Menakar Efektivitas Pembebasan Narapidana

Beberapa minggu yang lalu, Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna H Laoly mengeluarkan kebijakan pembebasan narapidana umum, baik dewasa maupun anak-anak. Hingga 20 April lalu, sebanyak 38.822 napi telah dibebaskan melalui program asimilasi dan integrasi. Hal itu dilakukan untuk mencegah penyebaran Covid-19 secara masif di lingkungan lapas (lembaga pemasyarakatan) yang sudah kelebihan kapasitas. Namun, belakangan ini media banyak memberitakan tentang adanya sebagian narapidana asimilasi yang kembali berulah. Seperti pemberitaan KOMPAS.TV pada 23 April di Blitar, tentang tiga napi baru bebas yang kembali mencuri. Kejadian serupa tidak berlangsung di satu daerah saja, beberapa rangkaian kejadian kriminal serupa terjadi dan cukup membuat warga bertambah resah di tengah masa pandemi Corona yang belum usai. Mereka yang sedang resah dengan pandemi, harus ditambah lagi keresahannya dengan aksi dan tindakan kriminal para napi asimilasi. Dari serangkaian peristiwa di atas, apakah keputusan pemerintah terkait pembebasan narapidana di tengah pandemi ini dianggap sudah tepat?
Namun sebelum menjawabnya, saya akan memberikan gambaran mengenai kaidah yang saya gunakan untuk menganalogikan fenomena di atas dengan pandemi yang sedang terjadi. Dalam kaidah fikih, kita mengenal kaidah “Idzâ ta’âradla mafsadatân rû’iya a’dhamuhumâ dhararan bi irtikâbi akhaffihimâ.” Dengan arti simpelnya, apabila kita dihadapkan pada dua mafsadah yang bertentangan, dengan catatan salah satunya lebih besar, maka yang perlu dilakukan adalah memilih mafsadah yang lebih ringan. Berkenaan dengan fenomena di atas, mafsadah pertama adalah tidak membebaskan narapidana yang mana akan berdampak pada penyebaran Covid-19 di lapas. Mafsadah kedua adalah membebaskan narapidana yang akan berdampak pada kemungkinan tingginya tingkat kriminalitas di Indonesia.
Untuk mempertimbangkan antara keduanya, tentu perlu juga melihat kondisi narapidana di lapas. Sebagaimana telah diketahui, bahwa kapasitas hampir seluruh lapas di Indonesia masih sangat minim, terbatas, berdesakan dan sangat tidak layak. Dengan kondisi lapas yang tidak layak seperti itu, maka kemungkinannya memang akan sangat mempermudah penyebaran kasus Covid-19. Namun kebijakan pembebasan tersebut sebenarnya masih harus dikaji ulang, tersebab ada dampak sosial lain dan pemerintah juga belum terlihat menjamah kemungkinan solusi lain. Ditambah lagi dengan adanya blunder pernyataan Pak Yasonna di awal, yang ingin pula membebaskan narapidana korupsi. Padahal kita tahu, kondisi lapas koruptor sangat berbeda bila dibanding lapas milik narapidana umum Dimana terlihat jelas kenyamanan hunian napi koruptor yang seperti kos-kosan mewah. Memang kalau melihat hunian narapidana umum, kemungkinan terpaparnya sangat besar. Meski larangan menjenguk narapidana sudah dilakukan sejak sebelum keputusan asimilasi, akan tetapi dengan adanya polisi, petugas lapas dan pegawai lain yang keluar-masuk, itu sangat mungkin bisa membawa virus Corona. Andai ada satu saja yang positif terpapar, hampir bisa dipastikan langsung akan ada lonjakan jumlah pasien Covid-19 di Indonesia.
Di sisi lain, jika para narapidana itu dibebaskan selagi masa hukumannya belum tuntas atau (katakanlah) belum sebenar tobat, kemungkinan mereka akan membahayakan masyarakat cukup tinggi. Yang sudah selesai saja masih banyak yang berulah kembali ketika bebas. Apalagi jika mereka dibebaskan dengan cara mendapat diskon masa hukuman yang cukup signifikan. Sebagaimana kita tahu, terkait adanya pandemi Covis-19 ini, Menkumham membuat dua kebijakan terkait narapidana, yaitu program asimilasi dan integrasi. Asimilasi disebut sebagai program yang membebaskan narapidana dengan tetap berada di rumah masing-masing. Sedangkan, integrasi merupakan program yang mana mereka diperbolehkan keluar dari rumah.
Dari kenyataan di lapangan terkait program asimilasi dan integrasi, ada narapidana yang baru beberapa hari dikeluarkan dari lapas, tapi narapidana asimilasi tersebut kembali berulah. Keamanan masyarakat pun sedikit terusik dan semakin resah. Akan tetapi, sebagian pihak justru beranggapan bahwa keresahan masyarakat sedikit berlebihan. Sebagaimana yang disampaikan oleh Wakapolresta Malang Kota AKBP Setyo Koes Heriyanto, bahwa pihaknya mengakui adanya peningkatan kasus kejahatan jalanan dalam sepekan. Namun ketika diselidiki, belum sepenuhnya dapat dikaitkan dengan bebasnya narapidana asimilasi. Artinya, mungkin saja imbas kondisi saat pandemi ini, mulai dari sulitnya bekerja, hingga perekonomian Indonesia yang menurun, lantas menyebabkan beberapa orang bertindak jahat atau kriminal. Belum tentu sepenuhnya itu kontribusi program asimilasi dan integrasi.
Apalagi, persentase narapidana asimilasi yang mengulangi perbuatannya memang tidak tinggi, hanya 0,05 persen dari 38 ribu lebih yang dibebaskan. Menariknya, kriminolog Leopold Sudaryono mencatat dalam tiga tahun terakhir, ada 27.643 narapidana yang dipenjara kembali karena mengulangi perbuatan. Angka tersebut hanya 10-an persen dari keseluruhan warga binaan yang berjumlah 271 ribu. Jadi ketika dikerucutkan ke jumlah mereka yang mendapatkan program asimilasi, itu memang hanya 0,05 persen. Setelah ditelusuri, penyebab mereka kembali berulah adalah masih minimnya pengawasan, serta masih kurang efektifnyanya program pembinaan. Ini sebenarnya sudah menjadi rahasia umum. Bahwa para narapidana yang keluar dari lapas, umumnya justru malah kembali menjadi kriminal, bahkan kembali dengan referensi ilmu kriminalitas yang menjadi lebih meningkat.
Dari sisi pengawasan, saya kira juga memang terhitung sangat lemah. Padahal, di zaman teknologi yang berkembang pesat seperti sekarang, pengawasan bisa dilaksanakan melalui grup di media sosial, baik WhatsApp, konferensi video Zoom atau aplikasi lainnya. Menurut saya, hal ini tidak lepas dari masih buruknya kebijakan Menteri Yasonna yang dalam konteks memberikan asimilasi terhadap narapidana kurang konsultasi terlebih dahulu dengan pihak-pihak terkait.
Dari itu semua, saya kira keputusan pemerintah terkait pembebasan narapidana kurang efektif dan perlu dikaji ulang. Menteri Yasonna juga kurang berkoordinasi dengan aparat kepolisian dan pihak-pihak lain. Seandainya lebih ada koordinasi, mungkin aparat kepolisian dapat melakukan porsi tanggung jawabnya dengan meningkatkan pengawasan dan pembinaan terhadap narapidana yang mendapat asimilasi atau integrasi. Entah sistemnya nanti seperti apa. Tujuannya agar para yang narapidana bebas itu dapat dikontrol dan dapat bertanggung jawab atas kebebasannya. Sehingga nantinya, masyarakat juga dapat lebih tenang dalam menjalani aktivitas kesehariannya dan dalam menghadapi pandemi Corona, tanpa harus ada kerisauan baru terkait keselematan diri dan hartanya.
Terkait solusi lain, saya kira pihak Kemenkumham harusnya lebih tanggap dengan keresahan masyarakat terkait kriminalitas yang meninggi. Alangkah lebih bijaknya jika pihak Kemenkumham mencoba mencarikan solusi lain dari adanya ancaman di lapas itu dengan (misalnya) banyak membuat lapas-lapas baru. Dan akan lebih maslahat lagi, jika dari lapas-lapas baru yang dibuat itu juga sekaligus membuat terobosan-terobosan (program) baru agar yang namanya lapas benar-benar berfungsi menjadi lembaga binaan. Artinya setiap naripidana yang selesai menjalani masa hukuman, begitu keluar penjara mereka akan merasa terbina, ingin tobat dan berusaha bekerja dengan cara halal. Jika sudah begitu, kaidah akhaffu dlararain yang saya singgung di atas menjadi tidak perlu lagi saya terapkan.