Opini

Menerjemahkan Agama

Beberapa hari lalu, saya sempat mengajukan pertanyaan ini: Apa fungsi agama di tengah krisis seperti ini? Berangkat dari pertanyaan tersebut, saya akan bercerita tentang agama dan keberagamaan kita selama ini yang dirasa begitu saklek; sempit-pandang dan keras kepala. Di dalam suaka sosial saya, pertanyaan senada sebenarnya pernah dibahas di Masisir Berpikir edisi kesatu (14 April 2019) dalam tajuk Mempertanyakan Fungsi Agama. Sedangkan baru-baru ini, pandemi mengajak kalangan akademisi untuk kembali bertanya (tepatnya: mempertanyakan) apa fungsi agama, bagaimana beragama, dan kaitan-kaitannya.

Diskusi terkait tema itu digelar di antaranya oleh Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS) UGM,  Beragama di Tengah Bencana yang digelar online pada 9 April kemarin. Berbagai esai juga bertebaran di harian nasional, salah satunya Spiritualitas Korona yang ditulis Yudi Latif (Kompas, 10/4).

Krisis merupakan sebuah kondisi disruptif. Ia mengganggu, bahkan memberhentikan fungsi-fungsi normal keseharian. Mulai dari cara-cara berkomunikasi, berkumpul, belajar, termasuk beragama. Saat kita mengatakan bahwa fungsi-piranti normal—meminjam diksi Yudi Latif—tidak memberikan jalan keluar, bagaimana kita menyikapi dengan jalan pintas (dalam fikih bencana biasa disebut ‘udzur, rukhshah) sebagai alternatif pilihan?

Saya rasa tidak ada yang bermasalah dengan tiga aktivitas pertama di atas. Teknologi terlihat sangat sigap menggantikan kesaling-hadiran kita yang biasa bertatap-muka menjadi bertatap-layar di dunia maya. Fungsi atau piranti alternatif yang ditawarkan teknologi bisa diterima semua kalangan tanpa perdebatan. Di dalam kondisi tenang dan krisis, teknologi mewujud sebagai modal material yang sedikit banyak membantu kita melalui masa-masa kritis atau minimalnya bertahan.

Yang problematis selanjutnya ialah sikap kita dalam beragama, atau lebih jelasnya: sikap kita menghadapi alternatif-alternatif yang ditawarkan agama di kondisi-kondisi abnormal. Respon kita terhadap penutupan masjid, jenazah penderita Covid-19 dan fatwa haram berkumpul dalam jumlah banyak menyingkap cara kita beragama. Atau jika ditarik lagi mundur ke belakang, cara kita memahami apa itu agama yang sayangnya lebih menantang-paksa daripada menerima, lebih koersif daripada koordinatif.

Pemahaman kita atas makna agama ialah problem kebahasaan. Asalnya, bahasa sebagai sesuatu yang memasyarakat (kâin ijtimâ’iy) niscaya berinteraksi dengan manusia, baik dalam perkembangan bahasa itu sendiri, maupun pembentukan pola pikir penuturnya. Fakta historis mengatakan bahwa kosakata masyarakat primitif lebih sedikit dan sederhana daripada komunitas lain yang madani. Seberapa banyak dan lengkap kosakata sebuah komunitas akan berbanding dengan seluas dan seluwes itu pula cara pandang mereka. Dengan demikian, bisa kita katakan bahwa nalar pikir kita, secara evolutif dikendalikan oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia. Dari pemaknaan kata ‘agama’ (yang sedang kita bincang), akan kita temui salah satu faktor keprihatinan cara beragama kita selama ini.

Sebelum itu, ada satu hal yang perlu kita pahami bersama. Yakni ihwal Wujud (KBBI: adanya sesuatu) yang memiliki tiga jenis bentuk yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Pertama, wujud kebahasaan (al-wujûd al-lughawiy). Wujud ini terlihat pada sesuatu yang tertentu, sesuatu yang dinamai dengan penamaan tertentu. Wujud kebahasaan ini ialah apa yang biasa kita tulis di atas kertas, misalnya, berupa rangkaian huruf-huruf tertentu yang diucapkan sesuai dengan sumber pengucapannya (makhârij al-hurûf). Ciri lainnya, para ahli bahasa bisa ‘mengolah’ wujud ini dengan menambahkan dan mengurangi. Di dalam bahasa Arab, ini ada pada ranah ilmu nahu dan saraf.

Wujud kedua, ialah sesuatu yang melampaui wujud inderawi di atas. Wujud di sini merupakan gambaran dari sesuatu yang tercetak di akal pikiran (al-wujûd al-dzihniy). Wujud ini sering kita sebut dengan konsep (al-mafhûm) dan makna. Dalam tataran inilah kita bisa membincang definisi-definisi, makna-makna baik yang universal, seperti ‘manusia ialah makhluk hidup yang berpikir’, maupun parsial, seperti ke-sebagian-an-nya makna Ahmad di hadapan makna manusia. Di sini pula kita bisa memahami bahwa ini merupakan kebenaran abadi dan itu ialah kebenaran aksidental, serta hal-hal yang berkelindan di antara keduanya.

Wujud yang ketiga ialah wujud benda yang ada di alam semesta. Karena benda dan di alam semesta, maka wujud ini diatur oleh kanun-kanun semacam kausalitas dan ilat-ilat. Biasanya kanun tersebut dibakukan ke dalam berbagai disiplin seperti biologi, fisika, kimia, geometri, kalkulus, fikih, kalam dan seterusnya.

Kata ‘agama’ di sini akan kita buka dari segi 1) wujudnya sebagai sebuah bahasa dan 2) sebuah makna yang bersemayam di alam pikir. Agama, menurut KBBI ialah ajaran, sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia-manusia serta manusia-lingkungannya. Dari kata ini, muncul beberapa kata turunan: beragama, keagamaan, keberagamaan, mengagamakan dan seagama.

Pengertian tersebut menunjuk pada makna kata ‘agama’ sebagai sebuah istilah. Makna agama seperti itu dibicarakan oleh agamawan, teolog, filsuf sebagai sebuah diskursus, bukan oleh ahli bahasa dimana mestinya inilah tugas sebuah kamus bahasa. Saat saya menelusuri turunan kata ‘beragama’, misalnya, ia diterjemahkan menjadi: 1) menganut (memeluk) agama; 2) beribadat, taat kepada agama, baik hidupnya menurut agama dan 3)sangat memuja-muja; gemar sekali pada; mementingkan. Atau diksi ‘keagamaan’ misalnya, akan kita dapati bermakna: yang berhubungan dengan agama. Tidak ada penjelasan mengenai apa sebenarnya makna dasar ‘agama’. Kita sejak dini dicekoki bahwa agama ialah aturan dan ajaran. Ia menjadi baku dan kaku dalam ruang-ruang ritual tertentu, sebagaimana makna kata aturan yang mengandung tendensi mengikat, memaksa dan keras. Karena tidak ada makna etimologis di sini, kita akan merujuk pada makna agama di dalam tata bahasa Arab.

Di dalam literatur berbahasa Arab, sebuah makna biasanya dilihat dari dua sisi. Pertama, makna etimologi dan kedua, makna terminologi. Terlepas dari perbedaan apakah ia kata kerja transitif dan intransitif, agama (dâna-yadînu) secara bahasa mengerucut pada makna: menundukkan sesuatu di bawah kehendak; tunduk terhadap, mengikuti (dâna li-); dan terikat pada, memercayai, menyerahkan dirinya pada- (dâna bi-). Para pakar bahasa Arab tidak memaksudkan ketiganya untuk berdiri sendiri-sendiri. Agama, berangkat dari ketiga makna tersebut dimaknai sebagai satu kesatuan yang terdiri dari a) kekuatan transenden yang menguasai, b) kekuatan imanen yang tunduk, serta c) aturan yang menentukan tabiat relasi antara yang menguasai dan yang dikuasi.

Jika di dalam bahasa Indonesia produksi makna hanya bisa melalui penambahan kata asal, di dalam bahasa Arab, harakat merupakan salah satu hal signifikan yang menentukan makna turunan kata dari satu akar yang sama. Perlu kita ingat bahwa turunan di dalam konteks bahasa Indonesia bermakna penambahan, sedangkan di dalam bahasa Arab (dalam konteks ini) berarti perubahan harakat.

Kata kerja lampau dâna mempunyai bentuk kata benda (al-dîn) dan (al-dayn). Yang pertama (kasrah) kita maknai dengan agama, yang kedua (fatah) bermakna hutang. Kata ‘hutang’ menyiratkan adanya pendisiplinan secara materi-uang (ilzâm mâliy) dan agama’ menuntut adanya pendisiplinan secara etika (ilzâm adabiy). Pakar bahasa Arab, al-Jahidz (w. 255 H) mencoba menemukan relasi di antara keduanya dan mengatakan bahwa kata (ا-ل-د-ي-ن) berharakat fatah (hutang) sebab yang dihutangi lebih tinggi dari yang berhutang; berharakat kasrah (agama) karena adanya ketundukan dan damah (dunia) sebab kerasnya kehidupan di dalamnya.

Secara istilah, agama bermakna tuntunan Ilahi bagi orang-orang berakal sehat yang mengikutinya dengan tanpa ada paksaan menuju keselamatan di dunia dan keberuntungan di kehidupan selanjutnya. Agama di dalam istilah dimaknai sebagai spirit untuk secara sadar terhubung dengan sesuatu yang adidaya dan luar biasa. Ia bukan hanya ikatan antara Tuhan dengan manusia (Ciceron), bukan pula perasaan atas kewajiban-kewajiban yang didasari perintah Tuhan (Kant), atau perasaan atas kebutuhan terhadap sesuatu dan imitasi mutlak (Schleimacher). Ia bukan sekumpulan keyakinan dan perbuatan yang berkaitan dengan hal-hal kudus (Durkheim).

Spirit manunggaling kawula–gusti (menyatunya alam transenden-imanen) inilah yang meniscayakan adanya cinta-kasih di antara sesama makhluk. Cinta kasih yang diterjemahkan dalam rutinitas keseharian dengan negatif; “Jangan melakukan sesuatu yang kita tidak mau diperlakukan demikian”, maupun positif; “Mari saling bergotong-royong membangun kehidupan yang sehat lahir-batin”. Spirit inilah yang hilang dari kamus kebahasaan nasional yang pada akhirnya, sirna pula dari kesadaran manusianya.

Back to top button