Opini

Kebahagiaan dan Pernikahan Berkualitas

Kabar kandasnya pernikahan Laudya Cynthia Bella menambah daftar deretan panjang kasus perceraian di masyarakat kita hari ini. Dari kalangan bermedia sosial lain misalnya, Vicky Prasetyo. Ia gemar menikah dan cerai hingga memiliki 24 mantan istri.  Atau kasus salah satu pegiat hijrah, Taqy Malik yang menikah dengan Salmafina Sunan selama tiga bulan. Perceraian sering dimaknai sebagai ‘jalan terbaik’ dari sekian problem, konflik ataupun kesulitan dalam berumah tangga. Di dalam syariat Islam, perceraian diperbolehkan, meskipun hal itu dibenci Tuhan. Yang lantas menjadi problematis ialah bahwa perceraian tak melulu solutif. Selain berkesan mencederai sakralnya pernikahan, ia kadang malah membuka banyak permasalahan baru yang lebih buruk dari mempertahankan.

Problem
Menjalin ikatan rumah tangga yang bahagia ialah dambaan setiap insan. Untuk mencapai itu, kedua mempelai mesti mencari solusi-solusi atas permasalahan yang terjadi. Islam menawarkan, jika tidak ditemukan kesepakatan, maka keduanya boleh berpisah membangun kehidupannya masing-masing. Namun, perceraian yang sering dimaknai sebagai perkara solutif tak jarang justru merupa masalah.

Badan Pengadilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung mencatat bahwa pada 2019 terdapat 604.997 kasus permohonan perceraian dari seluruh Tanah Air. Adapun permohonan yang telah dikabulkan oleh pengadilan sebesar 79% atau lebih dari 479.618 pasangan menikah yang resmi bercerai selama 2019.

Alasan utama tingginya angka perceraian bisa jadi ketidakharmonisan dalam hubungan rumah tangga, media sosial dan tak jarang faktor ekonomi. Saat ini, banyak pasangan memiliki cara pandang bahwa pernikahan tak ubahnya pacaran; jika merasa tidak cocok bisa langsung berpisah. Cara pandang yang berkembang adalah bagaimana setiap individu berhak untuk berbahagia. Saat pernikahan dirasa tidak mengarah ke tujuan tersebut, layang perceraian bisa dengan mudah dikirimkan.

Di sisi lain, media sosial turut andil dalam menyita waktu kebersamaan kedua mempelai. Di antara faktor dominan lainnya ialah kesulitan ekonomi dan kesempitan hidup, sebagaimana dilansir di laman resmi PBB.

Aman
Menurut Fitzpatrick dalam Bird & Melville (1994), pernikahan yang berhasil biasanya didefinisikan sebagai stabilitas atau rasa aman dan kepuasan pernikahan. Stabilitas pernikahan diartikan bahwa pasangan dalam suatu pernikahan dapat mempertahankan untuk bersama, daripada berpisah atau bercerai. Sedangkan definisi kepuasan pernikahan ialah bagaimana pasangan yang telah menikah dapat mengevaluasi kualitas pernikahan mereka. Pernikahan merupakan gambaran subjektif yang dirasakan oleh suatu pasangan. Deskripsi subjektif tersebut meliputi apakah setiap mempelai merasa baik, bahagia, ataupun puas dengan pernikahan yang dijalaninya.

Kepuasan dalam pernikahan tidak akan muncul dengan sendirinya, tetapi harus diusahakan dan diciptakan oleh kedua individu tersebut. Di antara faktor yang memengaruhi kepuasan pernikahan ialah kematangan emosi dan usia pada saat memasuki pernikahan. Jika salah satu pasangan atau keduanya tidak memiliki emosi yang matang, konflik tidak akan terselesaikan dengan baik.

Islam sendiri mengajarkan umatnya untuk menata emosi ketika menghadapi konflik yang terjadi di dalam keluarga. Misal, di dalam QS al-Nisa ayat 19 Allah memerintahkan seorang suami untuk bersabar ketika tidak suka terhadap istrinya. Karena barangkali di balik perangai istri yang demikian, Allah menjadikan kebaikan yang berlimpah ruah nantinya. Pun di dalam QS al-Nisa ayat 34, Allah SWT telah menjelaskan cara menjaga emosi bagi seorang suami saat menghadapi konflik dengan istrinya. Ada tiga pendekatan yang diajarkan oleh-Nya. Pertama memberlakukan istri dengan lemah lembut disertai nasihat-nasihat yang menyejukkan. Kedua, ketika nasihat tidak bisa meluluhkannya, maka seorang suami bisa menjauhi tempat tidur istri (pisah ranjang). Ketiga, Islam juga membolehkan memukul istri. Memukul yang dimaksud ialah bagian selain wajah dengan tidak menyakitinya (min ghayri mubarrah). Oleh karena itu, mereka yang memiliki kematangan emosi ketika memasuki pernikahan cenderung lebih mampu mengelola perbedaan yang ada.

Faktor kedua ialah usia yang matang. Dengan usia matang, seseorang dapat berpikir positif dan memiliki kedewasaan berpikir dalam menyelesaikan setiap masalah yang dihadapi. Usia matang juga membantu kedua pasangan dalam mengambil keputusan dan pertimbangan sehat nan logis dalam memutuskan suatu masalah. Jadi, kematangan emosi, usia serta didukung cara berpikir yang baik akan memudahkan setiap pasangan dalam menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi, sehingga akan menciptakan kepuasan dalam pernikahannya.

Kepuasan pernikahan kiranya identik dengan kata “sakinah” dalam Islam. Doa sakinah yang biasa dilantunkan kepada para pengantin merujuk pada kata litaskunû ilaihâ yang artinya “agar kamu merasa tenteram kepadanya.” Lafadz ini terdiri dari huruf lam yang artinya “agar” dan “fi’il mudlari” yang mengandung fa’il antum (kalian). Sehingga, untuk mendapatkan “sakinah” harus melakukan usaha (fi’il) yang dilakukan oleh suami kepada istrinya atau sebaliknya. Walhasil, sakinah adalah “ketenangan jasmani dan ketenangan hati yang dirasakan oleh pasangan suami istri.”

Menurut al-Jurjani, sakinah ialah adanya ketenteraman dalam hati pada saat datangnya sesuatu yang tidak diduga. Ada pula yang menyamakan sakinah dengan kata rahmah dan thuma’ninah, sehingga artinya tenang dan tidak gundah dalam melaksanakan ibadah. Ketenangan jiwa dapat memupuk rasa kasih sayang antara suami dan istri. Agar pernikahan tenang, suami hendaknya mampu meredam kecemasan istri, juga sebaliknya. Istri yang menyejukkan hati suami akan mampu menumbuhkan ketenangan. Ketenangan jiwa dapat menumbuhkan rasa tegar ketika ujian pernikahan datang melanda. Kabar baiknya, pernikahan yang berhasil menggapai sakinah akan dapat menumbuhkan anak-anak yang mampu memberikan nuansa kebahagiaan dalam rumah tangga.

Sakinah
Dikutip dari Prof. Quraish Shihab, beberapa tahapan yang harus dilalui oleh pasangan suami istri sebelum mencapai kehidupan keluarga sakinah yang dihiasi dengan mawaddah dan rahmah ialah bulan madu, pertama. Pada tahap ini keduanya menikmati manisnya sebuah perkawinan. Mereka sangat romantis, penuh cinta dan senda gurau. Kedua, tahap gejolak. Pada tahap ini mulai timbul gejolak setelah berlalunya masa bulan madu. Kejengkelan sudah mulai tumbuh di hati apalagi sudah mulai terlihat sifat-sifat aslinya yang selama ini sengaja ditutup-tutupi untuk menyenangkan pasangannya. Mereka mulai menyadari bahwa perkawinan ternyata bukan sekadar romantisme, tetapi ada kenyataan-kenyataan baru yang boleh jadi tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Pada tahap ini, sebuah perkawinan akan terancam gagal dan masing-masing pihak biasanya merasa menyesal karena ia memilih ia sebagai pasangan hidupnya. Namun, kesabaran dan tolerensi akan menghantarkannya pada tahap ketiga.

Ketiga, tahap perundingan dan negosiasi. Tahap ini lahir jika masing-masing pihak masih merasa saling membutuhkan. Mereka sudah mulai mengakui kelebihan dan kekurangan masing-masing.

Keempat, tahap penyesuaian. Masing-masing pasangan sudah mulai menunjukkan sifat asli sekaligus kebutuhan yang disertai perhatian kepada pasangan. Keduanya akan saling menunjukkan sikap penghargaan. Mereka juga merasakan kembali nikmatnya menyatu bersama kekasih serta berkorban dan mengalah demi cinta.

Kelima, tahap peningkatan kualitas kasih sayang. Pada tahap ini masing-masing pasangan sudah menyadari sepenuhnya tanggung jawab yang didasarkan pada pengalaman, bukan teori. Keduanya menjadi teman terbaik dalam bercengkerama, berdiskusi serta berbagai pengalaman.

Terakhir, tahap kemantapan. Pada tahap ini, setiap pasangan merasakan dan menghayati cinta kasih sebagai realitas yang menetap, sehingga sehebat apapun guncangan yang mendera mereka tidak akan dapat menggoyahkan rumah tangganya. Memang riak-riak kecil masih akan tetap ada namun itu akan menghanyutkan. Pada tahap ini mereka benar-benar merasakan cinta sejati.

Wabakdu, menggapai sakinah memang tidak mudah. Suami dan istri harus belajar saling mengalah, setia dan memahami. Butuh kesabaran yang selalu ditambahkan. Jadi, jangan terburu-buru menikah hanya karena ikut tren nikah muda, baper dengan tayangan pernikahan yang romantis dan sebagainya. Menikahlah bila memang sudah memiliki tanggung jawab dalam segala hal. Karena kegagalan membina rumah tangga hanya akan menjadi pelengkap hitungan dalam jumlah perceraian.

Back to top button