
Perbedaan pendapat merupakan anugerah yang diberikan Tuhan kepada manusia. Anugerah tersebut diletakkan pada akal yang merupakan episentrum bagi seluruh gerak dan wacana peradaban. Perbedaan persepsi di setiap akal manusia terhadap problematika yang ada telah berjasa membuat alur dialektika menjadi dinamis dan kaya akan ide-ide segar. Namun, konsep perbedaan pendapat saat ini tidak lagi bertujuan untuk memperkaya perspektif, melainkan menjadi adu mulut dan berujung pada nihilisasi nilai dan pengetahuan. Hal tersebut yang menjadi kekhawatiran bagi Tom Nichols karena dapat berujung pada matinya kepakaran (The Death of Expertise).
Demokrasi telah berjasa dalam tatanan sosial masyarakat. Mulai dari pemerintahan yang melakukan “banting setir” kuasa ke tangan rakyat dengan jargon “Dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”. Kemudian pada ruang publik diperkenalkan istilah kebebasan berpendapat bagi seluruh kelas masyarakat tanpa terkecuali. Dari sini, masyarakat mulai berani mengemukakan isi pikirannya tentang apa saja, seperti politik, sosial, ekonomi, agama dan lain-lain di ruang publik. Hal tersebut yang kemudian melahirkan adagium “Suara rakyat adalah suara Tuhan” dengan arti bahwa konsensus masyarakat dapat menjadi kebenaran absolut yang sejajar dengan ilmu pengetahuan. Atas dasar faktor tersebut, John Rawls merumuskan teori keadilan dan kebenaran yang mengakomodir suara rakyat tersebut dengan nama akal publik (public reason). Bisa dikatakan, ide utama yang dibawa demokrasi adalah kesetaraan (equality) dan melawan apapun yang mengancamnya seperti kasta, otoritas dan lain-lain. Pada kondisi tertentu, semisal pengambilan keputusan publik oleh pemerintah, partisipasi rakyat sangatlah penting sebagai check and balance agar kebijakan tersebut tidak merugikan mereka. Akan tetapi, hal tersebut menjadi berbeda ketika berurusan dengan informasi dan pengetahuan yang merujuk pada keahlian tertentu seperti ekonomi, agama dan sebagainya. Kesetaraan justru menjadi bumerang yang dapat menyerang kedua belah pihak; yaitu masyarakat dan ilmu pengetahuan. Pertama, ia akan menyerang masyarakat dengan cara menghancurkan otoritas, hingga menimbulkan kebingungan publik mengenai siapa yang berhak atas topik pengetahuan tertentu, semisal agama. Selanjutnya, ia akan menyerang ilmu pengetahuan dengan cara menciptakan bias konfirmasi antara opini orang awam dan keterangan para pakar serta memunculkan virus nihilisme terhadap pengetahuan tersebut.
Melihat efek samping demokrasi tersebut, seorang profesor dari US Naval War College bernama Tom Nichols mencoba menganalisa problematika tersebut melalui karyanya berjudul “The Death of Expertise; The Campaign Against Established Knowledge and Why It Matters”. Buku setebal 249 halaman itu mengurai efek demokrasi terhadap keberlangsungan dunia kepakaran. Hasil dari uraian tersebut terdapat empat hal yang dapat memicu hilangnya kepakaran, antara lain: 1). Kesetaraan yang berlebihan antara orang awam dan pakar; 2). Kapitalisme pendidikan; 3). Pemberhalaan internet; 4). Jurnalisme bodong.
Meski yang menjadi sorotan utama dari empat pemicu ini adalah Amerika Serikat, tetapi menurut saya uraian tersebut bersifat universal dan dapat berlaku di negara manapun, mengingat demokrasi ala Amerika telah menjadi standar global sistem demokrasi.
Dari keempat pemicu akan hilangnya kepakaran, saya akan membahas lebih lanjut pada pemicu kedua, yaitu kapitalisme pendidikan. Menurut profesor dari US Naval War College, terdapat dua hal saling berkaitan yang mengubah drastis dunia pendidikan (khususnya dunia universitas) yakni kapitalisme dan sikap egalitarian. Hal pertama, ketika kapitalisme merasuki dunia pendidikan, maka terjadi perubahan orientasi yang semula berorientasi pada pengetahuan (knowledge oriented) menuju orientasi profit (capital oriented). Saat perubahan tersebut berlangsung, terjadi degradasi kultur terutama dalam hubungan antara guru dan murid pada sebuah institusi pendidikan. Semula, hubungan antara keduanya dengan orientasi pengetahuan menempatkan guru pada posisi tertinggi sebagai pemilik pengetahuan (owner of knowledge). Kemudian kini berubah dengan orientasi profit yang menempatkan murid pada posisi tertinggi sebagai pemilik modal (owner of money). Akibat dari perubahan tersebut adalah kontrol arah pendidikan berada di tangan murid. Mereka menentukan materi pendidikan sesuai dengan keinginan dan menuntut guru serta institusi pendidikan untuk mewujudkannya karena merasa telah “membelinya”. Sebagai contoh, sebuah kelompok mahasiswa University of Yale pada tahun 2016 menuntut agar mata kuliah puisi klasik dihapus di jurusan sastra bahasa Inggris karena dinilai sudah ketinggalan zaman. Akibatnya, para dosen mengeluh dan merasa diperlakukan sebagai pegawai toko daripada seorang guru.
Selanjutnya, budaya egaliter awal mulanya ditujukan sebagai upaya demokratisasi kampus demi terciptanya lingkungan yang penuh dengan dialektika pengetahuan. Sayangnya, dengan mentalitas murid seperti kondisi pertama justru menciptakan kesenjangan baru. Mereka (murid) merasa memiliki derajat yang sama dengan gurunya (khususnya dalam intelektual) hingga berani mendebat, bahkan menganggap pendapatnya sama benarnya dengan milik mereka, meski aslinya berkualitas rendah. Hal tersebut yang menyebabkan kemacetan transmisi pengetahuan dan pembentukan pikiran yang kritis pada diri murid sebab terhalang oleh ego egaliter. Melihat kondisi yang demikian, saya rasa institusi pendidikan tidak lagi menjadi mata air kebijaksanaan (fountain of wisdom) melainkan tempat penyemaian wacana anti intelektual atas nama demokrasi.
Kondisi tersebut tampak berbeda jauh jika dibandingkan dengan Islam yang masih memberlakukan hierarki keilmuan pada hubungan antara guru dan murid. Sebagaimana yang dikatakan oleh Sahabat Ali bin Abi Thalib yang dikutip oleh Imam Zarnuji di kitabnya “Ta’lîm al-Muta’allim”, “Aku adalah budak bagi siapapun yang mengajariku, meski satu huruf …”. Perkataan tersebut menjadi acuan fundamental dalam menghormati seorang guru dengan tujuan mempermudah transmisi keilmuan dan pembentukan pikiran yang kritis bagi sang murid. Meski tidak menutup kemungkinan terjadi perbedaan pendapat antara guru dan murid, namun tetap pada koridor ilmu pengetahuan dan adab yang baik. Dengan demikian, pendidikan dan institusinya tetap pada koridornya yaitu berorientasi pada pengetahuan (knowledge oriented).
Buku yang diresensi kali ini sangat direkomendasikan bagi pemerhati sosial dan pendidikan dalam melihat situasi masyarakat di era informasi (information age) saat ini, terkhusus pada hierarki pengetahuan dan kualitas akal publik. Isi yang berbobot dengan gaya penyampaian yang ringan menjadi daya tarik tersendiri bagi pecinta buku untuk segera membacanya. Namun, dikarenakan memakai bahasa yang mudah, ternyata menjadi sebuah kelemahan, khususnya untuk menentukan check point pembahasan dan merangkumnya sebagaimana yang saya lakukan di paragraf ketiga. Meski demikian, saya tetap merekomendasikan buku ini bagi para pembaca yang ingin membaca buku ringan dan berbobot.
Wabakdu, keadilan tidak sama dengan kesetaraan, karena ia cenderung pada kesesuaian porsi daripada memaksakan untuk sama rata. Begitu pula dengan pengetahuan, mengikuti arahan orang alim tidaklah merenggut hak dasar kita dalam berpendapat, justru ia menyelamatkan kita dari kesalahan berpendapat.