Sejarah dan Amaliah Nisfu Sya’ban

Sore 14 Sya’ban menjelang Maghrib, saya mendapat pesan singkat dari salah satu Syekh sepuh penganut Tarekat besar di Mesir. Pesan singkat tersebut isinya mengingatkan saya untuk tidak lupa membaca Surat Yasin sebanyak tiga kali dan membaca beberapa aurad, serta merapal doa-doa khusus di malan Nisfu Sya’ban. Terlebih lagi di musim wabah Covid-19 sedang melanda seperti tahun sekarang.
Terkait Nisfu Sya’ban, PBNU (Pengurus Pusat Nahdhatul Ulama) sudah menetapkan jika malam Nisfu Sya’ban 1441 H pada tahun 2020 ini jatuh pada tanggal 8 Maret 2020, bertepatan dengan hari Rabu malam Kamis. Sementara di Mesir, malam Nisfu Sya’ban bertepatan dengan hari Selasa, 7 Maret 2020 kemarin. Artinya jika dibanding Indonesia, Mesir lebih dahulu menjumpai dan mengisi malam Nisfu Sya’ban, selisih satu hari.
Malam Nisfu Sya’ban sendiri secara harfiah berarti malam pertengahan bulan Sya’ban alias malam 15 Sya’ban. Malam Nisfu Sya’ban bagi umat Islam menjadi spesial karena pada malam tanggal 15 Sya’ban itu terjadi peristiwa penting dalam sejarah umat Islam. Yaitu peristiwa pemindahan kiblat shalat yang asalnya dari Baitul Muqaddas di Palestina, lalu dipindah menuju arah Ka’bah yang berada di Masjidil Haram, Makkah. Momen bersejarah ini terjadi pada tahun ke-8 Hijriyah.
Namun sejatinya, sebelum Nabi Muhammad hijrah ke Madinah, kiblat shalat umat muslim adalah Ka’bah al-Mukarramah. Baru setelah Nabi hijrah ke Madinah, beliau memindahkan kiblat shalat yang asalnya Ka’bah berpindah ke Baitul Muqaddas. Menurut historinya, perpindahan tersebut bertujuan menjinakkan hati kaum Yahudi dan sekaligus mengenalkan syariat al-Quran serta agama tauhid kepada orang-orang Yahudi.
Usai Nabi Muhammad memindah kiblat shalat ke Baitul Muqaddas selama 16-17 bulan, ternyata kaum Yahudi di Madinah tetap berpaling dari Nabi dan tidak mengakui agama tauhid, bahkan memusuhi Islam. Hingga akhirnya, Nabi memohon kepada Allah SWT agar kiblat shalat kembali dipindahkan dari Baitul Muqaddas ke Ka’bah lagi. Permohanan Nabi Muhammad kepada Allah ini muncul setelah orang-orang Yahudi mengejek Nabi dan mengatakan, “Muhammad menyalahi kita dan mengikuti kiblat kita. Apakah (kira-kira) yang memalingkan Muhammad dan para pengikutnya dari kiblat (Ka’bah) yang selama ini mereka gunakan?.” Ejekan Kaum Yahudi dijawab oleh Allah SWT dalam surat al-Baqarah ayat 143:
وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِى كُنْتَ عَلَيْهَا إلاَّ لِنعْلَمَ مَنْ يَتَّبِعُ الرَّسُولَ مِمَّنْ يَنْقَلِبُ عَلَى عَقِبَيْهِ
Dan kami tidak menjadikan kiblat yang (dahulu) menjadi kiblatmu, melainkan agar kami mengetahui siapa yang mengikuti Rasulullah SAW dan siapa yang berbalik membelot…
Realisasi pemindahan kiblat shalat dari Baitul Muqaddas ke Ka’bah itu terekam jelas dalam al-Quran surah al-Baqarah ayat 144:
قَدْ نَرَىٰ تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ ۖ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا ۚ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ۚ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ ۗ وَإِنَّ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ لَيَعْلَمُونَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّهِمْ ۗ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُونَ
Kami (sering) melihat wajahmu (Muhammad) menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan palingkan engkau ke kiblat yang kamu sukai. Maka hadapkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja engkau berada, hadapkanlah wajahmu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa pemindahan kiblat ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhan mereka. Dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.
Terkait hukum mengisi dan menghidupkan malam Nisfu Sya’ban, berikut sepilihan Hadits dan referensi yang cukup mu’tabar dari beberapa kitab yang pernah saya baca dan biasa menjadi rujukan guru-guru kita. Yang jelas, semua ritual atau amaliah yang umat muslim laksanakan di malam Nisfu Sya’ban ada pijakan hukumnya. Sebagaimana telah dikatakan Syekh al-Mubarakfuri dalam kitabnya Tuhfah al-Ahwadzi:
إعلم أنه قد ورد فى فضيلة ليلة النصف من شعبان عدة أحاديث مجموعها يدل أن لها أصلا
Ketahuilah bahwa sesungguhnya beberapa Hadits yang berkaitan dengan keutamaan malam nisfu sya’ban itu memang benar-benar ada, yang mana secara keseluruhan menunjukan bahwa fadlilah malam Nisfu Sya’ban ada pijakan dalilnya.”
Misalnya dalam Kitab Sunan Ibn Majah juz 1 halaman 444, terdapat Hadits nomor 1388:
حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ الْخَلَّالُ ثنا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَنْبَأَنَا ابْنُ أَبِيْ سَبْرَةَ عَنْ إِبْرَاهِيْمَ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ جَعْفَرٍ عَنْ أَبِيْهِ عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِيْ طَالِبٍ قَالَ قَالَ رَسُوْل اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ إِذَا كَانَتْ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَقُوْمُوْا لَيْلَهَا وَصُوْمُوْا نَهَارَهَا. فَإِنَّ اللهَ يَنْزِلُ فِيْهَا لِغُرُوْبِ الشَّمْسِ إِلَى سَمَاءِ الدُّنْيَا. فَيَقُوْلُ أَلَا مِنْ مُسْتَغْفِرٍ لِيْ فَأَغْفِرَ لَهُ أَلَا مِنْ مُسْتَرْزِقٍ فَأَرْزُقَهُ أَلَا مُبْتَلًى فَأُعَافِيَهُ أَلَا كَذَا أَلَا كَذَا حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ
Bahwasanya dari Ali bin Abu Thalib, beliau berkata: Rasulullah SAW bersabda: Apabila telah datang malam Nisfu Sya’ban, maka hidupkanlah malam harinya dan berpuasalah pada siang harinya, sesungguhnya (rahmat) Allah turun pada malam itu ke langit yang paling bawah tatkala terbenamnya matahari. Kemudian Allah menyeru: “Adakah orang yang meminta maaf kepada-Ku, maka akan Aku ampuni. Adakah orang yang meminta rizqi, maka Aku akan melimpahkan rizqi kepadanya. Adakah orang yang sakit, maka akan Aku sembuhkan”. Dan adakah hal-hal yang lain (yang kalian minta) sampai terbitnya fajar.”
Adapun dalil anjuran berpuasa bulan Sya’ban, termaktub pula dalam kitab Sunan Nasai:
أَخْبَرَنَا عَمْرُو بْنُ عَلِيٍّ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ قَالَ حَدَّثَنَا ثَابِتُ بْنُ قَيْسٍ أَبُو الْغُصْنِ شَيْخٌ مِنْ أَهْلِ الْمَدِينَةِ قَالَ حَدَّثَنِي أَبُو سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيُّ قَالَ حَدَّثَنِي أُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ لَمْ أَرَكَ تَصُومُ شَهْرًا مِنْ الشُّهُورِ مَا تَصُومُ مِنْ شَعْبَانَ قَالَ ذَلِكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَبٍ وَرَمَضَانَ وَهُوَ شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيهِ الْأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِم
Bahwasanya Usamah bin Zaid bertanya kepada Rasulullah: Wahai Rasul aku tidak melihatmu puasa pada bulan-bulan lain seperti pada Bulan Sya’ban? Rasul menjawab, “Bulan ini adalah bulan yang dilupakan manusia, antara bulan Rajab dan Ramadlan. Dan bulan ini saat dilaporkannya amal perbuatan (manusia) kepada Tuhan semesta alam. Sementara aku senang jika amalku dilaporkan, sedang aku dalam keadaan puasa.”
Imam Ahmad bin Hanbal (W. 241 H) pun meriwayatkan sebuah Hadits yang terdapat dalam kitab al-Musnad terkait keutamaan malam Nisfu Sya’ban:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ” يَطَّلِعُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلَى خَلْقِهِ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِعِبَادِهِ إِلَّا لِاثْنَيْنِ: مُشَاحِنٍ، وَقَاتِلِ نَفْسٍ
Dari Abdillah ibn ‘Amru, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: “Allah SWT akan memantau makhluk-Nya pada malam Nisfu Sya’ban kemudian mengampuni dosa-dosa hamba-Nya, kecuali bagi seorang pendengki dan orang yang membunuh jiwa manusia.”
Meski menurut al-Mundziri sanad Hadits ini kualitasnya dla’if (lemah) karena terdapat perawi bernama Abdulah Ibn Lahi’ah al-Mishri. Namun perlu kita ketahui, bahwa Hadits ini statusnya adalah Hadits Hasan li Gairihi tersebab substansinya diriwayatkan juga melalui beberapa jalur riwayat lain. Dan status perawi Abdulah Ibn Lahi’ah al-Mishri adalah bukan perawi yang fasik dan pendusta.
Hadits yang identik dengan substansi Hadits di atas adalah Hadits dari Mu’adz ibnu Jabal yang diriwayatkan oleh Imam Thabrani dalam al-Aushat, Imam Ibnu Hiban dalam kitab shahihnya, Imam al-Baihaqi dalam syu’ab al-Iman. Pun Imam al-Tirmidzi yang juga meriwayatkan dengan redaksi dari jalur berbeda:
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: فَقَدْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةً فَخَرَجْتُ، فَإِذَا هُوَ بِالبَقِيعِ، فَقَالَ: أَكُنْتِ تَخَافِينَ أَنْ يَحِيفَ اللّهُ عَلَيْكِ وَرَسُولُهُ قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ إِنِّي ظَنَنْتُ أَنَّكَ أَتَيْتَ بَعْضَ نِسَائِكَ، فَقَالَ: إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ يَنْزِلُ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا، فَيَغْفِرُ لِأَكْثَرَ مِنْ عَدَدِ شَعْرِ غَنَمِ كَلْبٍ
“Dari Aisyah RA, ia berkata: ‘Pada suatu malam aku kehilangan Rasulullah SAW, kemudian saya keluar, ternyata beliau sedang berada di area makam Baqi’. Beliau lantas bersabda: ‘Apakah kamu takut akan didzalimi Allah dan Rasul-Nya?’ Saya berkata, wahai Rasulullah aku kira engkau sedang mendatangi istri-istrimu, beliau lalu bersabda ‘Sesungguhnya Allah SWT turun ke langit dunia pada malam pertengahan bulan Sya’ban, lalu Allah mengampuni manusia sejumlah hitungan bulu kambing.”
Salah satu yang juga turut menguatkan adalah Hadits Shahih Ibnu Hibban berikut ini:
يَطْلُعُ اللَّهُ إِلَى خَلْقِهِ فِي لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِجَمِيعِ خَلْقِهِ إِلَّا لِمُشْرِكٍ أَوْ مُشَاحِنٍ
Allah SWT memperhatikan makhluk-Nya pada malam nisfu Sya’ban dan mengampuni seluruh makhluk-Nya kecuali orang kafir dan orang yang bermusuhan.
Selanjutnya, dalam kitab al-Umm, juz 1 halaman 231, Imam Syafii menuturkan keutamaan dan kemustajaban berdoa di malam Nisfu Sya’ban:
قَالَ الشَّافِعِيُّ وَبَلَغَنَا أَنَّهُ كَانَ يُقَالُ إنَّ الدُّعَاءَ يُسْتَجَابُ فِيْ خَمْسِ لَيَالٍ فِيْ لَيْلَةِ الْجُمُعَةِ وَلَيْلَةِ الْأَضْحَى وَلَيْلَةِ الْفِطْرِ وَأَوَّلِ لَيْلَةٍ مِنْ رَجَبٍ وَلَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ
Imam Syafii berkata: Telah sampai kepada kami, bahwasanya doa itu akan (pasti) dikabulkan di dalam lima malam, yaitu: Malam Jumat, malam Idul Adha, malam Idul Fitri, malam awal bulan Rajab dan malam Nisfu Sya’ban.
Dalam Kitab Nuzhatu al-Majalis, lishshofuuri, juz 1 halaman 165 dikuatkan lagi anjuran untuk berdoa di malam Nisfu Sya’ban:
قَالَ عَطَاءُ بْنُ يَسَارٍ مَا بَعْدَ لَيْلَةِ الْقَدْرِ أَفْضَلُ مِنْ لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ وَهِىَ مِنَ اللَّيَالِى الَّتِيْ يُسْتَجَابُ فِيْهَا الدُّعَاءُ
Atha` bin Yasaar berkata: Tidak ada malam yang lebih utama setelah malam Lailatul Qadar dibandingkan dengan malam Nisfu Sya’ban. Ia merupakan salah satu malam yang mustajab berdoa di dalamnya.
Biasanya, sebelum berdoa secara khusus, umat muslim di berbagai belahan dunia punya beberapa amaliah yang berbeda-beda dalam mengisi malam Nisfu Sya’ban ini. Semisal Sayyid Syekh Murtadla Zabidi dari Mesir yang mempunyai amaliah shalat sebelum membaca Yasin tiga kali. Ini sebagaimana termaktub dalam kitab Ithaf assadatil Muttaqin, Syarh dari kitab Ihya` Ulumiddin juz 3 halaman 424:
وَقَدْ تَوَارَث الْخَلَفُ عَنِ السَّلَفِ فِيْ إِحْيَاءِ هَذِهِ اللَّيْلَةِ بِصَلَاةِ سِتِّ رَكَعَاتٍ بَعْدَ صَلَاة الْمَغْرِبِ كُلُّ رَكْعَتَيْنِ بِتَسْلِيْمَةٍ يَقْرَأُ فِيْ كُلِّ رَكْعَةٍ مِنْهَا بِالْفَاتِحَةِ مَرَّةً وَالْإِخْلَاصِ سِتَّ مَرَّاتٍ. بَعْدَ الْفَرَاغِ مِنْ كُلِّ رَكْعَتَيْنِ يَقْرَأُ سُوْرَةَ يس مَرَّةً وَيَدْعُوْ اَلدُّعَاءَ الْمَشْهُوْرَ بِدُعَاءِ لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ. وَيَسْأَلُ اللهَ تَعَالَى اَلْبَرَكَةَ فِي الْعُمْرِ ثُمَّ فِي الثَّانِيَةِ اَلْبَرَكَةَ فِي الرِّزْقِ ثُمَّ فِي الثَّالِثَةِ اَلْبَرَكَةَ فِيْ حُسْنِ الْخَاتِمَةِ
Ulama khalaf telah mewarisi para ulama salaf dalam menghidupkan malam Nisfu Sya’ban yaitu dengan melakukan shalat 6 rakaat setelah shalat Maghrib. Yang mana tiap dua rakaatnya dengan satu salaman. Setiap satu rakaat membaca surat al-Fatihah satu kali dan Surat al-Ikhlas enam kali. Usai shalat dua rakaat, kemudian membaca Surat Yasin satu kali dan berdoa dengan doa yang telah masyhur, yaitu doa malam Nisfu Sya’ban, lalu berdoa memohon kepada Allah agar diberi keberkahan di dalam umurnya. Kemudian berdoa memohon agar agar diberi keberkahan di dalam rizkinya untuk bacaan Yasin kedua. Bacaan Yasin ketiga memohon agar diberi keberkahan dalam predikat husnul khatimah.
Mengenai beberapa prkatik ritual shalat yang sampai seratus rakaat, semisal Shalat Raghaib atau Shalat Khair, Imam Nawawi dalam kitab Majmu’ justru membid’ahkannya.
الْعَاشِرَةُ، الصَّلَاةُ الْمَعْرُوفَةُ بصلاة الرغائب وهي ثنتى عَشْرَةَ رَكْعَةً تُصَلَّى بَيْنَ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ لَيْلَةَ أَوَّلِ جُمُعَةٍ فِي رَجَبٍ وَصَلَاةُ لَيْلَةِ نِصْفِ شَعْبَانَ مِائَةُ رَكْعَةٍ وَهَاتَانِ الصَّلَاتَانِ بِدْعَتَانِ وَمُنْكَرَاتَانِ قَبِيحَتَانِ وَلَا يُغْتَرُّ بِذِكْرِ هِمَا فِي كِتَابِ قُوتِ الْقُلُوبِ وَإِحْيَاءِ عُلُومِ الدِّينِ
“Kesepuluh, adapun shalat yang dikenal dengan Shalat Ar-Ragha’ib, yaitu 12 rakaat yang dilaksanakan antara Maghrib dan Isya pada malam Jumat pertama bulan Rajab dan shalat malam Nisfu Sya‘ban sebanyak 100 rakaat. Dua shalat ini adalah bid‘ah, mungkar dan buruk. Jangan tertipu dengan penyebutan dua shalat itu dalam kitab Qutul Qulub dan Ihya ‘Ulumiddin,” (Lihat An-Nawawi, al-Majmu‘ Syarhul Muhadzdzab, jilid 4, hal. 56).
Pada malam Nisfu Sya’ban, mayoritas umat muslim di dunia menghidupkan malam mulia tersebut dengan beragam amaliah ibadah. Amaliah-amaliah itu bertujuan untuk meraih keutamaan malam Nisfu Sya’ban. Amaliah yang paling masyhur adalah membaca Surah Yasin tiga kali seusai shalat Maghrib sebagaimana keterangan di atas.
Adapun kaifiyah atau tata cara amaliah malam Nisfu Sya’ban menurut kitab Kanzunnajah Wassuruur fil Ad’yah allatii Tasyrahushshuduur karya Syekh Abdul Hamid bin Muhammad Ali Quds (halaman 47-48) adalah sebagai berikut:
وَكَيْفِيَّتُهُ: تَقْرَأُ أَوَّلًا قَبْلَ ذَلِكَ الدُّعَاءِ بَعْدَ صَلَاةِ الْمَغْرِبِ سُوْرَةَ يَسٍ ثَلَاثًا، اَلْأُوْلَي: بِنِيَّةِ طُوْلِ الْعُمْرِ مَعَ التَّوْفِيْقِ لِلطَّاعَةِ، اَلثَّانِية : بِنِيَّةِ دَفْعِ الْبَلَاءِ والْعِصْمَةِ مِنَ الْآفَاتِ وَالْعَاهَاتِ وَنِيَّةِ سَعَةِ الرِّزْقِ، اَلثَّالِثَةُ : بِنِيَّةِ الْاِسْتِغْنَاءِ عَنِ النَّاسِ وَحُسْنِ الْخَاتِمَةِ
Seusai shalat Maghrib, membaca surat Yasin tiga kali dengan rincian doanya:
– Bacaan Yasin Pertama: Diniati agar panjang umur dengan mendapat taufik untuk taat
– Bacaan Yasin Kedua: Diniati agar terhindar bala dan dijaga dari marabahaya, penyakit serta senantiasa diberi keluasan rizki
– Bacaan Yasin Ketiga: Diniati agar tidak bergantung dengan orang lain & khusnul khatimah
Adapun doa yang dibaca setiap kali selesai membaca Yasin dan membatinkan niat adalah:
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ اَللَّهُمَّ يَا ذَا الْمَنِّ وَلَا يُمَنُّ عَلَيْهِ يَا ذَا الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ يَا ذَا الطَّوْلِ وَالْإِنْعَامِ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ ظَهْرَ اللاَّجِيْنَ وَجَارَ الْمُسْتَجِيْرِيْنَ وَمَأْمَنَ الْخَائِفِيْنَ، اَللَّهُمَّ إِنْ كُنْتَ كَتَبتَنِيْ عِندَكَ فِيْ أُمِّ الْكِتَابِ شَقِيًّا أَو مَحرُوْمًا أَوْ مُقَتَّرًا عَلَيَّ فِي الرِّزقِ فَامْحُ مِنْ أُمِّ الْكِتَابِ شَقَاوَتِيْ وَحِرمَانِيْ وَتَقْتِيْرَ رِزْقِيْ وَأَثْبِتْنِيْ عِنْدَكَ سَعِيْدًا مَرْزُوْقًا مُوَفَّقًا لِلْخَيْرَاتِ فَإِنَّكَ قُلْتَ وَقَوْلُكَ الْحَقُّ فِيْ كِتَابِكَ الْمُنْزَلِ عَلَى نَبيِّكَ الْمُرْسَلِ يَمْحُو اللهُ مَا يَشَاء وَيُثْبِتُ وَعِنْدَهُ أُمُّ الْكِتَاب. إِلَهِيْ بالتَّجَلِّي الْأَعْظَمِ فِيْ لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ الْمُكَرَّمِ الَّتِيْ يُفْرَقُ فِيْهَا كُلُّ أَمْرٍ حَكِيْمٍ وَ يُبْرَمُ اِكْشِفْ عَنِّيْ مِنَ الْبَلَاءِ مَا أَعلَمُ وَمَا لَا أَعْلَمُ فَاغْفِرْ لِيْ مَا أَنْتَ بِهِ أَعلَمُ، اَللَّهُمَّ اجْعَلْنِيْ مِنْ أَعْظَمِ عِبَادِكَ حَظًّا وَنَصِيْبًا فِيْ كُلِّ شَيْءٍ قَسَمْتَهُ فِيْ هَذِهِ اللَّيْلَةِ مِنْ نُوْرٍ تَهْدِي بِهِ، أَوْ رَحْمَةٍ تَنْشُرُهَا، أَوْ رِزْقٍ تَبْسُطُهُ، أَوْ فَضْلٍ تَقْسِمُهُ عَلَى عِبَادِكَ الْمُؤْمِنِيْنَ، يَا اَللهُ يَا اَللهُ يَا اَللهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ.اَللَّهُمَّ هَبْ لِيْ قَلْبًا تَقِيًّا نَقِيًّا مِنَ الشِّرْكِ بَرِيًّا، لَا كَافِرًا وَلَا شَقِيًّا، وَقَلْبًا سَلِيْمًا خَاشِعًا ضَارِعًا. اَللَّهُمَّ امْلأْ قَلْبِيْ بِنُوْرِكَ وَأَنْوَارِ مُشَاهَدَتِكَ وَجَمَالِكَ وَكَمَالِكَ وَمَحَبَّتِكَ وَعِصْمَتِكَ وَقُدْرَتِكَ وَعِلْمِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ. وَصَلَّى اللهُ تَعَالَى عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ
Wabakdu, mengenai pro-kontra perihal lemahnya Hadits yang dijadikan referensi, seyogianya itu tidak perlu jadi alasan dan bahan perdebatan lagi. Apalagi dalam ilmu Hadits sebenarnya jugs sudah dirumuskan bahwa kategori Hadits Hasan Lighairihi termasuk jenis Hadits yang makbul (diterima) dan bisa dijadikan hujah. Maka, tidak perlu lagi saling menghujat atau saling salah-menyalahkan lagi satu sama lain. Sekira tidak ingin melakukan amaliah tersebut sebagai sebuah amaliah di malam Nisfu Sya’ban ya tak perlu menyalahkan atau memvonis bid’ah kepada yang mengamalkan, apalagi sampai mengafirkannya. Allahu a’lamu.