Esai
Trending

Purifikasi (Akun) Hijrah

Di era digital sekarang, banyak kita jumpai pemanfaatan medsos sebagai lahan berdakwah. Salah satunya bisa dilihat dengan bermunculannya akun-akun (medsos) dakwah yang berciri khas penyampaian masing-masing. Ada yang berupa meme-meme berisi nasihat, kata mutiara, hingga kutipan-kutipan Hadits dan ayat al-Quran. Ada pula yang berisi pesan moral yang dikemas dalam bentuk video pendek berdurasi sekian menit. Sealur bergulirnya waktu, isu-isu agama menjadi sangat seksi, sehingga kemudian akun-akun dakwah semakin menggejala dan merajalela.

Yang menyita perhatian saya adalah akun dakwah yang bisa terus eksis dari awal kemunculannya hingga sekarang. Yaitu akun-akun berjargon ‘hijrah’ yang istikamah memviralkan doktrin tertentu, meski secara kontennya banyak yang tidak layak untuk diviralkan. Sebut semisal akun @hawariyyun dan @pemudahijrah. Salah satu konten yang sering digaungkan adalah hijrah berkerudung syar’i. Mungkin sudah banyak tulisan yang membahas habis persoalan tren hijrah itu, baik dari perspektif pro maupun kontra. Ada pula tulisan yang khusus mengkaji konten-konten yang ditawarkan. Kali ini, yang saya pengin soroti adalah bagaimana akun-akun hijrah tersebut dapat terus eksis (bahkan beranak-pinak) dan bisa cepat meraup massa. Sebagaimana kita saksikan, kini penyebutan ‘kerudung syar’i’ pun sudah banyak diadopsi mentah-mentah oleh masyarakat.

Hal tersebut bisa ditelisik dari dua arah; dari sisi produsen (pemilik akun) dan sisi konsumen (warganet). Di sini, saya memakai diksi produsen dan konsumen karena sama-sama berprinsip take and give. Konsumen melahap konten dengan berharap imbalan berupa kepuasan batin baginya, sementara produsen alias kreator (kebanyakan) bertujan komersial untuk mendapakan upah, atau bisa juga dengan tujuan memiralkan ajaran dakwah kelompok tertentu. Seorang produsen, selain berupaya menyuguhkan barang berkualitas, ia juga dituntut cerdik dan cerdas mengatur strategi pemasaran. Bagian dari strategi pemasaran yaitu menargetkan produksinya ke konsumen terbesar dari produk yang ditawarkan, sehingga produknya jadi cepat laku dan tersebar luas. Dalam hal ini, akun-akun hijrah mempercayai remaja milenial sebagai ikon pemasaran konten-konten hijrah. Ada juga yang menokohkan artis tertentu sebagai ikon hijrah yang ideal. Hal tersebut tentu juga bagian dari pertimbangan para produsen usai melihat persentasi pengguna internet yang didominasi remaja milenial. Survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2017 memang menyatakan 49,52% pengguna internet adalah masyarakat usia 19-34 tahun.

Selain itu, produsen juga mengemas produknya semenarik mungkin supaya menjadi sorotan publik. Akun hijrah mengemas kontennya dengan penyampaian yang sangat friendly dan santai. Mereka juga menggunakan sebutan, kata-kata dan istilah gaul ala remaja milenial, seperti ‘gaul tapi sholeh’, ‘baper fisabilillah’ dan seterusnya. Pun mereka meramaikan tagar-tagar hijrah untuk memudahkan pencarian konten-konten hijrahnya.

Saya kira, pemasaran model seperti ini cukup berhasil menjangkau target. Karena jika ditelisik, mereka (konsumen akun hijrah) terdiri dari anak SMA yang rata-rata lama sekolahnya 6-7 jam per hari, mahasiswa (dengan beban kuliah, tugas, makalah, observasi dll) serta remaja produktif yang disibukkan aktivitas sehari-hari. Sehingga di medsos, mereka hanya mau menerima konten-konten dengan model penyampaian santai sebagai relaksasi diri. Oleh karena tenaga dan pikirannya sudah terkuras, mereka tidak ingin menjejali diri dengan hal-hal yang membebani. Terlebih mempelajari agama dari akar secara menyeluruh (agaknya) dirasa rumit. Akhirnya, konten yang mereka terima pun hanya seputar motivasi, jodoh, hijab dan obat galau.

Selain upaya produsen, ihwal konsumen (yang didominasi remaja milenial) juga mempengaruhi laku kerasnya sebuah produk hijrah. Hemat saya, konsumen akun hijrah (umumnya) telah keliru dalam menilai sebuah produk. Terbujuk oleh strategi pemasaran produsen, mereka tidak lagi melihat kualitas dari produk yang ditawarkan. Iming-iming model penyampaian yang friendly dan ringan telah membutakan mata. Mereka lantas menganggap belajar agama dengan penyampaian santai, ringan dan gaul (konten nomor sekian), lebih dibenarkan ketimbang belajar secara mendalam tapi dengan penyampaian yang tak sesuai hasrat mereka. Sehingga mereka merasa konten-konten remeh tersebut sudah memenuhi kebutuhan belajar agama mereka. Padahal seyogianya, bermuamalah jual beli, tentu perihal kualitas menjadi pertimbangan nomor satu, baru kemudian perihal pemasaran. Sebagai contoh implikasinya, seorang penjual lontong balap yang sangat cuek, namun tiap hari antrian pembelinya begitu panjang. Apakah kemudian konsumen mempertanyakan tukang lontong balap tersebut belajar pemasaran dari mana? Tidak.  Pertanyaan yang terlontar justru, “resepnya apa? dapat resep dari mana?” Fakta tersebut sama-sama tidak bisa kita ingkari.

Mari berkaca dari fakta tersebut. Langkah awal yang mesti warganet lakukan saat menelisik kualitas produk akun dakwah, adalah mengetahui substansi dari konten yang dihadirkan, sahih atau tidak, bersanad valid atau tidak. Jika merasa awam untuk mengetahui hal tersebut, cara mengidentifikasi selanjutnya adalah dengan mempertanyakan siapa sosok yang ditampilkan; bagaimana latar belakang pendidikannya. Kemudian dari mana dia mendapatkan konten tersebut, sudahkah keilmuannya diakui dan sejalan dengan pemikiran para ulama yang kapabel. Hal ini harus dilakukan sekaligus sebagai usaha filtrasi akun-akun dakwah.

Sedikit mengulik terkait sanad, ia merupakan salah satu unsur penting yang menentukan kevalidan sebuah Hadits. Sanad diartikan sebagi rentetan perawi Hadits yang sampai hingga Rasulullah SAW. Ia menjadi pedang bagi umat Islam, yang tanpanya Islam tidak akan bertahan melawan musuh-musuhnya. Tentu, ia menjadi titik keunggulan umat Islam ketimbang umat-umat sebalumnya. Mengutip perkataan Abdullah bin al-Mubarok RA, “al-isnâd min al-dîn lau lâ al-isnâd laqâla man syâa’ mâ syâa”. Dari sini, kehadiran sanad sebagai tolok ukur diterimanya sebuah Hadist sangat cocok jika dibenturkan dengan kekeliruan konsumen akun hijrah dalam menilai kualitas sebuah produk. Minimalnya sebagai filtrasi awal. Andai setiap dari konsumen akun dakwah lebih memahami urgensi sanad, maka tidak akan banyak lagi berkeliaran para remaja labil dari generasi milenial yang (ng)ustadz di medsos. Semoga.

Back to top button
Verified by MonsterInsights