Opini

Kualifikasi Dai Ideal

Belakangan ini, Evie Effendi kembali menjadi perbincangan kaum sarungan di media sosial. Pasalnya, ia kembali menuai protes akibat potongan video mengajar ngaji-nya yang kontroversial (28/6). Di video tersebut, ia membaca potongan ayat dari surat al-Baqarah kepada jamaahnya, tanpa mengimplementasikan ilmu tajwid. Ironinya, ia meminta kepada jamaahnya untuk mengikuti apa yang ia baca. Padahal sebelum video tersebut, ia pernah melakukan beberapa dakwah yang isinya dianggap fatal oleh publik. Seperti keliru dalam menafsirkan ayat dalam surat al-Dluha yang menyebut Nabi Muhammad sesat, serta mengatakan bahwa Hadits Nisfu Syaban itu cacat.

Ketika menonton potongan video ngaji-nya, saya memiliki beberapa pertanyaan sederhana. Apakah ia benar-benar mengaji dan belajar agama sebelum mengaku sebagai ustadz? Mengingat ia pernah mengatakan bahwa dirinya pernah belajar ke beberapa kiai. Bagaimana mungkin seorang dai tidak tartil dalam membacakan al-Quran? Melihat fenomena dai yang seperti ini saya jadi mempertanyakan kembali, ke mana dai-dai muda yang memiliki kapabilitas keilmuan itu?

Sebelum menyinggung jawaban dari beberapa pertanyaan di atas, saya kira cukup penting bagi seorang dai untuk mengetahui sifat-sifat yang perlu dimilikinya sebelum berdakwah. Setelah itu, penjelasan mengenai pentingnya membaca al-Quran secara tartil sebagaimana termaktub dalam QS. Al-Muzzammil: 4. Apalagi bagi seorang dai, saya kira ini menjadi syarat kualifikasi sebelum berdakwah.

Kualifikasi dan Tanggung Jawab Moral

Dalam kitab yang ditulis oleh Dr. Abdul Qadir Sayyid Abdul Rauf, Dakwah Islamiyah, beliau memaparkan sifat-sifat yang seyogianya dimiliki seorang dai. Di antaranya, pertama adalah kuatnya hubungan dengan Allah. Yakni, memiliki akidah yang kuat dan senantiasa mendekatkan diri kepada-Nya. Dengan begitu, seorang dai dapat mengajak masyarakat untuk beriman kepada-Nya dan mengantarkannya agar bersikap tawakal. Kedua, kekuatan hubungan dengan manusia, yakni tidak membedakan mereka dalam hal apapun; baik nasab maupun pekerjaan. Ketiga, bestari pada ilmu keislaman. Di antara yang wajib dimiliki bagi seorang dai adalah menghafal al-Quran sesuai kemampuannya serta baik bacaan al-Qurannya. Selain itu juga, perlu memahami berbagai khazanah keilmuan Islam dan mengetahui biografi para salaf salih secara runut.

Selanjutnya sifat keempat adalah mengetahui kondisi masyarakat yang menjadi objek dakwah, baik dari segi kondisi mental, budi pekerti dan adat mereka. Sebagai upaya agar dakwah yang dilakukannya mencapai tujuan dan dapat diterima oleh masyarakat. Di antara materi yang dibutuhkan untuk mengetahui kondisi masyarakat adalah ilmu sejarah, ilmu moral, ilmu bahasa, ilmu geografi dan ilmu sosial.

Maka, dengan mengetahui kualifikasi beberapa sifat dai di atas, kita perlu meninjau ulang apakah Evie Effendi sudah memenuhi persyaratan di atas? Tentunya, jika saja Evie rajin membaca al-Quran dan mengetahui ilmu tajwid bahkan menadaburi maknanya dengan baik, saya kira kejadian seperti potongan video ngaji-nya kemungkinan kecil tidak akan terjadi. Oleh sebab itu, menurut hemat saya para dai hendaknya tetap mengaji meskipun sesibuk apapun jadwal ceramahnya; baik mengaji dalam artian membaca al-Quran maupun mendalami ilmu agama pada ulama. Sehingga, selain menambah ilmu, juga bisa menanggulangi sikap merasa paling benar yang mudah menjangkiti hati setiap orang.

Dari kasus di atas, selain mendorong dai yang belum kapabel untuk belajar ilmu agama lebih dalam, saya kira perlu juga mendorong orang-orang yang kapabel dalam hal agama untuk berpartisipasi di panggung dakwah Indonesia. Tersebab, mereka mempunyai tanggung jawab moral untuk menyebarkan agama Islam yang ramah dan benar. Alih-alih bersikap apatis terhadap kasus ini, jelas kita melihat bahwa yang dipertaruhkan adalah esensi ajaran agama itu sendiri. Bukannya saya membatasi dan pilih kasih dalam persoalan ini, hanya yang perlu kita garisbawahi bersama adalah kesiapan lahir dan batin seorang dai sebelum berdakwah. Jika ia sudah mumpuni, tentunya kasus ini tidak akan menjadi perhatian serius di kalangan masyarakat.

Ilmu Tajwid dan Introspeksi

Kualifikasi di atas seharusnya menjadi perhatian serius bagi kita. Alasannya, karena seorang dai menyebarkan ajaran agama yang memiliki kesakralan. Terutama keakuratan ketika menuntun masyarakat dalam mengaji al-Quran maupun memberikan informasi. Imam Suyuthi sendiri dalam kitab al-Itqân menuliskan bahwasanya Sayyidina Ali mengatakan, “Tartil yaitu memperbagus huruf al-Quran dan mengetahui waqf.” Memperbagus atau memperindah bacaan ini biasa dikenal dengan tajwid.

Sebagaimana yang kita ketahui, bahwasanya mengamalkan ilmu tajwid dalam membaca al-Quran bagi setiap muslim adalah fardlu ‘ain. Tentunya sebelum membaca al-Quran harus belajar ilmu tajwid kepada seorang guru yang mumpuni. Para ulama berpendapat, bahwa membaca al-Quran tanpa mengimplementasikan ilmu tajwid jelas tidak diperbolehkan. Ilmu tajwid secara istilah yaitu mengeluarkan setiap huruf dari makhrajnya. Bersamaan dengan itu, juga memberikan hak-hak huruf tersebut, melembutkan pengucapannya tanpa berlebihan dan tidak sembrono. Di antara hak setiap huruf adalah sifat jahr, isti’lâ, istifâl dan lain sebagainya.

Selain itu, Imam Ibn al-Anbary memberikan perhatian lebih, bahwasanya termasuk keutuhan membaca al-Quran adalah mengetahui kapan berhenti (waqf) dan kapan memulai. Karena sekali mengabaikannya, akan berakibat fatal dalam susunan makna suatu ayat. Tentu saja waqf yang dimaksud tidak sebatas tanda yang tertera dalam mushaf al-Quran, melainkan kemampuan memahami makna ayat secara baik. Sehingga seseorang mampu menentukan kapan ia berhenti dan kapan meneruskan.

Maka tidak mengherankan, jika video mengaji Evie Effendi menjadi sorotan oleh beberapa kaum sarungan. Saya bisa menerima bahwa ia perlu dikritik dan diberi pemahaman terkait urgensitas dari ilmu tajwid. Apalagi melihat kemampuan membacanya yang seperti itu—yakni terlihat jelas ia tidak paham soal tanda waqf dan memulai, makharij huruf bahkan mengubah kalimat—, ia malah mencontohkan kepada jamaahnya agar diikuti.

Jika kita mau mengategorikan metode yang cocok untuk mengajarkan membaca al-Quran kepada Evie, maka seyogianya ia menggunakan metode tahqîq. Lantaran metode ini digunakan untuk mengajar dan berlatih membaca secara baik. Yakni memberikan hak untuk setiap huruf, seperti memanjangkan mâd, memperjelas huruf hamzah, menyempurnakan harakat, tasydid dan lain-lain.

Namun pada kasus ini, sebelum mengimplementasikan metode tersebut, seorang guru ngaji harus fasih dan tepat dalam membaca al-Quran. Jika ia memahami posisinya dengan baik, tentunya ia perlu memiliki keilmuan yang mumpuni sebelum turun berdakwah. Maka dari itu, akan lebih baik ketika ustadz yang disebut-sebut sebagai ustadz “gapleh” ini belajar mengaji dahulu, supaya apa yang disampaikan tidak sekadar asumsi pribadi, tetapi memang memiliki riwayat.

Setidaknya persoalan ini menjadi acuan introspeksi diri seorang dai serta pelajaran penting bagi masyarakat agar selektif memilih seorang guru ngaji. Ya, hitung-hitung peringatan halus bagi seseorang yang kapabel dalam ilmu agama di negeri ini agar sadar dan tidak hanya nyinyir di belakang layar. Alasannya jelas, karena masyarakat kita menunggu pencerahan agama yang baik dari mereka, terutama persoalan mengaji al-Quran. Sudahkah kita membiasakan untuk tidak nyinyir berlebihan dan turut serta berpartisipasi?

Back to top button