Opini

Belajar dari Kesalahan Amerika Menghadapi Pandemi

Amerika telah dibuat pontang-panting menghadapi pandemi Covid-19. Tak mengherankan, hal itu akibat sikap Donald Trump yang sejak awal meremehkan virus Corona. Karena kepentingan ekonomi, ia merasa ada konspirasi China di balik Covid-19. Kemudian diperparah dengan rakyat Amerika yang tidak menghiraukan himbauan pemerintah untuk lockdown dan physical distancing. Saat imbauan pembatasan sosial (physical ditancing) sedang gencar-gencarnya,  mereka justru mengadakan pesta besar, salah satunya pesta di pantai Miami, Florida. Beberapa pekan kemudian, Florida mencatatkan 14.300 kasus Corona (Kumparan.com). Akhirnya media memberitakan sejak pertengahan maret lalu, penyebaran Covid-19 di Amerika melonjak signifikan sampai menembus ratusan ribu. Pada 23 April, tercatat lebih 842.000 warga yang positif Corona, dengan jumlah kematian mencapai 46.000 di Amerika.

Trump kini harus menerima akibatnya,  ia benar-benar berada pada situasi yang serba salah. Di saat para gubernur negara-negara bagian dan penasihat dalam negeri mendorong untuk memperpanjang kebijakan lockdown, masyarakat yang terdampak ekonominya justru mendesak pemulihan aktivitas ekonomi. Masyarakat kapitalis dan industrial Amerika terus unjuk rasa dan menarasikan “Lockdown Killed My Business”.

Pada pertengahan April kemarin, melalui siaran Pers, Trump mengklaim Amerika sudah melalui puncak pandemi dan optimis akan membuka kembali perekonomiannya pada 1 Mei mendatang (Liputan6.com). Akan tetapi, keputusan tersebut masih diperdebatkan, mengingat kemungkinan jaungkaun pandemi yang nyatanya berkepanjangan. Sampai saat ini, Amerika masih terus dibayang-bayangi dua kondisi krisis: krisi bencana pandemi yang mempertaruhkan ratusan ribu nyawa manusia dan krisis masa depan ekonominya— karena semua dikuasai pihak swasta dan lemahnya pertahanan sosial.

Saya melihat kemudian, pandemi Covid-19 di mata Amerika seolah hanya merupakan ancaman ekonomi. Logika ekonomi Neoliberal telah membuat mereka lebih mementingkan masa depan ekonomi, daripada masa depan kemanusiaan. Trump tak segan-segan mengorbankan ratusan ribu rakyatnya untuk kepentingan segelintir pemilik modal dan elite di sana. Sebuah fenomena kegilaan negara imprealis-kapitalis. Maka saya bisa mengatakan, surga yang diramal oleh Francis Fukuyama sebagai akhir dari sejarah itu bernama kapitalisme, ia tidak pernah mengira bahwa neraka berada di baliknya; akankah ini bisa disebut sebagai kiamat kapitalisme?

Dua Akar Bencana
Covid-19 bukan hanya sebuah bencana yang menyerang nyawa manusia dan keberlangsungan perekonomiannya. Di balik itu terdapat pelajaran berharga bagi orang-orang yang selamat, maupun yang telah menjadi korban—semoga mereka mati syahid dan diampuni dosa-dosanya.

Oleh karenanya, kita semua perlu belajar dari kesalahan Amerika; dengan merenungkan kapitalisme dan Corona sebagai dua akar dari bencana kita hari ini. Kenapa Kapitalisme dan Corona menjadi bagian dari situasi krisis hari ini? Bukankah kehancuran ekonomi (kapitalisme) dunia juga diakibatkan oleh pandemi? Untuk menjawab itu, pertama-tama kita perlu mengulas keadaan ekonomi dunia pra-Pandemi. Apakah tidak ada krisis ekonomi dunia saat sebelum terjadi pandemi Covid-19?

Syahdan, ekonomi dunia pra-pandemi sebenarnya sedang mengalami krisis sejak 2009, hingga 2019 kemarin. Keberadaan pandemi sebenarnya merupakan perpanjangan dari krisis yang telah dan sedang terjadi sebelumnya. Ini berdasar catatan Mohammad Zaki Hussein tentang situasi ekonomi global pra-wabah Corona dalam laman Facebooknya. Ia menyebutkan, bahwa pertumbuhan ekonomi dunia berdasarkan IMF semenjak krisis 2009 (hingga 2019) hanya pada rasio 3,0. Pertumbuhan itu lemah karena tidak mencapai 4,3, seperti pada tahun 2000-2009. Keadaan ini juga diperparah dengan rasio utang 7 negara besar dunia—di antaranya Amerika—yang rata-rata telah melebihi 100 persen PDB (Produk Domestik Bruto) dalam negeri sejak tahun 2010. Menurut Zaki, hal ini akan menimbulkan risiko tinggi “gagal bayar utang” (default) atau terkena krisis kredit macet.

Berdasarkan catatan di atas, krisis ekonomi global secara parsial—akibat tindakan kapitalisme—sudah terjadi, bahkan sebelum datangnya wabah Corona. Ia hanya mempercepat, memperdalam dan memperparahnya. Oleh sebab itu, keberadaan Covid-19 tidak akan terpisah dari akar sosialnya. Ia bukan kejadian supranatural yang terpisah dari hukum sebab-akibat; ia tidak datang dari Tuhan secara tiba-tiba. Bagi saya, mungkin tepat logika yang disampaikan al-Quran bahwa bencana akan berlaku kepada suatu kaum, ketika terjadi pembiaran kepada kesewenang-wenangan, “Ketika kita hendak menghancurkan suatu negeri, kita akan memerintahkan (mendorong) orang-orang yang bermewah-mewahan di atasnya (negeri tersebut), kemudian mereka melakukan kerusakan di negeri tersebut, maka menjadi nyata perkataan (hukum) kami, kemudian kami menghancurkannya dengan sehancur-hancurnya.”  (QS. Al-Isra’, 17:ayat 12)

Dari sini, saya semakin yakin bahwa kapitalisme termasuk akar dari bencana kita hari ini. Besarnya jumlah pandemi yang menyerang Amerika, juga diakibatkan dari pola ‘keserakahan’ jiwa kapitalis masyarakatnya. Hemat saya, Trump perlu melakukan—meminjam bahasa Martin Suryajaya—de-industrialisasi dan de-finansialisasi segala sektor perekonomian, tentu dengan mengorbankan segala kepentingan kapital-material di dalamnya. Terakhir, dengan tetap berbela sungkawa atas situasi hari ini, saya berharap kiamat kapitalisme dan krisis kemanusiaan yang melanda Amerika bisa menjadi pelajaran bagi dunia (khususnya Indonesia) untuk membicarakan arah baru ekonomi pasca-pandemi.  Tabik!

Back to top button