Opini

Menyikapi Polemik Jilbab

Bermula dari podcast Deddy Corbuzier bersama Ibu Sinta Nuriyah, polemik soal jilbab kembali mengemuka. Pasalnya, dalam salah satu dialog yang tersaji di vlog tersebut, terdapat pembahasan pendapat Ibu Sinta yang mengimani bahwa hukum mengenakan jilbab bagi muslimah itu tidak wajib.  Pendapat Ibu Sinta tersebut menuai banyak sekali hujatan dari netizen Indonesia. Bahkan gaungnya masih terasa sampai sekarang. Salah satu tokoh di Indonesia yang juga sepakat tidak mewajibkan untuk berjilbab, yakni Prof. Quraish Shihab turut terbawa-bawa.

Hanya sedikit yang mendukung Ibu Sinta ataupun Prof. Quraish. Hal itu barangkali dilatarbelakangi netizen Indonesia yang didominasi oleh orang awam, dimana pengetahuan ihwal  hukum berjilbab memang lebih akrab dengan hukum wajib menggunakannya.

Kita tak bisa memungkiri, ketika beranjak dewasa, guru-guru ngaji kita selalu menganjurkan para murid untuk mengenakan jilbab. Terlebih setelah (kaum muslimah) dewasa atau masuk ke dunia pesantren. Hampir semua pesantren di manapun selalu mewajibkan santriwatinya untuk mengenakan jilbab. Adalah sangat wajar ketika ada pendapat seorang tokoh mengenai tidak wajibnya memakai jilbab, maka menuai reaksi frontal dari netizen. Tanpa adanya penjelasan yang ilmiah dan rasional, masyarakat awam sulit menerima pendapat seorang muslimah tidak wajib mengenakan jilbab. Terlebih untuk kelompok atau sekte-sekte dalam Islam yang menghukumi seorang perempuan tidak saja wajib berjilbab, tetapi bahkan wajib bercadar. Mengetahui ada yang bersuara muslimah itu tidak wajib berjilbab, tentu saja kelompok tersebut akan langsung menyerbu sumber yang bersuara.

Di satu sisi, yang sangat saya sayangkan, ketika ada beberapa tokoh, cendekiawan atau aktivis yang kemudian melakukan pembelaan secara ngambang. Hanya sebatas mendukung pendapat Ibu Sinta tanpa melihat keawaman dan spontanitas netizen. Bahkan ada tokoh pembela yang hanya menulis berdasarkan subjektifitasnya, tanpa mengkritisi subtansi dari apa yang diutarakan Ibu Sinta Nuriya saat diwawancarai Deddy Corbuzier. Padahal, Ibu Sinta menurut saya pribadi juga patut disalahkan. Yaitu ketika beliau menyuarakan pendapat tidak wajibnya berjilbab, tapi kurang bisa mengelaborasikan secara ilmiah. Ketika tak bisa mengelaborasi, praktis Ibu Sinta seperti sedang mencari keributan dan minta dibully pasukan netizen +62 yang nekat dan militan.

Jika diamati, pihak yang spontan menyerang Ibu Sinta adalah netizen awam yang didominasi kaum yang meyakini jilbab itu wajib, bahkan wajib pula bercadar. Bagi mereka ini, seorang muslimah yang tidak berhjiab adalah kafir. Seorang muslimah yang hanya mengenakan jilbab pendek itu kurang sesuai anjuran syariat. Sementara netizen awam yang kontra Ibu Sinta adalah juga mereka yang memang sejak kecil tahunya hukum muslimah berhijab atau berjilbab itu memang wajib. Lantas bagaimana menyikapi lontaran pendapat ketidakwajiban itu, supaya masyarakat awam tidak malah bingung dengan pengetahuan baru yang belum diketahuinya?

Pemicu Perdebatan
Pemicu yang membuat multitafsir disebabkan ayat-ayat di dalam al-Quran memang tidak menjelaskan secara sharih. Meski hampir seluruh ulama rata-rata menggunakan ayat yang sama, namun tetap saja menghasilkan pemikiran yang berbeda. Semisal dalam memaknai QS. al-Ahzab ayat 59, “Yudnina ‘alaihinna min jalabibihinna”. Kata jalabib adalah bentuk jamak dari kata jilbab. Kata inilah yang diperselisihkan maknanya oleh para pakar bahasa maupun pakar tafsir. Dari yang memaknai jilbab sebagai pakaian, hingga yang menyatakan bahwa jilbab adalah mode selimut yang menutupi seluruh tubuh. Ibnu Jarir (w. 923M), dalam tafsirannya, mengatakan jilbab adalah penutup seluruh tubuh, bahkan wajah dan kedua alis. Jilbab baginya, adalah pakaian yang menutupi baju dan kerudung yang sedang dipakai atau bisa diibaratkan seperti selimut. Sementara pakar tafsir al-Biqai (w. 1480M) mengatakan bahwa kata jilbab berkonotasi sebagai fungsi jilbab yang menjaga perempuan supaya tidak diganggu lelaki usil. Sehingga, dengan berpakaian sopan, perempuan akan terhormat dan sudah dianggap melindungi diri.

Dalam persoalan jilbab, Grand Syekh Azhar; Syekh Ahmad Thayyib pernah berfatwa menafsirkan ayat di atas dan diliput koran al-Masry al-Youm. Beliau mengatakan, bahwa ayat tersebut adalah nash qath’i yang tidak menerima ijtihad. Ini tentunya berbeda dengan pendapat Ibu Sinta atau Prof. Quraish Shihab. Jika dirujuk dalam buku Prof. Quraish yang berjudul “Jilbab”, beliau menyampaikan bahwa jilbab adalah persoalan khilafiyah dan ayat-ayat yang menjelaskan jilbab bersifat dzanni bukan qath’i. Beliau lantas mengatakan bahwa jilbab tidak dikatakan wajib mutlak. Beliau seolah sedang mencoba merekonsialiasikan antara al-Quran, Sunah, maupun pendapat ulama kontemporer, sehingga menghasilkan formulasi perwajahan Islam yang moderat. Namun dalam konklusinya, beliau tetap menganjurkan agar muslimah menggunakan jilbab untuk kehati-hatian. Apa-apa yang telah beliau sampaikan, lantas digarisbawahi tidak untuk diterapkan, melainkan untuk pengetahuan. Yakni menyampaikan Islam secara keseluruhan; meluaskan wawasan, bukan menggampangkan. Sayangnya, yang menjadi fokus perhatian masyarakat Indonesia adalah cuplikan dari apa yang disampaikan oleh Pak Quraish.

Kendati demikian, polemik ketidakwajiban jilbab, bukan berarti membuat kita berhenti untuk menganjurkan muslimah berjilbab. Karena meskipun pembahasan jilbab menurut tafsir, hadits, maupun fikih sudah dianggap selesai; namun secara implementasi masih ada perbedaan. Ditambah lagi secara kenyataan, pengetahuan juz’i yang sudah mendarah daging dalam logika sementara masyarakat, tidak bisa begitu saja kita cederai.

Maka hemat saya, perspektif baru menyoal hijab jika tidak disandingkan dengan hukum maupun agama, ia akan tetap menjadi simbol estetika. Karena ia disandingkan dengan objek pemakainya, yaitu perempuan. Ketika jilbab dianggap sebagai simbol estetika, meskipun beberapa pihak mengamininya tidak wajib, ia tetap menjadi anjuran perempuan untuk menggunakannya.

Back to top button