Interpretasi Dilâlah Wadl’iyah

Era disrupsi, mau tidak mau harus kita akui, telah berhasil mempengaruhi pola pikir kita. Dimana pola pikir ini nantinya berdampak pada bagaimana kita menyikapi suatu persoalan. Sederhana saja, saat ini banyak dari kita yang hanya menggunakan media sosial untuk mencari popularitas atau pun sensasi semata. Akan baik-baik saja jika upaya mencari sensasi tersebut tidak dengan “memanfaatkan” orang lain; dengan mengunggah beberapa video aib diri sendiri, misalnya. Lain jadinya, jika upaya mencari sensasi tersebut memanfaatkan atau merugikan pihak lain. Seperti dengan memotong video unggahan sebuah akun, lalu mengunggahnya kembali dengan nada provokatif. Tentu persoalan seperti ini nantinya mempengaruhi pola pikir seseorang.
Dalam konteks Indonesia, dengan pluralitas dalam keberagamaan, seringkali kita temui potongan video ceramah seorang dai yang sengaja dicari titik-titik sensitif untuk memprovokasi penontonnya. Tidak berlebihan juga, jika saya menyebut muslim Indonesia saat ini sedang di masa “puber”. Artinya, keberagaman ormas yang ada di Indonesia masih dianggap sebagai satu hal negatif yang selalu mengundang pertanyaan mana yang benar dan salah. Sehingga sangat tidak heran, dengan kondisi seperti ini, beberapa potongan video tersebut berhasil memprovokasi serta mempengaruhi pola pikir kita. Oleh karena itu, tidak hanya berusaha meminimalisir penyebaran potongan video yang bernada provokatif saja. Kita juga perlu cerdas menanggapi sebuah isu kontroversial dengan tidak mudah terpengaruh oleh intrik semacam itu.
Makna dan Pemahaman
Dalam ilmu mantik atau ilmu logika, kita mengenal istilah dilâlah (penunjuk). Ia diartikan sebagai keadaan suatu perkara dimana ketika memahaminya, maka seyogianya makna lainnya mudah terpahami. Kemudian dilâlah ini terbagi menjadi dua; lafdhiyyah (verbal) dan ghair lafdhiyyah (non-verbal). Yang kemudian masing-masing terbagi lagi menjadi tiga. Dan yang menjadi objek pembahasan dalam ilmu logika hanya dilâlah lafdhiyyah wadl’iyyah dengan memiliki tiga pembagian.
Dilâlah lafdhiyyah wadl’iyyah sendiri merupakan dilâlah yang dengan sengaja dibuat atau ditetapkan secara verbal. Yang menetapkan batasan makna suatu lafaz adalah mutakallim (pembicara). Sedangkan pemahaman atas lafaz yang dibuat oleh pembicara menjadi ranah sâmi’ (pendengar). Di sini yang perlu digarisbawahi adalah, bahwasanya antara makna dan pemahaman merupakan dua hal yang berbeda. Ketika pembicara mengucapkan lafaz, maka apa yang terkandung di dalam lafaz bisa disebut makna. Sedangkan pemahaman, tentunya bersumber dari pendengar atas lafaz yang ia dengar dari pembicara. Oleh karena itu, pada suatu keadaan memungkinkan adanya ketidaksinkronan antara makna lafaz dari pembicara dan pemahaman yang diterima pendengar. Hal semacam ini nantinya berimbas pada kesalahpahaman yang terjadi antara pembicara dan pendengar.
Contoh kecilnya ketika saya mengatakan kepada Nida, “Saya akan kembali ke rumah.” Maka pemahaman Nida atas kata “rumah” sesuai dengan makna “rumah” yang saya maksud, yaitu rumah yang biasa kita bayangkan secara keseluruhan. Nah, pemahaman “secara keseluruhan” tentang rumah ini disebut dilâlah muthabaqiyah, yakni pembagian pertama dari dilâlah lafdhiyah wadl’iyah. Yang kedua adalah dilâlah tadlammuniyah (sebagian dari atau partikular). Contohnya ketika saya mengatakan kepada pak tukang, “Pak, tolong benahi rumah saya!” Maka pak tukang akan bertanya kembali, “Apa yang dibenahi?” Dalam keadaan seperti ini, kata “rumah” tidak dimaknai sebagaimana rumah seutuhnya, melainkan hanya bagian tertentu dari rumah yang perlu dibenahi. Semisal dapur, ruang tamu, kamar mandi atau bagian lain dari rumah tersebut. Sehingga tidak salah jika pak tukang perlu memastikan bagian rumah mana yang perlu dibenahi. Sedangkan yang ketiga, adalah dilâlah iltizâm yang menunjukkan pada sesuatu di luar makna kata tersebut. Dan yang akan kita soroti hanyalah dilâlah pertama dan kedua.
Perlu kita pahami, bahwasanya dilâlah tadhommun dan dilâlah iltizâm memiliki keterikatan yang sangat kuat (talâzum). Keberadaan dilâlah tadhommun (partikular) pasti mengandaikan adanya dilâlah muthâbaqah (perkara menyeluruh). Dari kasus di atas misalnya, ketika yang dimaksud akan dibenahi adalah dapur rumah, maka secara pasti tukang tadi memiliki gambaran utuh atas makna rumah yang saya ucapkan sebagai pembicara. Dan tanpa memahami apa itu rumah (secara keselurahan), pak tukang tidak akan mungkin mempertanyakan apa yang akan dibenahi. Sehingga dalam kaidahnya, menarik hal-hal partikular (dilalah tadhammun) selalu bertumpu pada pengetahuan utuh akan hal tersebut (dilalah muthâbaqah).
Persoalan
Ada beberapa contoh kasus yang menjadi problematika dasar dalam memahami persoalan ini. Saya akan memberikan dua kasus yang sering terjadi di sekitar kita. Kasus pertama, ketika saya berbicara dan memilki kandungan makna yang termaksud kepada Fulan, memungkinkan Fulan memahaminya tidak sama dengan apa yang saya maksud. Dan jika Fulan menyebarluaskan pemahamannya tersebut kepada banyak orang, maka jadinya Fulan dan orang-orang memahami perkataan saya tidak sebagaimana makna yang saya maksud. Lalu kasus kedua, terlebih jika Fulan tidak mendengar perkataan saya secara utuh, lalu memahaminya sesuai apa yang dia inginkan. Di antara kemungkinannya, Fulan akan menyebarkan sebagian perkataan saya yang dia dengar apa adanya tanpa tambahan dari pemahamannya. Atau bisa jadi ditambahi “bumbu-bumbu”, atau justru dia menyebarkan pemahaman kasarnya yang tidak sesuai dengan makna yang saya maksud. Lantas, apa yang akan terjadi?
Kasus pertama merupakan simulasi di mana pemahaman sâmi’ tidak selaras dengan makna yang diinginkan mutakallim. Sedangkan yang kedua adalah simulasi sâmi’ menghukumi atau menilai sesuatu tanpa berdasar pemahaman yang utuh atas hal tersebut (muthâbaqah). Sebagaimana yang sudah disinggung sebelumnya, bahwasanya untuk memahami hal-hal partikular (dilalah tadhammun ) harus bertumpu pada pengetahuan utuh akan hal tersebut. Darinya, bisa kita ketahui seberapa seriusnya dampak dari keterputusan makna dan pemahaman. Pun, pemahaman yang tidak berangkat dari makna yang utuh.
Kenyataannya, digitalisasi sangat berjasa dalam merealisasikan hal tersebut sebagaimana telah saya ungkapkan di awal. Dimana ia memungkinkan kita untuk menjadi konsumen atau sâmi’ urutan ke sekian dari sebuah kajadian atau berita. Sehingga, dampak serius dari keterputusan makna dan pemahaman, serta pemahaman yang tidak berangkat dari keseluruhan makna, menjadi hal yang tidak terhalaukan. Menciptakan orang-orang yang “bersumbu pendek”, mudah menyalahkan, emosional, hingga melontarkan tuduhan-tuduhan konspiratif atau pun seruan-seruan bernada kebencian.
Persoalannya, di tengah masyarakat yang belum siap menerima dalam keberagamaan, mereka enggan membudayakan menyimak suatu persoalahan secara menyeluruh. Sehingga masih banyak ditemukan potongan video konspiratif yang sengaja ingin merugikan pihak tertentu. Atau jangan-jangan mereka memang tidak mengerti urgensi keselarasan makna dan pemahaman, bahwasannya suatu pemahaman harus berdasar dari keseluruhan makna yang utuh. Sayang sekali, padahal itulah yang dapat menggiring pola pikir mereka sehingga bijak dalam menyikapi suatu persoalan.
Sebagai contoh, seringkali yang menjadi fokus perhatian mayoritas orang adalah konklusi suatu hukum dari sebuah perkara. Menurut saya, konklusi suatu hukum hanyalah hal partikular, sedangkan untuk sampai pada pemahaman utuh perlu menelisik argumen-argumen yang mendasari konklusi hukum tersebut. Misalnya, kasus kontroversial pendapat Prof. Quraisy Shihab terkait batasan aurat perempuan yang mengundang banyak penolakan. Memang, dengan memahami pendapat beliau secara menyuluruh (muthâbaqah) tidak lantas membuat beberapa kelompok sepakat dengan konklusi beliau. Namun, setidaknya pembacaan menyeluruh tersebut akan membuat seseorang lebih bijak dalam menyikapi pendapat beliau, ketimbang hanya melihat konklusinya lalu menyatakan bahwa beliau sesat. Hal semacam ini yang nantinya menjadi permasalahan rumit dalam beragama di Indonesia.