Opini

Lagu Aisyah; Antara Propaganda dan Gejala Islam Konservatif

Melihat maraknya tren hijrah, sulit rasanya untuk tidak mengatakan bahwa ekspresi keberislaman masyarakat muslim Indonesia saat ini mulai terkungkung dalam lingkup konservatif. Hal ini, salah satunya ditandai dengan penyederhanaan religiusitas personal oleh simbol-simbol ritual tertentu. Mulai dari tren niqab, arabisasi panggilan untuk sesama muslim, sampai tren nikah muda. Dari tiga simbol ritual tersebut, saya melihat bahwa tren nikah muda merupakan salah satu klimaks dari proyek besar kaum hijrah. Sebab, melalui tren nikah muda, mereka lebih leluasa untuk melestarikan paradigma yang sesuai dengan kelompok mereka. Adanya seminar-seminar nikah muda dan andil media sosial dalam menampilkan romantisme artis-artis yang melakukan nikah muda, adalah beberapa upaya yang telah ditempuh mereka untuk mencapai titik klimaks. Dan sampai saat ini, nikah muda dengan diferensiasi propagandanya masih terus digelorakan.

Hadirnya lagu Aisyah Istri Rasulullah saya kira sedikit demi sedikit telah mengafirmasi propaganda itu. Disadari atau tidak, lagu Aisyah membawa pendengarnya untuk mengimajinasikan mahligai rumah tangga yang penuh dengan keromantisan. Lebih-lebih, sang penggubah lagu juga mencatut ekspektasi yang cukup tinggi dengan menjadikan romantisme ala Rasulullah dan Sayyidah Aisyah sebagai model ideal. Dengan demikian, proyek besar kaum hijrah bisa disimpulkan sedang menemukan momentumnya. Apa yang mereka upayakan melalui: (i)pendekatan ideologis; seminar nikah muda, (ii)pendekatan visual; romantisme orang-orang yang menikah muda di media sosial atau di laman Youtube dalam bentuk short movie, dan (mungkin) yang terakhir (iii)pendekatan seni; melalui musik, telah menjadi semacam paralelisme ideologi yang dapat mengubah cara pandang publik terhadap nikah muda.

Paralelisme ideologi ini juga dikuatkan dengan fakta bahwa anak muda milenial telah banyak dijejali hal-hal romantis dari berbagai sisi. Terbitnya novel-novel pop-asmara secara masif, beredarnya lagu-lagu kisah asmara dari berbagai macam band telah menghujani jiwa kaum milenial untuk terus dahaga akan nuansa romantis. Momen romantik ini semakin diperkuat dengan menghadirkan prototipe romantisme Rasulullah dan Sayidah Aisyah melalui mediasi lagu. Buktinya, lagu Aisyah Istri Rasulullah menempati trending pertama di Youtube dan selanjutnya banyak di-cover oleh musisi lainnya.

Dari sini, lagu tersebut hadir sebagai komodifikasi yang ditawarkan kepada pendengar agar publik mengimajinasikan romantisme nikah muda. Para perempuan, misalnya, akan berangan-angan untuk jadi seperti Sayidah Aisyah; bersikap manja, setia sampai akhir hayat dan berusaha untuk selalu tampil anggun di hadapan suaminya. Sementara, kaum lelaki akan mengupayakan bersikap romantis ala Rasulullah; meminum air di gelas bekas minuman istrinya, mengikat rambut istrinya, mencubit hidungnya di kala marah dan mengajaknya bermain lari-larian. Namun, pada tataran ini, saya tidak mempersoalkan keabsahan perilaku romantis yang dilakukan baginda Rasulullah, sebab para cendikiawan Islam juga membicarakan romantisme Rasulullah dalam rangka membumikan sisi kemanusiannya. Seperti Imam Ibnu Katsir dalam kitab al-Bidâyah wa al-Nihâyah yang mengisahkan Rasulullah bersiwak dengan kayu siwak bekas Sayidah Aisyah di masa akhir hidupnya.

Selanjutnya, apa yang disuguhkan oleh sang penggubah lagu tersebut, saya kira hanya memberikan pengaruh emosional. Dimana si pendengar akan mulai tersugesti di alam bawah sadarnya untuk mengingat sosok Sayidah Aisyah sebagai istri yang banyak menghiasi kehidupan pribadi Rasulullah. Ditambah lagi, lagu ini tersebar secara masif yang memungkinkan terjadinya “sugesti interaksional” yang menjangkit kaum milenial. Padahal, sesuatu yang lebih urgen dari hal itu adalah sisi intelektual dari Sayidah Aisyah. Semisal ia sebagai seorang guru karena menjadi salah satu penutur Hadits terbanyak, pun peran aktifnya dalam dunia politik di masa Khalifah Ali bin Abi Thalib yang tidak dapat dimungkiri. Hal inilah yang mungkin luput dari proses kreatif penciptaan lagu tersebut. Sehingga terkesan mengesampingkan sisi intelektual dari Sayidah Aisyah.

Walaupun memang, penciptaan sebuah lagu dengan substansi yang (mungkin) cukup berat tidaklah mudah. Namun setidaknya, kehidupan pribadi Rasulullah maupun Sayidah Aisyah hendaknya ditampilkan secara proporsional, sesuai dengan fakta dan tidak terkesan vulgar. Pada faktanya, penggubah lagu Aisyah juga melakukan kesilapan dalam lirik. Misalnya ketika menerjemahkan julukan al-Humaira. Sebagaimana kita tau, julukan al-Humaira sebenarnya tidak ditujukan pada pipi yang merah merona. Melainkan, pada warna kulit manusia di suatu daerah. Sebagaimana di Indonesia, ada ungkapan “kulit sawo matang” untuk menggambarkan warna kulit yang cokelat kemerah-merahan. Pun, terkait penggunaan diksi bibir dalam lirik “hingga Nabi minum di bekas bibirmu” yang mungkin bisa disederhanakan kembali sehingga tidak memberikan kesan sensual.

Berangkat dari beberapa kesilapan dalam lagu Aisyah, saya juga melihat gejala al-Ilm al-Nâqis (pengetahuan yang kurang atau setengah-setengah) yang dijelaskan oleh Shakib Arslan dalam mengurai faktor-faktor lahirnya pemikiran konservatif dalam Islam. Narasi dalam lirik lagu Aisyah adalah pengetahuan yang tidak utuh. Alih-alih, si pencipta lagu ingin berdakwah, sekaligus mengedukasi publik dengan menampilkan kehidupan pribadi Rasulullah yang (mungkin) tidak banyak disentuh lewat lagu. Ia justru malah terjatuh pada kealpaan yang dapat mereduksi substansi kisah asli pada lagu tersebut. Ironi yang demikian sudah banyak terjadi di kalangan umat muslim Indonesia dewasa ini. Misal dari kasus kesalahan memahami ayat, penafsiran al-Quran dan Hadits secara sembrono, bahkan cocokologi ayat al-Quran demi penyesuaian terhadap realita. Kesalahan-kesalahan ini dilakukan oleh orang-orang dengan pengetahuan yang seadanya dan belum komplit, kemudian ia sering tampil di publik dengan gagahnya, seolah-olah mereka berhak atas semua itu.

Pada akhirnya, besar harapan saya agar pesan-pesan keislaman (dalam konteks apapun) bisa tersampaikan secara substansial dan tepat pada porsinya. Artinya, menyampaikan ajaran Islam harus utuh dan proporsional. Lebih-lebih ketika melalui media lagu yang sangat gampang memengaruhi massa. Jika tidak diperhatikan, maka hal itu justru hanya akan mengelabui massa. Berbeda dengan nasyid Islami seperti shalawat atau syair-syair Arab yang memang bertujuan untuk mengajak massa membumikan bacaan shalawat atau mengingat Tuhannya.

0%

User Rating: 4.11 ( 9 votes)

Back to top button