Opini

Kisah Cinta Pertama Rasulullah dan Kecemburuan Sayidah Aisyah

Lagu “Aisyah Istri Rasulullah” belakangan ini menuai polemik dan pro-kontra. Dari adanya polemik itu, saya justru merasa senang. Artinya, polemik tersebut menjadi angin segar untuk menaikkan level diskusi kita. Dari yang biasanya monoton seputar ziarah kubur, tahlilan dan qunut, kini ada progresivitas; naik jadi mengaji sejarah, kritik Hadits, mempreteli lirik lagu, hingga menjamah ranah sastra. Setidaknya pikiran kita dipacu agar membaca kembali khasanah Islam lebih banyak. Dua tulisan di website Bedug yang mengangkat isu lagu Aisyah, saya pikir bisa menjadi jawaban proporsional di antara kedua kubu. Dimana unek-unek mereka sudah terwakili oleh kedua teman saya yang tulisannya cukup elegan. Sila baca tulisan pertama kami Menyikapi Pro Kontra Lagu Aisyah dan tulisan kedua kami Lagu Aisyah; Antara Propaganda dan Gejala Islam Konservatif.

Jika kita menyimak lagu Aisyah tersebut dengan cermat, setidaknya kita menemukan poin menarik yang cukup disayangkan ketika terlewati begitu saja. Di sini saya tidak akan membahas tentang bentuk fisik Sayidah Aisyah, lomba lari Rasulullah dengan Sayidah Aisyah, kecerdasan Sayidah Aisyah dan seterusnya. Saya tidak merasa perlu mengotak-atik ide lagu itu, tapi hanya berusaha menginterpretasi lagu melalui pendekatan yang lain.

Kehidupan mulia Rasulullah umumnya kita sudah mengetahui. Termasuk fakta bahwa beliau memiliki beberapa istri yang menemani masa hidup beliau. Tentu saja Rasulullah sangat sweet dalam persoalan cinta, sebagaimana yang (di antaranya) tertera dalam lirik lagu tersebut. Sisi cinta yang ada dalam diri Rasulullah tidak mengurangi martabat beliau sebagai seorang utusan. Ya karena kita tahu, bahwa beliau adalah uswah teladan dalam kehidupan sehari-hari. Kisah cinta menarik beliau dengan beberapa istrinya benar-benar terjadi di sekitar kita, bahkan mungkin terjadi pada kita sendiri. Sebabnya, Rasulullah juga manusia biasa seperti kita. Bedanya simpel, beliau kekasih Allah yang sangat dicintai, sementara kita manusia yang cenderung terobsesi dengan romansa kisah cinta tiruan. Jika ada yang bilang Rasulullah itu tidak setia karena memiliki beberapa istri, saya rasa tidak tepat. Menurut saya, porsi sweet cinta Rasulullah itu sangat cool dan elegan terhadap istri-istrinya.

Kisah cinta Rasulullah dengan Sayidah Khadijah menjadi perhitungan yang cukup unik dan epik. Sebelumnya, kehidupan yang dihadapi Rasulullah sejak kecil terbilang sulit, sehingga beliau terbiasa untuk hidup mandiri dalam menjalani kerasnya kehidupan. Satu hal yang menjadi catatan penting, beliau sejak remaja tidak terbiasa hidup santai alias rebahan. Beliau sudah terbiasa berpikir untuk membantu menopang perekonomian pamannya, Abu Thalib; dari upah menggembala kambing. Setelah menggembala kambing, beliau ikut berniaga dengan pamannya ke Syam dan berniaga harta milik Sayidah Khadijah.

Bermula dari berniaga, tumbuhlah rasa cinta diam-diam Sayidah Khadijah kepada Rasulullah. Naluri. Itulah yang hendak saya maksud. Sikap Sayidah Khadijah tidak norak dan sembrono dalam ngepoin kepribadian seseorang yang dikagumi. Hal ini bukan pula berarti Sayidah Khadijah pencinta berondong, karena mencintai Rasulullah yang dari usia terpaut 15 tahun dengannya. Tersebab, alasan cinta beliau murni dari aura kekaguman akhlak dan kejujuran Rasulullah saat bermuamalah dengan masyarakat. Padahal, sebelum rasa cinta itu muncul, sudah banyak bangsawan Arab yang mengantre untuk melamar Sayidah Khadijah. Apa boleh dikata, nasi sudah menjadi bubur. Cinta suci seorang saudagar kaya nan bermartabat itu jatuh kepada seorang pria bersahaja yang berbudi pekerti luhur. Sejurus kemudian, beliau meminta bantuan Maisarah sebagai informan handal untuk menemani dan menelisik kepribadian Rasulullah tatkala berniaga.

Singkatnya, karena Sayidah Khadijah bingung bagaimana caranya bersikap dan menyatakan perasaan, beliau curhat ke salah satu sahabatnya, Nafisah binti Munyah. Dengan segala kejujuran dan berharap tambahan informasi dari Maisarah, Sayidah Khadijah menceritakan semuanya tanpa dilebih-lebihkan ke sahabatnya itu. Sebagai seorang sahabat karib, Nafisah bersedia menjadi makcomblang. Iya, Nafisah mau menjadi makcomblang dari serpihan kisah cinta Sayidah Khadijah terhadap Rasulullah SAW. Nafisah sangat cerdas, berhati-hati dan memiliki siasat handal agar misi sukses, tapi tetap menjaga martabat seorang perempuan di hadapan pria yang diidamkannya. Pun, Nafisah tidak pernah bermaksud menjatuhkan martabat Rasulullah, meski beliau dari keluarga kurang mampu.

Dalam kitab Sîrah Tahlîliyah karya Prof. Dr. Ahmad al-Khadr Jauhari, digambarkan secara gamblang sumbangsih Nafisah. Suatu hari Nafisah mendatangi Rasulullah lalu berkata, “Wahai Muhammad, kenapa engkau tidak menikah padahal engkau sudah matang?” Lalu dijawab, “Aku tidak memiliki apa-apa untuk menikah.” Dari percakapan tersebut, Nafisah tahu bahwa Rasulullah sebenarnya sudah ingin menikah, tapi terkendala biaya. “Jika aku pilihkan dan dia seorang perempuan cantik, saudagar kaya, mulia, berkecukupan, apakah engkau mau?” tanya Nafisah. Rasulullah menjawab, “Siapa orang itu?” Lalu dijawab, “Khadijah binti Khuwailid.” Dengan ragu dan kaget Rasulullah menanggapi, “Lho, kok bisa aku? Aku tidak punya apa-apa.” Dengan nada meyakinkan, Nafisah lalu menjawab, “Gampang, itu urusan saya,” terangnya.

Unik, elegan dan menarik. Nafisah berhasil membawa persoalan pelik menjadi lebih mudah. Dari proses sesederhana dan sesimpel itu, tersampaikan niat baik Sayidah Khadijah tanpa merendahkan kemuliannya. Pun Rasulullah tidak merasa terintimidasi dengan status sosialnya itu. Selang beberapa hari selanjutnya, terjadi proses pernikahan suci yang menjadi awal mula perjuangan Sayidah Khadijah menemani Sang Utusan Allah kelak. Saya pikir, proses makcomblang semacam itu sudah sering terjadi di sekitar kita. Namun, terkadang perbedaan kasta dan status sosial masih saja sering diperdebatkan di masyarakat kita, bahkan menjadi doktrin dan aral. Hingga tak jarang mengakibatkan kandasnya cinta di tengah jalan. Memang sulit mengubah doktrin yang mengakar di masyarakat, termasuk bahwa menikah haruslah sama status sosialnya dan menyerahkan mahar yang tinggi. Ironinya, hal semacam ini malah menjadi adat. Entahlah, bagaimana ceritanya itu.

Oh iya, Rasulullah tidak gila harta, sekalipun telah menikah dengan janda kaya raya. Perjuangan Sayidah Khadijah menemani Rasulullah ketika berdakwah patut diteladani. Bahkan malaikat sering menyampaikan salam kepada Sayidah Khadijah atas ketangguhannya; baik secara moral dan materi telah mendukung langkah dakwah Rasulullah. Saat proses turunnya wahyu, Rasulullah merasakan ketenangan yang mendalam ketika Sayidah Khadijah menyambut ketakutan Rasulullah dengan memuji kemulian beliau. Sayidah Khadijah yang mengimani risalah Rasulullah di masa-masa awal, ketika banyak manusia nyinyir. Beliau yang banyak berkorban harta ketika keluarga besar Rasulullah menolak untuk membantunya. Pun beliau yang menghibur dan meyakinkan Rasulullah bahwa Jibril-lah yang datang di Goa Hira. Maka wajar, beliau sangat mencintai Sayidah Khadijah dengan tulus.

Di sisi lain, Rasulullah adalah suami yang sangat setia dan sayang kepada istri. Terbukti saat beliau sudah mulai punya massa dan kaya, beliau tidak menikah lagi; kecuali setelah Sayidah Khadijah wafat. Memang ada satu Hadits yang sengaja dijadikan dasar bahwa Rasulullah tipe suami yang tidak setia oleh kaum orientalis. Hadits tersebut ada di dalam Shahîh Bukhârî yang menjelaskan ihwal mimpi Rasulullah tentang Sayidah Aisyah. “Engkau diperlihatkan kepadaku melalui mimpi selama tiga hari tiga malam. Malaikat menghadirkan engkau kepadaku dalam balutan kaitan sutera. Malaikat pun berkata, ‘ini adalah istrimu,’ lalu aku membukanya dan ternyata itu engkau. Kemudian aku berkata, ‘Jika ini mimpi dari Allah, maka akan dikabulkan.’”  Bagi kita, Hadits ini sangatlah romantis akan ketentuan Allah kepada Sayidah Aisyah. Namun, lagi-lagi orientalis sengaja mereduksi Hadits tersebut agar tidak sesuai dengan realita di lapangan. Mereka menganggap, bahwa Hadits tadi muncul pada masa Sayidah Khadijah, sehingga Rasulullah sejak awal memiliki hasrat main serong dengan perempuan lain.

Perlu digarisbawahi, bahwa mimpi seorang utusan adalah mimpi yang diyakini kebenaran dan kebsolutannya. Syekh Ramadlan al-Buthi memastikan, bahwa Hadits tadi muncul bukan di masa Sayidah Khadijah. Sehingga tidak tepat dijadikan dasar indikator Rasulullah main serong dengan seorang gadis. Persoalan Rasulullah menikahi Sayidah Aisyah yang masih belia, hingga dituduh pedofil juga tidak tepat. Satu hal sederhana yang saya ingat ketika Syekh Abdullah Izzudin menjelaskan hadits di Shâhih Muslim, bahwa Sayidah Aisyah pada saat itu usianya sudah cukup untuk menikah. Artinya, orang-orang Arab pada masa dulu memang perkembangan hormon di tubuhnya lebih cepat, terutama perempuan. Beliau memberi contoh, bahwa di Mesir, dulunya usia perempuan sembilan, sepuluh dan sebelas tahun sudah dianggap matang dan siap menikah. Bahkan jika ada perempuan usia 15 tahun belum menikah, itu dianggap aib. Tentunya fakta zaman dahulu ini berbeda dengan fakta atau konteks zaman sekarang. Begitu juga usia matang seorang perempuan zaman dahulu berbeda dengan usia matang perempuan sekarang.

Sederhananya, jika dirunut dari penjelasan tersebut, usia kematangan pada zaman itu terbilang cepat dan perempuan mengalami menstruasi pada usia yang cukup belia ketimbang saat ini. Terlebih dikuatkan lagi dengan fakta bahwa sebelum Rasulullah meminang Sayidah Aisyah, sudah banyak Sahabat yang ingin mempersuntingnya. Tentu ini menjadi landasan kuat bahwa Rasulullah bukanlah seorang pedofil. Dengan demikian, istilah uswah teladan atas Rasulullah sebagai seorang suami setia tidak pernah berubah. Rasulullah adalah sosok yang adil sebagai suami yang berpoligami. Ini tentu harus menjadi pelajaran berharga bagi mereka yang ingin menjadi suami dan berpoligami. Tidak semata menjadi dalil untuk melegalkan dan meluluskan nafsu. Sebagaimana jamak diketahui, Rasulullah memang sangat mencintai Sayidah Khadijah, sehingga tak jarang mengakibatkan Sayidah Aisyah cemburu. Wajar saya kira. Apalagi Sayidah Khadijah sebagai cinta pertama Rasulullah yang tidak pernah pudar dan tergantikan, akan tetapi Sayidah Aisyah juga memiliki tempat tersendiri dalam hati Rasulullah. Cinta yang suci tanpa tendensi dan pretensi apapun.

Back to top button