Benarkah Manusia Hanya Diperbudak Tuhan?

Barangkali tidak hanya saya yang pernah mempertanyakan mengapa saya harus shalat dan puasa. Mengapa saya kudu mengeluarkan zakat tiap tahun. Dan alangkah nikmatnya, jika saya bisa bergaul bebas dengan teman laki-laki tanpa takut dosa atau jika saya bebas memakai rok mini sepaha dengan rambut yang tegerai kemana pun saya pergi. Puncak pengandaiannya sampai pada pertanyaan, mengapa saya harus menuruti dan melakukan semua yang Dia perintahkan? Saya meyakini, bahwa alam semesta ini memiliki pencipta, Dia Dzat Yang Kuasa, keberadaan-Nya tidak didahului oleh sesuatu apapun. Tapi, apakah relasi saya sebagai makhluk dan sang pencipta hanya sebatas tuan dan budak?
Ternyata, selepas abad pencerahan, para filsuf di Barat pun mengkritik konsep moralitas kaum agamawan yang agaknya mirip dengan apa yang saya risaukan. Jamak diketahui, bahwa para filsuf tersebut dalam konsep moralitasnya, bersumber dari ihwal manusia (tidak ada unsur ilahiah). Baik itu akal, suara hati atau pun undang-undang dan adat istiadat yang dibentuk oleh sekumpulan manusia. Sehingga, melihat kaum agamawan yang dalam konsep moralitasnya berdasar pada firman Tuhan, mereka (para filsuf) mengklaim bahwa segala tindak laku agamawan hanyalah paksaan dan buah dari ketakukan atas ancaman Tuhan. Mereka tidak ada pilihan untuk bisa melakukan ini dan itu. Semua hasil perintah sepihak Tuhan dengan ancaman siksaan akhirat bagi yang tidak menaatinya.
Di sinilah para filsuf tersebut mengklaim bahwa akhlâq falsafiy lebih relevan ketimbang akhlâq al-dîniy yang mereka anggap mengabaikan unsur malakah atau sifat bawaan manusia. Berangkat dari klaim-klaim ini, lantas muncul berbagai dialektika kaum agamawan dari masing-masing agama. Karena saya beragama Islam, syahdan jawaban-jawaban dari para cendekiawan muslimlah yang mampu memuaskan dan membabat habis pertanyaan saya di atas.
Untuk menjawabnya, sudah selayaknya kita merujuk ke al-Quran terlebih dahulu sebagai asas primer tuntunan-tuntunan syariat Islam. Dengan mengkaji, mendedah ayat per ayatnya, kita akan menemukan bahwa dalam setiap firman-Nya yang mengarah pada perintah dan pelarangan sesuatu, Allah SWT menyertainya dengan hikmah dan alasannya. Sehingga tidak ada hal yang samar dan membingungkan bagi makhluk. Kita tengok surat al-Baqarah ayat 282 terkait utang-piutang, “ … Dan janganlah kamu bosan menulisnya, untuk batas waktunya, baik utang itu kecil maupun besar. Yang demikian itu lebih adil di sisi Allah, lebih dapat menguatkan kesaksian dan lebih mendekatkan kamu pada ketidakraguan.”
Dari ayat tersebut, kita tahu betapa jelinya Allah SWT ihwal makhluknya. Tidak akan ada celah bagi manusia untuk mempertanyakan, mengapa Allah memerintahkan kita untuk menulis detail ihwal utang-piutang. Coba kita bayangkan, andai Allah tidak mensyariatkan hal tersebut, seberapa banyak kasus perdata yang muncul akibat utang piutang yang masih ambigu di mata manusia.
Atau dalam firman-Nya, Dia sama sekali tidak menjelaskan secara gamblang sebab dan hikmah pensyariatan. Hal ini tidak kemudian Dia sengaja meninggalkannya, sehingga membuat manusia bingung dan bertanya-tanya. Melainkan, dalam firman tersebut, Dia sertakan qarînah yang menunjukkan bahwa ketetapan-ketetapan-Nya berdasar pada kemaslahatan makhluk. Yang mana, Dia tidak ingin menunjukkan sebab dan hikmah atas ketetapan-Nya secara terus terang kepada para makhluk.
Qarînah tersebut adalah dengan penyifatan diri-Nya sebagai Dzat Maha Mengetahui, lihat surat al-Baqarah ayat 216, surat al-Nisa ayat 11 dan lain-lain. Mengapa tidak sifat yang lain? Coba kita andaikan, Dia mengiringi setiap perintah dan larangan-Nya dengan sifat irâdah (menghendaki) dan qudrah (kuasa). Irâdah adalah sifat memilih dan menghendaki bagi Dia. Sementara qudrah adalah sifat menetapkan, menciptakan dan ta’tsîr bagi-Nya. Jika demikian, bisa jadi kita dapat membenarkan anggapan bahwa Tuhan hanyalah memperbudak manusia. Dia berkehendak semaunya, bebas menetapkan segala hal dan berkuasa penuh atas seluruh makhluknya. Sedang manusia tidak memiliki andil sedikit pun dalam kehidupannya.
Akan tetapi, dia meletakkan sifat Maha Mengetahui di antara perintah dan larangan-Nya. Alîm merupakan sifat inkisyâf bagi Dia. Maksudnya, tersingkap oleh-Nya segala pengetahuan atas makhluk-Nya. Dia mengetahui segala perkara yang tidak diketahui oleh manusia. Pun Dia mengetahui apa saja yang telah berlalu dan apa yang akan terjadi di waktu mendatang secara detail. Sehingga, dari kemahatahuan-Nya tersebut, Dia mengerti ke mana arah dan apa pengaruh atas ketetapan-ketetapan-Nya. Dia menetapkan ini-itu atas dasar pengetahuannya, mana yang terbaik untuk makhluk-Nya. Dari sini, kita tahu bahwa segala ketetapan Dia hanya berasas kemashlahan manusia, tanpa keraguan apapun. Sehingga, relasi manusia dan Tuhan tidak sebatas hubungan budak dan tuan, dimana budak tidak memiliki hak apapun atas hidupnya.
Bukankah kita percaya bahwa Allah SWT Maha Mengetahui? Akan sia-sia jadinya jika ulasan ini dipertanyakan kembali oleh orang yang tidak mempercaya kealiman-Nya. Ala kulli hâl, jawaban dari pertanyaan saya di atas terilhami oleh kitab al-Akhlâq fî Ithâr al-Nadhrah al-Tathawwuriyyah. Dan akan lebih menarik lagi jika kita mampu menadaburi setiap ayat perintah dan larangan-Nya. Jika sudah bisa begitu, kita akan dibuat takjub dengan cinta dan kasih-Nya terhadap umat manusia, bukan sekadar hubungan Tuan dan budaknya.