Meneladani Spirit Sosial Kurban

Islam selalu menyisipkan nilai-nilai sosial pada amaliah dan ritus umat manusia, tak terkecuali pada Hari Raya Idul Adha. Salah satunya ialah spirit sosial melalui ritual berkurban di bulan Idul Adha. Yang mana, makna sederhana berkurban ialah memberikan sesuatu yang dimiliki dan tidak dibutuhkan kepada seseorang yang tidak punya dan benar-benar membutuhkannya. Adapun yang dimaksud (berkurban) di sini ialah menyembelih hewan kurban bagi yang mampu, lantas membagikan dagingnya kepada orang-orang yang kurang mampu. Nilai sosial yang terkandung dalam ritual hari Id ini ialah rasa kasih sayang, rasa saling peduli, berbagi, menebar ketulusan dan memupuk sikap dermawan.
Allah menjadikan kurban sebagai syiar agama-Nya dimulai sejak masa Nabi Ibrahim. Yaitu manakala Nabi Ibrahim menyembelih putranya tersayangnya; Nabi Ismail berdasarkan perintah Allah yang hadir di mimpinya. Tidak dapat kita bayangkan betapa goncangnya jiwa Nabi Ibrahim ketika menerima wahyu tersebut. Ia mengalami konflik di dalam batinnya. Siapakah yang lebih disayangi Ismail atau Allah? Ego atau super-ego? Kesenangan, keyakinan atau perjuangan? Kepatuhannya benar-benar diuji di puncak kesempurnaan kenabiannya melalui ujian yang ternyata lebih sulit daripada semua perjuangan sebelumnya. Berkat rahmat Tuhan yang tak terbatas, digantilah Nabi Ismail dengan seekor domba di detik-detik penyembelihannya. Pengurbanan itu terjadi juga karena ketulusan dan kepatuhan Nabi Ismail terhadap titah ayahnya, maka Allah kemudian menjadikan salah satu keturunannya menjadi Nabi yang diutus menjadi rahmat bagi semesta alam, yakni Nabi Muhammad SAW.
Syiar Idul Adha dimulai dengan disunahkannya orang-orang Islam untuk mengumandangkan takbir sejak terbitnya fajar tanggal 9 Dzul Hijah hingga waktu Ashar tanggal 13 Dzul Hijah. Takbir yang dilantunkan diiringi dengan tunduknya kaum muslimin terhadap perintah Allah dan dilengkapi berbagi kebaikan kepada hamba-hamba-Nya melalui ibadah kurban. Ini sebagaimana anjuran firman Allah SWT dalam QS al-Hajj ayat 36-37, “Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebagian dari syi’ar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya, maka sebutlah olehmu nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri (dan telah terikat). Kemudian apabila telah roboh (mati), maka makanlah sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta. Demikianlah Kami telah menundukkan unta-unta itu kepada kamu, mudah-mudahan kamu bersyukur. Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridlaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.
Daging kurban membawa keberkahan bagi banyak pihak. Orang yang mampu bisa memberi makan orang yang biasanya kelaparan. Sehingga, kefakiran yang biasa menghinggapi masyarakat tidak mampu menjadi berkurang pada hari bahagia Idul Adha. Inilah sekilas yang diajarkan oleh Allah dalam penggalan ayat “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.” Meski pemberian daging tersebut bersifat materi, namun dibungkus dalam nuansa keimanan yang mengharapkan ganjaran akhirat. Ketika kita memotong hewan kurban, aspek ritualnya adalah mendekatkan diri kepada Allah. Itulah sebabnya ibadah ini disebut kurban yang berasal dari kata qaraba-qurban yang secara harfiah berarti dekat. Oleh karena itu Tuhan menegaskan dalam firman-Nya, bahwa bukan daging dan darahnya yang sampai kepada Allah, akan tetapi keikhlasan hati dan ketakwaan yang ada di dalam dada itulah yang diterima oleh Allah.
Di lain ayat, dalam QS al-Hajj ayat 67, para ulama menafsirkan kata mansakan (syariat) dalam ayat “Bagi tiap-tiap umat, telah Kami tetapkan syariat tertentu yang mereka lakukan,” yaitu dengan dzabh (berkurban), meskipun kata mansak di sana umum meliputi segala bentuk ibadah. Tapi, menyembelih hewan kurban pada Hari Raya Idul Adha lebih menggiurkan bagi orang-orang yang bertakwa untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Oleh karena itu, Islam mengajak umatnya untuk berkurban, karena kurban memiliki manfaat tersendiri. Di antaranya ialah hewan kurban menjadi saksi bagi orang tersebut di hari kiamat kelak. Ini sebagaimana sabda Nabi SAW “Tidak ada suatu amalan dari anak cucu Adam ketika hari Raya Idul Adha yang lebih dicintai Allah melebihi dari mengucurkan darah (menyembelih hewan qurban), sesungguhnya pada hari kiamat nanti, hewan-hewan tersebut akan datang lengkap dengan tanduk-tanduknya, kuku-kukunya, dan bulu-bulunya. Sesungguhnya darahnya akan sampai kepada Allah (sebagai qurban) dimanapun hewan itu disembelih sebelum darahnya sampai ke tanah, maka ikhlaskanlah menyembelihnya.” (HR Ibn Majah dan Tirmidzi).
Hikmah tersembunyi yang bisa diambil dari datangnya Idul Adha ini barangkai ialah mengingat datangnya hari kematian kita. Itu tersirat dari anjuran agar saat hewan kurban disembelih, disunahkan pula bagi yang berkurban untuk menyaksikannya. Sebagaimana yang termaktub dalam Hadits Nabi “Wahai Fatimah, berdirilah dan saksikan hewan sembelihanmu. Sesungguhnya kamu diampuni pada saat awal tetesan darah itu dari dosa-dosa yang kamu lakukan.
Hal ini dimaksudkan agar orang Islam mengambil ibrah tatkala menyaksikan terputusnya nyawa dari raga hewan ternak yang kita kurbankan. Bahwa kesempatan hidup yang singkat itu mulia, sudah seyogianya manusia bisa memanfaatkannya untuk mendekatkan diri kepada Allah. Ini sebagaimana titah Allah dalam QS Maryam ayat 76, “Dan amal-amal saleh yang kekal itu lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu dan lebih baik kesudahannya.”
Tak hanya orang dewasa, Idul Adha juga bisa menjadi pelajaran bagi anak-anak kecil dan para remaja. Ini manakala meraka diajarkan untuk berhemat dan tidak menghambur-hamburkan uang dalam membeli sesuatu yang tidak bermanfaat. Para orang tua juga dituntut agar menjaga anak-anaknya supaya tidak menjadi anak jalanan layaknya binatang-binatang yang tersesat. Anak jalanan yang dimaksud saat ini ialah anak yang tidak memiliki akhlak mulia, terjebak dalam pergaulan yang keliru dan suka berfoya-foya. Sebaliknya, para orang tua dituntut agar selalu mendidik, mengawal dan menemani mereka dalam kehidupan sehari-harinya, serta senantiasa memberi nasihat perihal kehidupan sosial dan kehidupan beragama yang benar.
Walhasil, Hari Raya Idul Adha merupakan kesempatan yang diberikan Allah SWT kepada hamba-Nya untuk eksklusif beribadah sambil peduli kepada sesamanya. Jadi, mari memanfaatkan kesempatan ini, agar kita lebih layak menjadi manusia.