Opini

Logika Fatwa di Masa Pandemi

Sebagai metodologi yang mengakar pada nash al-Quran dan Hadits, ushul fikih memiliki logikanya sendiri. Logika yang ditekankan ushul fikih adalah kemampuan mengeluarkan sebuah hukum sesuai dengan konteks-realitas. Ibarat di sebuah restoran, ushul fikih adalah seumpama seorang “pelayan” yang mampu menghidangkan makanan sesuai selera pengunjung. Selalu maknyus dan sedap. Dalam praktiknya, seorang ushûlîy (atau dalam hal ini bisa disebut mufti) meski menggunakan teori yang sama, ketika konteks realitanya berbeda, maka akan menelurkan hukum yang berbeda. Tentunya, hal ini juga karena mempertimbangkan maslahat dan ruh syariat Islam itu sendiri, yaitu Shâlih li Kulli Zamân wa Makân (kontekstual sepanjang masa).

Saya akan memberikan contoh sederhana terkait logika tersebut. Di tengah kondisi krisis dan pandemi seperti sekarang, instansi fatwa Mesir mengatakan bahwa shalat Jumat di seluruh kawasan tidak dilaksanakan secara kolektif dan diganti shalat Dhuhur. Sementara di Indonesia, lebih dikhususkan hanya pada daerah zona kuning dan merah, atau daerah-daerah yang menerapkan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar), namun tetap memperhatikan protokol kesehatan. Dari kedua fatwa tersebut, kita sama-sama mengamini bahwa konteks masyarakat Mesir berbeda dengan masyarakat di Indonesia, dan hal itu yang menjadi salah satu pertimbangan seorang mufti. Ia dituntut mampu membaca realitas masyarakat secara tajam. Begitulah kira-kira logika seorang mufti.

Belakangan ini ada usulan dari Rudi Valinka seperti dilansir dari suaranasional.com (16/4) yang membuat saya terpantik untuk ikut merespon usulan tersebut. Yakni usulan agar ada edaran fatwa dari Kemenag dan MUI untuk meniadakan puasa Ramadlan di tengah pandemi. Tujuannya supaya ibadah puasa diganti fidyah (berupa makanan) yang akan lebih ideal untuk situasi seperti sekarang. Bahkan Noureddine Boukrouh, politisi Aljazair juga mengimbau agar ibadah puasa tahun ini ditangguhkan. Alasannya, tubuh yang lapar rentan terkena virus Corona. Baiklah, kita analisis satu per satu persoalan tersebut menurut logika ushûlîy atau mufti. Dan oleh karenanya, barangkali bukan hal yang buruk jika saya turut menyinggung uraian normatif.

Ibadah puasa adalah bentuk kasih sayang Tuhan kepada hambanya dengan corak ‘menahan’ dari makan, minum, dll. Corak ini memang mengandung masyakah (kesulitan), tapi memiliki manfaat yang luar biasa. Sengaja saya sebut kasih sayang Tuhan, karena konsekuensi ibadah puasa itulah nantinya yang menjadi pertimbangan dalam menelurkan hukum. Tuhan memerintahkan ibadah puasa melalui ayat-Nya: Yâ Ayyuhâ al-Ladzîna Âmanû Kutiba Alaykum al-Shiyâmu Kamâ Kutiba alâ al-Ladzîna min Qablikum La’allakum Tattaqûn (al-Baqarah 183). Syekh Mutawalli al-Sya’rawi, bapak mufasir kontemporer memberi komentar; semisal perintah tersebut diucapkan oleh orang tua kepada anaknya, maka perintah tersebut berbunyi: Lakukan perintah ini menurut standar pengalaman orang tuamu, bukan menurut pengalamanmu. Sebuah perintah yang penuh kasih sayang, bukan?

Dari perintah tadi itu, ulama sepakat bahwa ibadah puasa di bulan Ramadlan berhukum wajib. Hukum ini bisa diketahui dengan seketika bahwa ia bagian dari agama (al-Ma’lûm min al-Dîn bi al-Dharûrah). Perintah Tuhan selalu mengandung sisi maslahat. Sedangkan maslahat merupakan nilai yang terus beriringan dengan syariat Islam. Yang perlu dipertanyakan di titik ini adalah, apakah nilai tersebut masih relevan di tengah pandemi Corona Covid-19 seperti sekarang? Bagaimana jika hukum ibadah puasa di bulan Ramadlan telah kehilangan konteksnya (Dzihâb Mahal al-Hukm)?

Terkait ibadah puasa Ramadlan tahun ini, instansi fatwa Mesir telah mengeluarkan fatwa sebagai berikut: (i) Bagi siapa saja yang sehat, tidak terinfeksi Covid-19, serta memenuhi persyaratan melakukan ibadah puasa, maka ia wajib berpuasa. Bahkan ibadah puasa akan meningkatkan sistem imunnya. (ii) Namun bagi siapa saja yang terinfeksi Covid-19, maka seharusnya ia berkonsultasi dengan dokter. Jika berpuasa akan akan membahayakan kesehatan, maka ia harus memenuhi perintah dokter. (iii) Tenaga medis yang menangani pasien, diizinkan tidak berpuasa jika dengan berpuasa akan terjadi hal-hal yang membahayakan diri mereka; ini juga menurut anjuran dokter.

Ketiga fatwa tersebut sudah melalui tahap analisis dari kedokteran selama sepuluh hari. Artinya, sebuah fatwa akan ditetapkan usai melewati pertimbangan di sana sini secara matang. Sehingga kekhawatiran untuk rentan terkena virus Corona akibat berkurangnya sistem imun tak perlu dipertanyakan ulang. Mentah. Analisis dari tim medis dan kedokteran ini pun senada dengan sabda Nabi Muhammad, “Berpuasalah, lantas kalian akan sehat.”

Kemudian, apabila tujuan peniadaan puasa Ramadlan supaya masyarakat bisa menggantinya dengan membayar fidyah (memberi makan), maka saya akan memetakan terlebih dahulu tentang hukum tidak berpuasa dan konsekuensinya yang ada enam. Secara universal, hukum peniadaan puasa ada dua kategori: Pertama, wajib tidak berpuasa. Kedua, boleh tidak berpuasa. Hukum pertama masuk dalam kategori pertama. Hukum kedua sampai keenam termasuk dalam kategori kedua. Untuk lebih jelasnya, teruslah membaca tulisan ini sampai tuntas.

Pertama, orang wajib tidak berpuasa dan wajib menggantinya, misalnya perempuan yang mengalami menstruasi dan nifas. Kedua, boleh tidak berpuasa dan jika tidak berpuasa, maka ia harus mengganti di lain waktu. Hal ini berlaku bagi orang sakit dan orang yang bepergian. Ketiga, apabila tidak berpuasa, maka wajib mengganti puasa sekaligus membayar fidyah. Semisal seorang ibu yang khawatir membahayakan bayi dalam kandungannya. Keempat, wajib membayar fidyah tanpa mengganti puasa. Berlaku bagi kakek-nenek yang tua renta. Kelima, wajib mengganti puasa tanpa membayar fidyah, semisal orang yang menderita epilepsi. Dan Keenam, tidak mengganti puasa dan tidak membayar fidyah. Contohnya seperti orang yang mengalami gangguan jiwa.

Dari uraian normatif tersebut, di titik manakah peniadaan puasa bisa dibenarkan dengan membayar fidyah, sedangkan kita dalam kondisi normal? Saya rasa kita sudah tahu jawabannya. Hukum di atas hanya berlaku bagi orang-orang yang berada dalam kondisi tertentu (‘udzur). Dan apabila persoalannya hanya ingin menyalurkan sedekah—dalam bentuk fidyah, bukankah hal itu bisa dilakukan sambil berpuasa? Sehingga kita bisa menyalurkan sedekah, tanpa menghalangi ibadah puasa. Sedikit aneh memang jika seseorang meninggalkan sebuah kewajiban untuk melakukan kesunahan, padahal keduanya bisa dilakukan di waktu bersamaan. Sangat naif, apalagi ada kaidah fikih yang mengatakan: al-Wâjib Lâ Yutrak Illâ li Wâjib; terlebih lagi jika ternyata itu hanya keinginan yang dibalut tendensi tertentu.

Lalu apakah ibadah puasa Ramadlan sudah kehilangan konteksnya di masa-masa seperti sekarang ini? Jawabannya tentu tidak. Ada standar tertentu bagaimana sebuah hukum bisa dikatakan ‘kehilangan konteksnya’, seperti kesepakatan dunia secara global, bahwa hukum tersebut tidak relevan di masa sekarang. Peniadaan hukum ibadah puasa tidak mencapai kesepakatan itu. Sehingga dalam kondisi ini, fatwa di seluruh dunia memiliki logika yang sama, bahkan konteks-realitas pun sama. Mau tidak mau keputusan fatwa untuk tetap ibadah puasa Ramadlan, baik di Mesir dan Indonesia adalah keniscayaan. Oleh sebab itu, sebuah pertanyaan di penghujung tulisan ini,  untuk mereka yang masih suka mempertanyakan banyak hal, “Masih mau menjadi kerak nasi berhari-hari di dalam kuali?”

Back to top button