Opini

Covidiot dan Peran Pemerintah

Wabah menjadi salah satu musuh besar bagi kelangsungan hidup manusia. Banyak kematian yang terjadi disebabkan oleh wabah yang tersebar. Dampak kematian yang diakibatkannya pun terus bertambah selama belum ditemukan penawarnya. Namun, persoalan wabah yang pernah terjadi pada masa milenium adalah keterbatasan pengetahuan mengenai tindakan yang mesti dilakukan untuk menghentikan penyebarannya. Apalagi untuk menyembuhkan korbannya. Hal itu terjadi dikarenakan para ilmuwan belum mampu untuk mengidentifikasi wabah tersebut. Sehingga mereka tidak mengetahui bagaimana cara penyebaran virus tersebut serta tindakan efektif yang dapat menghentikannya.

Salah satu wabah yang terjadi di masa milenium adalah Maut Hitam (Black Death), yang mulai muncul pada dekade 1330 di Asia Timur dan Tengah. Hanya dalam kurun waktu kurang dari dua tahun, wabah ini telah memakan korban antara 75 juta sampai 200 juta orang. Yang lebih menggentingkan adalah ketidaksanggupan pemerintah pada waktu itu untuk menghadapi wabah. Yuval Noah Harari menggambarkan situasi saat itu dalam Homo Deus: Masa Depan Umat Manusia-nya. Dia mengatakan bahwa pejabat setempat benar-benar tak berdaya menghadapi bencana tersebut. Mereka hanya mampu menyelenggarakan doa-doa dan prosesi massal, bahkan mereka tak tahu tindakan apa yang mesti dilakukan.

Ironinya, pada tahun ini terulang kembali bencana yang menghilangkan banyak nyawa manusia. Kita dihadapkan dengan wabah yang sampai sekarang belum ditemukan penawarnya. Kita hanya bisa mencegah penyebarannya dengan tindakan yang telah dihimbau oleh pemerintah. Sejatinya, kita sudah tidak hidup di era milenium. Pemerintah melalui Satuan Gugus Tugas Covid-19 tentu tidak mungkin hanya melakukan penyelenggaraan doa saja, melainkan langkah cerdas dan konkrit perlu digalakkan lagi. Itu yang menjadi acuan harapan masyarakat saat ini.

Selain belum ada penawarnya, problem berikutnya adalah orang-orang yang abai dan bertindak melawan arahan pihak berwenang untuk mencegah penyebaran wabah. Dalam laman Urban Dictionary, orang-orang itu disebut Covidiot. Covidiot berasal dari dua kata, yakni ‘covid’ yang mengacu pada covid-19 serta kata ‘idiot’ yang berarti bebal. Kata Covidiot memang lahir sehubungan dengan wabah pada tahun ini. Urban Dictionary mendefinisikan Covidiot menjadi dua makna. Tentu ini menjadi perhatian serius bagi kita semua, tersebab kelompok manusia yang bersikap Covidiot berada di sekitar kita.

Pertama, Covidiot didefinisikan sebagai orang bebal yang mengabaikan protokol untuk melakukan social distancing demi mencegah penyebaran Covid-19. Mereka adalah orang yang acuh tak acuh kepada arahan pihak berwenang untuk menghadapi Covid-19. Definisi kedua ialah orang bebal yang menimbun belanjaan, menyebarkan ketakutan terhadap Covid-19 dan merampas kebutuhan pokok orang lain. Mereka adalah golongan orang yang mempraktikan panic buying. Praktik ini membuat kelangkaan pada kebutuhan pokok.

Perilaku Covidiot tentu membahayakan bagi dirinya sendiri dan orang lain, meskipun mereka sendiri tidak percaya kalau akan terinfeksi. Terebab penyebaran virusnya sendiri bisa terjadi hanya dengan interaksi langsung. Bahkan WHO baru-baru ini menyatakan, adanya kemungkinan virus ini dapat menyebar melalui udara. Menurut saya, himbauan dari pemerintah dan pihak berwenang sudah sangat masif dipublikasikan, akan tetapi hal tersebut seakan tidak bisa lagi mengubah perilaku mereka. Selain tindak hukum, kesadaran personal tentunya dibutuhkan untuk mengubah perilaku mereka. Perilaku semacam itu, menandakan seolah-olah mereka tidak memedulikan kehidupan manusia.

Barangkali hal-hal yang berkenaan dengan upaya menjaga kehidupan manusia yang dibawakan Cicero dalam On The Good Life-nya bisa diterapkan. Dengan tujuan, untuk memberikan pengertian kepada mereka yang menjadi Covidiot. Cicero membagi hal-hal itu menjadi berbagai bagian. Beberapa darinya adalah unsur yang tidak bergerak, seperti emas, perak dan hasil bumi atau benda-benda sejenisnya. Unsur lainnya adalah sesuatu yang bergerak. Beberapa darinya berakal dan ada yang tidak berakal. Unsur tidak berakal termasuk di antaranya: kuda, kerbau, dan hewan-hewan yang dimanfaatkan untuk melayani dan memenuhi kebutuhan manusia. Kategori yang berakal terbagi menjadi dua bagian, Tuhan dan manusia.

Poin yang terpenting untuk mengobati perilaku Covidiot adalah unsur yang terakhir. Tersebab, kontribusi terbesar terhadap kehidupan manusia dilakukan oleh manusia itu sendiri. Apalagi ketika manusia dihadapkan dengan bencana yang tidak pandang usia untuk menjadi korban. Tentunya, pemerintah setempat atau instansi pemerintah yang berada di luar negeri juga memiliki andil menyelesaikan persoalan ini. Karena bagaimana pun mereka masuk ke unsur kedua.

Meskipun sekarang telah ditetapkan Adaptasi Kebiasaan Baru (AKB) atau yang lebih dikenal dengan kenormalan baru, grafik korban terinfeksi masih terus meningkat. Sejatinya, himbauan dari pemerintah saja tidak cukup untuk menghentikan wabah ini. Perlu adanya langkah konkrit dan cerdas agar tidak menjadi wacana belaka. Seperti informasi satu pintu, ketegasan peemrintah, kontrol yang berkala, memanfaatkan fasilitas negara untuk ruang isolasi dan pemberian logistik yang tepat sasaran serta cepat. Tentu langkah ini juga cukup efektif untuk menguarangi pola pikir masyarakat yang Covidiot.

Kita pernah melihat ekspresi Pak Jokowi yang murka kepada para pembantunya saat rapat kebinet tertutup. Kerja yang lambat dan tidak ada progres selama kurang lebih empat bulan ini menjadi titik perhatian Pak Jokowi, agar segera dibenahi. Pastinya segala upaya yang dicanangkan Pak Jokowi tidak akan pernah terealisasi, jika para pembantunya dan seluruh instansi negara yang terkait tidak memiliki rasa yang sama dalam persoalan ini. Masyarakat yang Covidiot tidak bisa dihimbau melalui verbalisme semata, melainkan tindakan representatif selain itu bisa digalakkan secara berkala.

Jika saja pembantu presiden cepat dan tanggap membaca persoalan ini, setidaknya akan berpengaruh pada pelambatan laju perkembangan Covid-19. Seperti yang saya singgung di atas, bahwa semua kantong instansi negara, baik di luar negeri atau di dalam negeri, seyogianya bertindak cepat dan tidak menganggap ini persoalan yang masih biasa-biasa saja. Peran kita sebagai masyarakat dan mahasiswa, tentu sangat dibutuhkan agar terjalin kerja sama yang progresif untuk menghadapi wabah ini. Terkadang kita hanya melihat bagian luar dari kenirja pemerintah dan sering melupakan peran kita untuk ikut serta membantu menghentikan penyebaran wabah ini. Lantas, sejauh mana kesadaran kita dan peran pemerintah setempat menjaga warganya?

Back to top button