Esai

Puasa di Tengah Wabah Corona

Meski tengah dirundung pandemi Corona Covid-19, umat muslim tetap bersuka cita menyambut datangnya bulan suci Ramadlan 1441 H. Agaknya umat Islam di manapun berada sedang ingin mengejawantahan Hadits: “Man faraha bidukhuli Ramadhan haramallahu jasadahu ‘ala al-niran; barang siapa bergembira dengan datangnya bulan suci Ramadhan, maka Allah mengharamkan jasadnya masuk neraka.” Apalagi ibadah puasa Ramadlan sebagaimana disebutkan banyak keterangan akan bisa membantu mendatangkan hal-ihwal yang berguna untuk “melewati” pandemi Corona.

Puasa Ramadlan tahun ini jelas sangat berbeda dengan puasa Ramadlan di tahun-tahun sebelumnya. Jika mengacu instruksi dari umara (pemerintah) maupun mayoritas ulama Indonesia, umat Islam tidak boleh melakukan amaliah atau ibadah khas bulan Ramadlan secara kolektif, baik itu di surau, masjid atau di tempat-tempat khusus lainnya. Artinya kita tak boleh lagi melakukan kegiatan kolektif semisal buka bersama, tadarus bersama, shalat Tarawih berjamaah, hingga kegiatan sungkeman Idul Fitri. Tujuannya jelas, untuk memutus rantai penularan virus Corona. Semua kegiatan yang bersifat kolektif atau melibatkan orang banyak memang telah dilarang. Namun bukan berarti amaliah atau ibadah khas bulan Ramadlan itu yang dilarang-larang. Jika kita melakukannya di rumah (jamaah) bersama keluarga, semua ibadah khas Ramadlan itu tidak pernah dilarang oleh umara maupun ulama. Ini penting saya tuliskan, supaya tidak disalahpahami dan dipelintir oleh mereka yang berkepentingan.

Ibadah puasa sendiri secara etimologi berasal dari bahasa Arab shiyam atau shaum. Keduanya merupakan bentuk masdar yang artinya menahan atau mencegah. Secara terminologi fikih, puasa berarti menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkan puasa, mulai dari terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari; dengan niat yang tertentu. Puasa Ramadhan hukumnya wajib bagi semua orang Islam yang telah memenuhi syarat untuk melakukannya; yaitu yang berakal, sehat, serta suci dari haid dan nifas (bagi muslimah). Dasar utamanya adalah QS al-Baqarah ayat 183 dan Hadits Nabi.

Adapun hukum berpuasa di tengah masa pandemi atau wabah Covid-19 seperti sekarang akan lebih bersifat khusus. Hukumnya menjadi lebih bersifat fleksibel, sebagaimana telah difatwakan Dar al-Ifta al-Misriyah (Lembaga Fatwa Mesir) sebagai berikut: (1) Bagi siapa saja yang sehat, tidak terinfeksi Covid-19, serta memenuhi persyaratan melakukan ibadah puasa, maka hukumnya wajib berpuasa. Bahkan ibadah puasa (justru) akan dapat meningkatkan sistem imunitas. (2) Namun bagi siapa saja yang terinfeksi Covid-19, maka ia harus berkonsultasi dengan dokter. Jika berpuasa akan dapat membahayakan kesehatannya, maka ia harus memenuhi saran atau perintah dokter. (3) Sementara bagi tenaga medis yang menangani pasien Covid-19, diizinkan tidak berpuasa, jika dengan berpuasa akan terjadi hal-hal yang dapat membahayakan diri mereka; ini nanti juga mengikuti pertimbangan dari dokter.

Jika kita menyimak fatwa Dar al-Ifta yang bersifat global di atas, terlihat jelas bahwa syariat Islam memang selalu mempertimbangkan sisi kemaslahatan. Oleh karenanya, fatwa ulama atau umara pun selalu bergantung dan melihat pada kemaslahatan umatnya. Hal ini sebagaimana bunyi kaidah fikih yang sudah masyhur bagi kalangan pesantren, yaitu kaidah, “Tasharruf al-imam ‘ala al-ra’iyyah manuthun bi al-mashlahah.” Jadi sungguh sangat disayangkan, ketika ada kepala daerah atau tokoh ulama setempat yang tidak memperhatikan realitas umat atau mempertimbangkan kemaslahatan umat. Baca juga Logika Fatwa di Masa Pandemi.

Sebagaimana kerap muncul di berita, hingga sekarang ini, masih ada kiai desa, ustadz di perkotaan ataupun tokoh daerah yang keras kepala dan ngotot untuk melakukan ibadah-ibadah yang bersifat jamaah atau kolektif. Mereka bahkan memprovokasi warga atau umatnya untuk mengkritisi kebijakan dari umara dan mayoritas ulama yang meniadakan shalat berjamaah di masjid, yasinan, tahlilan, silaturahim dan semua kegiatan yang bersifat kolektif. Mereka yang keras kepala itu karena menganggap sepele virus Corona, kurang bijak dan menafikan sisi kemaslahatan umatnya. Umumnya mereka hanya berpikir jangka pendek, cupet dan pola pikirnya saklek. Tapi kalau nanti ada apa-apa, ujung-ujungnya menyalahkan pemerintah.

Padahal sudah berulang kali dijelaskan, bahwa adanya fatwa peniadaan semua ibadah atau kegiatan yang bersifat kolektif itu semata demi menjaga keselamatan, menghindari banyak umat terpapar virus dan demi kemaslahatan umat (ri’ayatan li al-salamah wa wiqayatan min al-amradl). Anjuran Hadits terkait menyikapi wabah dengan berdiam di rumah dan melakukan pembatasan sosial pun sudah terang benderang. Dikuatkan lagi dengan adanya kaidah fikih, Daf’ul mafasid muqaddamun ‘ala jalbil mashalih; menghindari bahaya itu lebih didahulukan daripada mencari kebaikan. Lalu ditambah pula ada kaidah dalam Mausu’ah Qawa’id Fiqhiyyah, addaf’u awla min al-raf’i; bahwasanya menolak itu lebih baik dari menanggulangi. Jadi pijakan umara dan para ulama untuk segera melakukan tindakan darurat (pencegahan merebaknya virus) saya kira sudah sangat jelas dan lengkap. Terlebih lagi, larangan untuk beribadah secara kolektif itu hanya bersifat sementara, sampai wabahnya berlalu. Jadi, alangkah baiknya kita manut dulu dan banyak berdoa biar wabahnya segera berlalu.

Memang, prosentase tingkat kematian orang yang terpapar Corona Covid-19 terbilang kecil, tidak sampai 4 persen. Apalagi jika virus ini menjangkiti orang-orang yang masih muda, sakti mandraguna, atau yang biasa jalan-jalan macam para simpatisan Ijtima Ulama Gowa dan sesamanya. Mereka semua itu bisa jadi sudah kebal akan sakit, dekat dengan Tuhan dan sama sekali tak nampak gejala saat terpapar virus Corona. Namun perlu diingat, status mereka tetap pasien positif Covid-19 yang bisa menularkan (carrier) terhadap siapapun yang “kontak” dengannya. Mobilitas mereka ini juga tinggi. Dan pada kenyataannya, mereka ternyata tidak kebal virus sebagaimana yang mereka sesumbarkan di awal-awal muncul Corona. Bahkan dikabarkan beberapa media, ada pula yang meninggal usai terpapar Corona. Jadi alangkah baiknya mereka harus mulai harus sadar diri dan jangan lagi keras kepala dengan tak mau dikarantina. Kalau memang hasil tes SWAB sudah berkali-kali negatif sih terserah, mereka mau ngapain saja; bebas, asal tidak merugikan orang lain dan tak mengganggu ketertiban umum. Tapi mbokya kalau mau “menghadap” Tuhan sekarang sekarang ini ya jangan ngajak yang lain.

Untuk para ustadz atau kiai di desa yang masih ngotot dan keras kepala tetap mau mendirikan Jumatan, ngadain kumpulan atau Tarawih di masjid, mbokyaho pada sadar diri, mikir dan digunakan nuraninya. Kalau mau ngasih fatwa mestinya semua aspeknya dilihat, jangan asal njeplak. Umara dan mayoritas ulama Indonesia ataupun ulama dunia ketika memfatwakan peniadaan Jumatan dan jamaah di masjid itu sudah meminta pertimbangan sana-sini, termasuk para pakar medis. Utamanya terkait dampak yang timbul ketika umat manusia ngotot berjamaah, lalu yang terpapar Corona membengkak signifikan. Jelas nanti rumah sakit dan petugas medis yang akan sangat kewalahan. Tingkat prosentase kematian yang tadinya kecil pun akan meninggi dengan sendirinya. Hal ini sudah terbukti dialami oleh Italia dan Amerika. Kalau Indonesia mengalami nasib serupa Italia dan Amerika, apa kira-kira oknum ustadz dan ulama yang ngotot Jumatan dan Tarawih itu siap bertanggung jawab? Apa kira-kira ustadz dan kiai yang keras kepala itu tahu, bahwa ketika penyebaran virus Corona tidak dicegah secara masif, Indonesia (hampir pasti) akan bernasib sama dengan Italia atau Amerika. Coba lihat sekarang, betapa Amerika sangat kelabakan dan panik. Tingkat kematian pasien Covid-19 di sana setiap harinya sudah di atas angka 4500 jiwa. Coba Pak Ustat dan Pak Yai yang terhormat merenung barang sejenak, seandainya dari 4500 jiwa yang mati itu adalah kerabat atau sejawat Anda! Rela dan siapkah Anda bertanggung jawab, serta menanggung dosanya?!

Nah, karena sudah mikir dan melihat potensi kerusakannya sedemikian besar, maka umara dan ulama (misalnya) di Saudi Arabia serta Mesir sejak awal langsung mengambil langkah tegas menutup pintu masuk negaranya dan meniadakan seluruh aktivitas ibadah yang bersifat kolektif. Sejak awal, mereka sudah tahu bahwa dalam kasus Corona ini, yang namanya perkumpulan sangat berpotensi untuk menjadi media penularan virus. Baik itu perkumpulan biasa, maupun kumpul untuk beribadah. Mereka belajar dari kasus wabah di Damaskus (749 H) dan di Kairo (883 H) dimana saat awal terjadinya wabah masih sedikit yang kena, lalu mereka berkumpul dan berdoa bersama agar wabah segera dihilangkan. Tapi yang terjadi justru wabahnya semakin menyebar parah, tak terbendung. Karena dalam kasus wabah yang disebabkan virus, perkumpulan manusia memang menjadi medium penularan wabah. Disebutkan, “Anna tajamu’at fi hadzihil awbiah hiya akbaru musabbib li al-‘adwa wa intisyarul maradl. Lidza, kanat al-da’wah ilaiha jarimah munkarah, wa kana tajannubuha wajib syar’i lialla yusahim al-mar-u fi instisyaril maradl, fa ya’tsamu bidzalika asyaddal itsmi.”

Dari sini saya kira sudah semakin jelas, bahwa orang yang memprovokasi warga untuk melanggar pembatasan sosial atau ngotot untuk melakukan ibadah yang bersifat kolektif, ia justru telah melakukan perbuatan dosa. Tidak sebanding antara pahala ibadah sunah dengan dosa dan dampak dari kumpul-kumpul yang dilakukan. Bahkan jika nanti provokasinya (seperti perkataan ustadz jamaah Ijtima Ulama Gowa dan provokasi oknum kiai di desa) terbukti sebagai pemicu penularan, maka orang-orang semacam itu dihukumi sangat berdosa (asyaddul itsmi).

Wabakdu, semoga ibadah puasa Ramadlan di tengah pandemi Korona Covid-19 ini bisa semakin meningkatkan kualitas keimanan, kualitas komunikasi dan kualitas kemanusiaan kita. Baik itu untuk konteks vertikal maupun horisontal. Pun semoga puasa kita kali ini kian membukakan mata kepala dan mata batin kita atas pentingnya kesehatan, kebersihan, kemanusiaan dan keselamatan bersama. Agar hidup tidak lagi sekadar mempertontonkan kualitas keakuan dan kekakuan kita sebagi manusia. Semoga!

Back to top button