Cerpen

Fragmen Sepasang Spion

Kepulan asap memenuhi ruangan si editor berita. Angin senja yang menyerobot masuk lewat sela jendela di ruang tengahnya gagal menyapu asap-asap itu. Segagal ia memahami mengapa kantor berita belum juga mengiriminya konfirmasi. Apakah berita yang barus saja melewati mejanya bakal terbit, pending atau tertolak.

Jari-jari Jamal memeluk selang syisya sembari membaca sekali lagi teks berita yang telah ia edit dan kirim ke bagian cetak surat kabar Piramid. Biasanya setelah lima menit, orang-orang dari kantor berita milik oposisi itu bakal memberi konfirmasi. Berita bakal terbit besok pagi. Namun, kali ini satu jam berlalu, notifikasi belum juga ia terima.

Berita itu ditulis oleh Almira, seorang wartawati yang juga bekerja untuk surat kabar oposisi. Ia mewartakan kematian misterius beberapa pekerja proyek jembatan yang sedang dalam proses pengerjaan. Jembatan yang menghubungkan Kairo dengan pulau el-Warraq itu dinilai sebagai manuver pemerintah untuk menguatkan pengaruhnya di sana. Sebuah pulau yang berada di tengah sungai Nil itu memang dikenal sebagai basis simpatisan oposisi paling kental.

Selama dua tahun ini, pengaruh pemerintah tak dapat  menyentuh pulau itu. sebab hanya ada jembatan tua dengan besi-besi berkarat, satu-satunya akses ke sana. Membuat orang pemerintah mudah terdeteksi oleh warga setempat. Dalam wartanya, Almira membeberkan fakta bahwa sebagian saham dari proyek jembatan itu dimiliki oleh Sang Penguasa Negeri.

Nalar Jamal mencoba melangkahi fakta di hadapan tulisan yang ia edit dengan mulai memutar isi kepalanya. Apakah ini hanya kejanggalan biasa atau ada yang sedang terjadi. Akhirnya, Jamal memilih menghapus kalimat yang menunjukkan, kalau kematian para pekerja itu berkaitan dengan pemilik saham. Sebelum ia mengirim tulisan Almira untuk diterbitkan.

Namun, tanpa konfirmasi dari pihak kantor, berita itu dipastikan tak akan terbit esok pagi. Kecemasan Jamal mendorongnya mengambil gawai. Layar kotak yang sedari tadi hanya ia tengok lalu diletakkan secara berulang. Kini ia buka untuk mencari nama Almira di deretan daftar kontak. Sekali tekan, beberapa detik kemudian suara khas wanita Mesir menyapanya

Alu, Vandem.”

“Berita yang kau tulis belum juga naik. Aku menegasi kaitan beritamu dengan orang nomor satu di negeri ini. Izzai ro’yak? Apa itu masalah bagi mereka?”

Terdengar tawa kecil di ujung sana. “Demi Tuhan, tenanglah. Mungkin saja masalah itu hanya sekadar teknis.  Kau mesti tahu, berita itu memang sedang ingin disorot oleh koran kita. Seperti biasa, berita yang kau edit bakal terbit.”

“Aku percaya padamu. Oh ya, besok pulanglah ke rumah. Aku mengkhawatirkanmu.”

Telepon genggam kembali ia letakkan. Sambil menghirup syisya, Jamal menjelajah ke dua tahun yang lalu, saat ia dan Almira telah selesai dari akademi militer negeri Piramida. EGIS menunjuk mereka berdua untuk berbaur dan mengambil peran di Koran Piramid. Koran yang dijadikan tempat bersembunyi para oposan untuk terus menyebarkan propagandanya dengan halus, tanpa perlu diburu pemerintah. Mayoritas komposisi redakturnya adalah eks orang-orang koran Kebebasan dan Keadilan yang dua tahun lalu ditutup, setelah afiliasinya tumbang oleh partai penguasa saat ini.

Jamal dan Almira diberi misi untuk berperan sebagai jurnalis di koran itu. Agar pemerintah dengan mudah dapat mengantisipasi, bila mana mereka akan mengambil langkah yang membahayakan stabilitas negara.

Jamal mengawalinya dengan bekerja di media-media independen dan menyuarakan suara-suara sumbang yang diarahkan kepada pemerintah. Mereka berdua berakting seolah-olah keturunan pentolan partai terlarang. Mereka meminta hak atas kejahatan terhadap sipil, mengkritik kebijakan pemerintah sesering mungkin. Menyuarakan perjuangan melawan tangan penguasa yang tiran. Hanya butuh setahun, mereka berdua dilirik.  Dan dengan bergabungnya mereka dengan jajaran redaksi di kantor berita Piramid setahun lalu, mereka telah memulai misi yang mengharuskan mereka untuk saling menjaga. Serigala dengan bulu domba yang masuk ke dalam kandang domba bukan berarti tidak akan terciduk dan binasa.

Hari itu, saat mereka baru bergabung, sambutan yang mereka dapatkan begitu meriah.

“Perkenalkan saya Jamal dan ini Almira istri saya,” ucap Jamal memperkenalkan dirinya kepada seluruh petinggi.

“Wah wah, tak kusangka kalian adalah sepasang kekasih,” timpal El-Haddad, seorang yang tak asing bagi Jamal dan Almira.

“Begitulah takdir, kami resmi menjadi sepasang kekasih dua pekan yang lalu.” Jamal menjawabnya, sebelum kemudian dipotong oleh orang nomer satu di Piramid, Yosef Ahmad.

“Anak muda seperti kalian kurasa cocok untuk dicekoki seremoni terlebih dahulu,” ucapnya diakhiri dengan tawa yang segera diakhiri suara batuk-batuk.

Usai seremoni penyambutan, seorang petinggi bernama Mahmud Afandi bertanya kepada Jamal. “Saudaraku, ketika menemukan rekanmu berkhianat, menurutmu apa yang bakal kau lakukan?”

Sambil senyum ramah, Jamal menjawab, “akan kutarik nafas dari kedua lobang hidungnya. Membuatnya tertidur dengan lelap. Dan tanpa rasa sakit ia meninggalkan jasadnya.”

Tak ada senyum yang tergores di pipi Mahmud. Sepertinya ia kurang begitu terkesan dengan jawaban Jamal yang terkesan asal bunyi. Ia belum puas. Seakan singa yang belum mendapat mangsa, ia memburu Jamal dengan pertanyaan susulan.

“Caranya?”

“Kujamu dengan sianida”.

“Itu cara kuno, Bung,” seseorang di ujung meja menimpali.

“Arsenik lebih mematikan. Walau efeknya baru terasa tiga, empat hari, ia sulit dideteksi oleh indra manusia.” El-Haddad, Pinum Piramid sekaligus orang kepercayaan Yosef menyahut. Ia adalah petinggi yang menghubungkan oposisi di Kairo dengan London.

***

Sambil menunnggu konfirmasi, ia ingin memeriksa beberapa berita yang mengantri dikirim ke bagian cetak. Wuuush, asap syisya yang keluar dari mulut Jamal tak setebal tadi, namun masih sanggup mengurangi tegang pikiran. Gawainya bergetar. Rupanya tidak seperti kemarin, hari ini notifikasi berita masuk seperti hari-hari sebelumnya. Memang seharusnya begitu. Mungkin benar kata Almira, kemarin hanya masalah teknis saja.

Tanpa pikir panjang, Jamal membuka alat komunikasi berlayar hijau itu. Sebuah pesan tanpa nomer ia buka. Jamal baru membaca satu kata, tapi matanya seolah berbetot, jantungnya yang adem ayem mulai memompa darah lebih cepat, nafasnya pun tak mau kalah. Sial, Eih dah yabni niknaaka, batinnya. Misimu selanjutnya: Eksekusi Almira.

Kaget bukan kepalang Jamal membaca pesan dari badan intelejen negaranya. Almira, rekan yang telah bersumpah memberikan seluruh tumpah darahnya untuk negara, hari ini bakal dimatikan begitu saja oleh negara yang ia cinta.

Jamal sejatinya ingin mengirim pesan balasan agar perintah membunuh rekannya ini ditangguhkan. Walau seorang martir, ikatan emosinya dengan Almira membuat hatinya tak rela dan ingin memberontak. Tapi apa daya, sebagai abdi negara, suka tidak suka, Jamal harus menundukkan hatinya di hadapan perintah.

Belum selesai kagetnya, suara bel mengagetkan Jamal kali kedua. Lewat layar pengawas di samping komputernya, Jamal memastikan kalau itu Almira. Perempuan itu berdiri dengan baju coni dress-nya, menunggu kunci pintu dibuka Jamal dari dalam.

Melihat Almira yang langsung duduk di atas sofa hitam, Jamal memutar kursi kerjanya, Jamal melempar senyum, sembari memberi basa basi.

Yassalaaam, dari mana saja kau?”

“Aku dari berburu baju bekas, setelah tiga hari ini kuhabiskan untuk mencari objek yang menarik.”

“Sejujurnya aku mengkhawatirkanmu. Setelah ada yang mengganjal dua hari yang lalu.”

“Kau lama kelamaan seperti suami sungguhan yah.”

Almira yang datang membawa senyum, kini mulai duduk dengan wajah kesal. Ia kemudian menyalahkan asap syisa yang memenuhi ruangan dan membuatnya sesak nafas. Almira melangkah membuka jendela.

“Berapa kali musti kubilang. Bukalah jendela bila menghisap selang itu,” ucapnya.

Jamal menghela nafas tak menghiraukan racauan perempuan itu. Walau Almira senang membantunya bersih-bersih, bahkan menggantikan air syisa, ia tidak peduli dengan asap-asap itu mau memenuhi ruangannya atau memenuhi paru-parunya.

Masih dengan dengan senyumnya yang tadi, Jamal mencoba membaca pikiran Almira yang kesal. Jamal tahu ia bukanlah orang yang lugu. Walau telah bersama selama dua tahun, keduanya tidak mungkin bisa membaca pikiran rekannya bila hanya lewat sikap tubuh. Mereka berdua sama-sama ahli dalam menyembunyikan emosi masing-masing.

Jamal meninggalkan Almira dan melangkah ke dapur. Entah ia ingin menyambut kedatangan Almira dengan segelas es jeruk dan kue tar yang ada di lemari pendingin. Atau malah Jamal ingin mengambil pisau dapur lalu mengeksekui perintah atasannya.

Tak sampai lima menit, ia dengan secangkir teh hangat kembali ke ruang tengah. Menyodorkannya kepada Almira yang tak terlihat sedang dahaga. Setelah meneguk minumannya, Almira pun berdiri dan melangkah ke kamarnya. Tak ada hal penting yang ia obrolkan dengan Jamal, hingga akhirnya ia memilih rebahan.

Kumandang adzan Isya terdengar dari sela-sela jendela ruang tengahnya. Sambil lalu memandang gawainya, tanda tanya masih memenuhi kepala Jamal. Mengapa rekannya berkhianat, alasan, tujuan, sejak kapan?? Semua itu ingin Jamal ketahui sebelum Almira mati di tangannya. Mata Jamal yang sedari tadi bugar dengan adrenalin yang memacu jantungnya, tiba-tiba seakan ditarik untuk mengatup. Dan setelah sepersekian detik, Jamal terlelap.

Keesokan harinya, surat kabar al-Ahram, Misr al-Yaum, al-Jumhuriah dan beberapa koran yang tunduk pada pemerintah, sama-sama menerbitkan berita kematian. Salah seorang editor berita harian Piramid tewas di atas sofa rumahnya. Dalam berita tersebut, laki-laki berusia 40-an tahun itu meninggal di rumahnya seorang diri. Ia ditemukan salah satu warga sekitar, setelah seorang wanita mengadu ke salah seorang warga.

Back to top button