Opini

Puisi Kontroversi dan Persoalan Berbahasa Kita

Viralnya puisi Paskah karya Ulil Abshar Abdalla menambah daftar perihal kontroversial di Indonesia yang disebabkan puisi. Tahun 2018 kemarin, masyarakat Indonesia dibuat geger dengan adanya puisi Ibu Sukmawati. Di musim pilpres kemarin, puisi Fadli Zon juga meriuhkan pesta demokrasi Indonesia. Dari tiga fenomena tersebut, saya ingin mengajukan beberapa pertanyaan; Mengapa puisi-puisi tiga nama itu menjadi viral dan kontroversial? Apa “yang salah” dari puisi mereka jika dianalisa lewat teori kritik sastra? Apa kira-kira faktor yang melatarbelakangi mereka untuk menulis puisi, sementara mereka tidak mempunyai riwayat kepenyairan yang bisa dipertanggungjawabkan? Bahkan, seorang Fadli Zon sekalipun yang pernah mempelajari sastra Rusia di UI, puisi-puisinya (bagi saya) belum mencermikan kapasitasnya sebagai praktisi sastra. Apalagi oleh mereka, puisi dicitrakan seolah sebagai sesuatu yang sentimental, khususnya ketika isinya berhubungan dengan agama dan politik. Hal ini menurut saya menjadi riskan, karena peran puisi sebagai piranti kemajuan kebudayaan dan peradaban bangsa malah tidak terejawantah tersebab adanya puisi-puisi tersebut. Selain itu, menghadirkan puisi dengan tema agama dan politik, di tengah-tengah masyarakat yang sedang mengalami “mabok agama dan politik”, mengandung keriskananan dan banyak risiko.

 Ulil Abshar Abdalla, Ibu Sukmawati dan Fadli Zon saat menghadirkan puisinya ke publik tentu tidak bisa lepas dari ketokohan mereka. Dari situlah sebenarnya, timbul reaksi massa yang cukup masif ketika membaca puisi mereka, sehingga menyebabkan viral dan menjadi wacana nasional. Saya sendiri merasa kaget sekaligus takjub saat mengetahui seorang Gus Ulil (nama panggilan Ulil Abshar Abdalla) menulis puisi itu. Beliau yang saya kenal sering melakukan pengkajian Ihya Ulumuddin via daring, ternyata juga menulis puisi. Begitupun dengan latarbelakang dan peran dua tokoh selainnya. Apa yang mereka lakukan dengan puisi, seakan-akan telah keluar dari bidang yang mereka tekuni. Namun, seorang pemikir yang merangkap penyair atau politikus yang juga penyair, bagi saya bukanlah problem, malah itu hal yang istimewa. Tetapi, bagaimanapun, puisi memiliki sisi elitis. Artinya, ia harus dipelajari dengan tekun dan kontinu. Lalu bagaimana jika ternyata puisi dibuat dan digubah oleh orang yang bukan ahlinya?

Puisi yang dihadirkan menuntut efektifitas diksi dan tema, kemudian ia dielaborasi dengan mengikuti struktur puisi yang sudah konvensional. Dalam proses elaborasi inilah, penyair bisa bermain dengan kata-kata yang disusun. Di situ, penyair bisa menggelap-terangkan maksud yang dikehendaki, sehingga membuat pembaca mengaktifkan nalar imajinasinya untuk mereka-reka maksud yang sebenarnya dari penyair. Namun mirisnya, puisi dari tiga tokoh itu ternyata gampang ditebak dan dipelintir maksudnya oleh pembaca. Sehingga tak heran, kalau komentar-komentar miring dan frontal mulai bertebaran. Seperti komentar kelompok “Islam fundamentalis” yang terlalu peduli dengan keimanan seorang, mereka mengalami kebakaran jenggot ketika membaca puisi Ulil Abshar dan Sukmawati. Sementara, kelompok pro-pemerintah juga geram dan risih melihat kritikan Fadli Zon terhadap pemerintah yang dilancarkan melalui puisi-puisinya. Dari sini, kita sudah bisa menakar seberapa kuat puisi-puisi itu bertahan dengan diksi dan bait-baitnya.

Puisi vs Puisi Baik
Apa yang ditulis oleh tiga tokoh di atas saya kira sudah memenuhi kriteria puisi. Puisi sendiri secara umum memiliki beberapa klasifikasi, ada puisi diafan (terang), pusi gelap dan puisi prismatis (antara gelap dan terang). Puisi Ulil Abshar dan Fadli Zon saya kira masuk pada kategori pertama, sementara puisi Ibu Sukmawati masuk pada kategori kedua. Namun, untuk mengetahui apakah puisi-puisi itu termasuk puisi yang baik atau tidak, saya akan menganalisa puisi tersebut berdasarkan kriteria dari tiga kategori puisi di atas. Puisi Ibu Sukmawati yang berjudul “Ibu Indonesia” saya anggap sebagai puisi gelap. Sebab banyaknya permisalan yang tumpang-tindih dari satu baik ke bait lainnya. Mulai dari “sari konde ibu Indonesia”, “gerai tekukan rambut”, “jemari berbau getah hutan” dan “suara kidung ibu Indonesia” yang mungkin membuat pembaca kebingungan menafsirkan majas-majas tersebut. Apa lagi, majas-majas itu digunakan untuk menjelaskan diksi “ibu” yang dipakai untuk judul. Sementara, citra dari majas tersebut saya kira tidak mengarah pada sosok ibu, ia lebih condong pada penggambaran perempuan yang jelita; dengan sari konde, gerai rambut yang indah, suara yang elok serta gerak tarian yang gemulai. Ibu adalah wujud kasih sayang yang purna. Dan seorang ibu adalah puncak keindahan yang tak terbatas oleh hal-hal yang fisik atau casing. Dari sini, Ibu Sukmawati sudah gagal menampilkan ibu Indonesia yang dianggapnya lebih istimewa dari cadar dan azan dalam syariat Islam. Kecuali ia mengganti diksi “ibu” dengan diksi yang konotasinya terhadap penyebutan perempuan; dewi, nona, ratu dll.

Puisi Ulil Abshar dan Fadli Zon termasuk puisi diafan. Puisi mereka berdua tak ubahnya penampilan sirkus. Yang mana ketika kita menontonnya, pertama kali akan merasa takjub dan heran, tetapi pada kali kedua dan selanjutnya akan terasa jenuh dan membosankan; karena sudah mampu ditebak alur dan maksudnya. Puisi Fadli Zon yang berjudul “Doa yang Ditukar” hanyalah luapan emosi yang ia tuangkan dalam sebuah puisi. Usai kita menangkap emosi itu, kita tidak disuguhkan apa-apa, selain mungkin persetujuan atau penolakan terhadap sikapnya. Di puisi ini—dan kebanyakan puisi lainnya—ia menggunakan rima yang terkesan dipaksakan hanya untuk menyesuaikan bunyi akhir. Misal pada diksi “skenario berantakan bubar”, kata bubar digunakan untuk menyelaraskan dengan kata “makelar” di baris sebelumnya. Padahal, saya kira kata berantakan sudah mempunyai kata turunan dengan bubar, kacau, semrawut, hancur dsb. Atau pada diksi “penuh cara-cara licik” yang sebenarnya cukup diwakili dengan diksi “intrik” pada baris sebelumnya.

Adapun puisi “Paskah” milik Ulil Abshar, bisa dikatakan ia selamat dari kecacatan struktur puisi. logika bahasa, diksi dan majas yang digunakan memiliki efektivitas dan bait-baitnya menjadi satu keutuhan yang baik. Dalam hal ini, Ulil mungkin mengikuti gaya bahasa dalam puisi Gus Mus yang cenderung diafan. Namun hal itu tidak lantas menarik kesimpulan bahwa puisi tersebut adalah puisi baik. Bagi saya, puisi yang baik adalah puisi prismatis. Ia dapat menyuguhkan citra katarsis (kalau dalam istilah Aristoteles). Artinya, puisi yang baik mampu menampilkan gambaran dunia sendiri (baru) yang diciptakan oleh penyair. Atau dapat menampilkan citra mimesis (kalau dalam istilah Plato) dimana penyair menggambarkan realitas dengan seutuhnya dan sedetail-detailnya. Di sinilah sebenarnya problem kesusastraan kita; masyarakat tidak bisa membedakan mana puisi yang baik dengan puisi yang “biasa-biasa saja” atau terkenal dengan puisi pop. Puisi, sedikit demi sedikit kehilangan sisi elitisnya. Semua orang merasa berhak mendaku tulisannya sebagai puisi yang baik. Padahal tidak demikian. Lebih-lebih jika puisi yang didaku baik itu (ternyata biasa-biasa aja) dijadikan prototipe puisi yang baik. Ini suatu hal yang riskan dalam dunia puisi.

Kesadaran Berbahasa
Fenomena keberagamaan dan dunia politik Indonesia yang sedikit terusik oleh puisi, setidaknya menyadarkan kita akan pentingnya berbahasa secara baik. Ketika dalam berbahasa terdapat problem, yang patut dibenahi adalah dua pihak: penutur-pendengar, penulis-pembaca. Seyogianya, setelah kontroversi puisi ini reda, masyarakat bisa mulai merefleksikan kembali urgensitas puisi (atau sastra secara umum) dalam kelangsungan peradaban kita. Kesadaran ini perlu dilakukan secara kolektif. Sehingga, puisi tidak lagi dipandang sebelah mata. Ketika penyadarannya sudah berhasil, maka saat mendengar puisi, orang tidak hanya menilainya sebagai kata-kata romantis dan indah, melainkan puisi bisa membicarakan segala aspek kehidupan. Puisi tidak lagi dianggap “melangit” sebab hanya dipahami oleh penyuka puisi dan dikaji oleh kalangan akademisi saja. Pun puisi bukanlah hal yang “remeh temeh” sehingga bisa diucapkan semua orang, tapi ia (harus) melampaui semua itu, demi perkembangan bahasa dan peradaban bangsa.

Back to top button