FilmResensi
Trending

Le Magasin des Suicides; Mencari Arti Hidup dari Kematian

Engkau gagal dalam hidupmu? Maka sukseslah dalam kematianmu! Ini adalah sebuah semboyan dari “Toko Kematian” dalam film “Le Magasins des Suicides”. Siapa pun yang merasa hidupnya dipenuhi oleh kegagalan dan tidak memiliki kesempatan untuk memperbaikinya, maka kematian sebagai momen terakhir haruslah menjadi momen terbaik dalam sejarah hidupnya. Demikian makna yang tersirat dari semboyan yang melatarbelakangi film tersebut.

“Le Magasins des Suicides” merupakan film animasi bergenre komedi musikal yang ditulis dan disutradarai oleh Patrice Leconte, seorang sutradara dan penulis komik dari Perancis. Film berdurasi satu setengah jam yang rilis pada tahun 2012 ini didasarkan pada novel dengan judul sama, karangan Jean Teule. Bisa dikatakan sang sutradara menulis ulang kisah dari novel dalam bentuk skrip film animasi.

Film tersebut bercerita tentang sebuah toko yang menjual berbagai macam sarana bunuh diri, seperti racun, senjata api, tali, senjata tajam dan lain-lain. Latar belakang yang diambil adalah sebuah kota di Perancis yang sedang dilanda wabah pesimisme akut yang berakibat pada tingginya angka bunuh diri. Toko tersebut dijaga oleh keluarga Tuvache yang terdiri dari Mishima Tuvache (Bernard Alane) sebagai ayah, Lucréce Tuvache (Isabelle Spade) sebagai ibu, Marilyn (Isabelle Giam) sebagai anak perempuan pertama, Vincent (Laurent Gendron) sebagai anak laki-laki kedua dan Alan (Kacey Mottet Klein) sebagai anak laki-laki ketiga.

Cerita bermula dari seorang pria yang mencoba bunuh diri dengan cara menabrakkan diri di tengah jalan raya. Kemudian ia diselamatkan oleh seorang kakek dan diberitahu mengenai larangan bunuh diri di tempat umum. Akan tetapi pria tersebut tetap saja ingin bunuh diri karena merasa hidupnya sudah sia-sia. Akhirnya, sang kakek membawanya ke toko kematian. Sesampai di sana, mereka disambut oleh anggota keluarga Tuvache, yaitu Mishima, Lucréce yang sedang hamil anak ketiga, Marilyn dan Vincent. Kemudian mereka berdua diajak Mishima untuk berkeliling toko melihat berbagai macam sarana bunuh diri, hingga pada akhirnya pria tersebut memilih membeli racun. Syahdan, setelah melayani pembeli, Lucréce mengalami kontraksi dan dibawa ke rumah sakit bersalin. Setelah melahirkan, terdapat sebuah keanehan pada bayi (yang diberi nama Alan) tersebut, yakni ia lahir dalam keadaan tersenyum riang gembira tidak seperti biasanya.

Alan tumbuh menjadi anak yang periang dan mencintai hidup, berbeda dengan kedua kakaknya yang selalu murung dan menginginkan kematian. Mishima dan Lucréce menganggap hal tersebut sebuah keanehan dan berusaha mempengaruhi Alan untuk lebih mencintai kematian. Bahkan sang ayah mencoba membunuhnya dengan cara memberikan rokok, namun berhasil digagalkan oleh teman-temannya. Setiap usaha untuk memalingkan Alan dari kecintaan hidup justru membuat semakin bergairah untuk menghentikan usaha jual beli toko tersebut dan mengubah pandangan hidup orang tua dan saudaranya.

Suatu hari ketika Mishima sedang istirahat akibat terkena Skizofrenia karena efek terlalu sering bekerja dan melihat kematian, Alan bersama teman-temannya membawa mobil yang dipenuhi sound sistem dengan cara mendorongnya ke depan toko kematian. Setibanya di depan rumah, Alan menyalakan sebuah lagu dengan volume yang sangat keras yang menyebabkan barang-barang toko jatuh dan hancur seketika. Sontak Lucréce, Marilyn dan Vincent mengejar Alan untuk merebut kunci mobil. Akhirnya, Alan tertangkap dan aksinya dapat dihentikan. Di sela-sela kemarahan sang ibu terhadap Alan, tiba-tiba datang sebuah keajaiban, yakni Marilyn dilamar oleh seorang remaja laki-laki yang mampir di toko dan ternyata memiliki spirit yang sama dengan Alan.

Meski dengan berat hati, akhirnya sang ibu menerima lamaran tersebut lalu membersihkan toko dan mengadakan pesta crepe. Bau crepe yang menyengat ternyata mengganggu Mishima yang sedang istirahat dan membuatnya turun ke toko. Sampai di sana, seketika ia kaget melihat barang-barang toko sudah tidak ada dan keluarganya tersenyum bahagia. Kemudian Mishima menyalahkan Alan atas kondisi tersebut dan mengejarnya dengan membawa pedang hingga ke puncak sebuah gedung. Sang istri berusaha menghentikan suaminya, tetapi Alan justru melompat dari gedung. Seketika Mishima terduduk menyesal dan istrinya pingsan karena kejadian tersebut, namun yang terjadi Alan sedang melompat-lompat melalui trampolin yang dibawa teman-temannya. Hal tersebut membuat Mishima tertawa sekaligus menyembuhkan penyakit yang dideritanya. Lantas, mereka sekeluarga memutuskan untuk berganti usaha menjadi penjual crepe.

Kritik Dan Pesan Moral
Setelah mengetahui alur ceritanya seperti di atas, saya menemukan sebuah kejanggalan dalam film tersebut, yaitu karakteristik tokoh Alan dan peranannya. Menurut saya, suatu hal yang mustahil bagi seorang anak di usia sekolah dasar (7-10 tahun) dapat bertahan dari pengaruh-pengaruh yang diberikan oleh orang tuanya. Terlebih lagi, menurut Lev Vygotsky, interaksi sosial dan budaya memiliki peran besar terhadap perkembangan kognitif anak. Dengan kata lain, bagaimana anak memahami hidup ditentukan oleh pengaruh lingkungan sosial di sekitarnya, khususnya lingkungan rumah yang terdiri dari orang tua dan saudara kandung. Hal tersebut juga didukung oleh hadis Rasulullah SAW “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci, maka orang tuanya lah yang menjadikan anak tersebut Yahudi, Nasrani bahkan Majusi (H.R. Bukhori dan Muslim).”

Jika merujuk pada dua dalil tersebut, semestinya Alan terpengaruh oleh pemikiran orang tuanya dan menjadi pecinta kematian. Apalagi kondisi penduduk kota yang terkena wabah pesimisme akut, mestinya menambah kekuatan pengaruh orang tuanya terhadap Alan. Dari sini saya menyimpulkan bahwa film tersebut terdapat kecacatan logis yang menciderai plot ceritanya.

Di sisi lain, film tersebut juga membawa pesan moral agar lebih mencintai hidup. Latar belakang kota metropolitan, yang sering menjadi lambang kapitalisme, dengan segala hiruk-pikuknya memberikan gambaran akan masyarakat yang gila kerja untuk memenuhi hasrat akan harta. Masyarakat di lingkungan tersebut sering terkena penyakit pesimisme, baik itu si kaya atau si miskin. Si kaya depresi karena kekayaannya, sedangkan si miskin depresi karena kegagalannya dalam bersaing yang kemudian berujung pada bunuh diri. Mereka lupa akan kehidupannya di luar kerja seperti beragama, bercengkerama dengan keluarga dan lain-lain yang justru membawa energi positif untuk mengurangi tekanan hidup. Dari sini, dapat disimpulkan bahwa mencintai hidup tidak hanya sekadar bekerja untuk memenuhi hasrat, namun juga beribadah dan bersosial dengan sesamanya. Oleh karenanya, mari menjadi manusia seutuhnya dengan mencintai hidup.

Back to top button
Verified by MonsterInsights