
Setelah mengkaji virus Corona menurut riset sains, mari kita beranjak melihat bagaimana agama melihat wabah sebagai sesuatu yang tidak perlu ditakuti sebagai bagian dari azab untuk hal yang bidah dan kafir. Dalam sejarah Islam, wabah seperti hujan kutu, belalang, dan katak terjadi pada zaman nabi Musa, lalu digambarkan sebagai adzab dari Tuhan. Wabah ini merupakan balasan untuk Bani Israil akibat kedurhakaan mereka kepada Allah. Selain itu, ada juga wabah penyakit yang dikategorikan sebagai cobaan bagi umat beragama agar kembali mendekatkan diri kepada Tuhannya. Seperti ketika terjadi wabah Black Death pada abad 14, para intelektual muslim bidang kedokteran, salah satunya Ibnu al-Khatib (sebagai dokter ternama di Andalusia) telah menjelaskan sebab-akibat dan argumen teologis, serta menggunakan warisan tradisi kesehatan zaman Yunani untuk menganalisa dan mengatasinya.
Ibnu Hajar al-Asqalani dalam kitabnya, Badzlu al-Ma’un fi Fadli al-Thaun menjelaskan bahwa wabah dapat dikatakan sebagai azab atas perilaku orang kafir, hanya jika wabah tersebut melanda orang kafir. Sementara realita Corona di lapangan, memperlihatkan penularan dalam skala global yang sangat cepat, tanpa mengenal warna kulit dan agama. Sehingga, jika menilik dua perspektif di atas, mengartikan wabah sebagai azab adalah bentuk dari ketidakmampuan umat beragama dalam mengatasi fenomena alam dengan cara berpikir yang rasional dan jernih.
Secara evaluatif, adanya wabah penyakit ini adalah untuk mengambil hikmah atas kepatuhan perintah dan larangan Allah. Di antara betuk patuh terhadap perintah dan larangannya yaitu menjaga kebersihan dan hidup dengan pola yang sehat, sebagaimana anjuran dalam Hadits Nabi, “Agama Islam itu (agama) yang bersih, maka hendaklah kamu menjaga kebersihan, karena sesungguhnya tidak akan masuk surga kecuali orang-orang yang bersih” (HR al-Baihaqi).
Wabakdu, menghadapi keadaan saat ini, ada dua ikhtiyar yang selayaknya kita lakukan. Pertama, ikhtiar berupa tindakan fisik yang bersifat medis; yaitu rajin mencuci tangan, pun menerapkan etika bersin dan batuk. Kedua, sebagai umat beragama, tentunya kita dianjurkan untuk berusaha dengan usaha yang berhubungan dengan kekuasaan Allah. Sebagai penganut teologi Asy’ari, misalnya, bahwa selalu ada bentuk campur tangan Tuhan pada setiap tindak-tanduk yang dilakukan. Artinya, selain berdoa dan tawakal, tentunya juga tak menafikan peran potensial manusia dalam ikhtiarnya.