Opini

Seberapa Dekat Budaya Patriarki dengan KDRT?

Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) merupakan penyakit masyarakat yang seakan tidak dapat disembuhkan. Kasus KDRT menjadi bahan perbincangan baik dalam lingkup tetangga maupun sorotan media massa. Malangnya, sebagian besar korbannya ialah perempuan (sekitar 71% kasus). Dalam Catatan Tahunan Komnas terlapor pada 2018 disebutkan ada 406.178 kasus kekerasan terhadap perempuan. Angka tersebut lebih besar dari tahun sebelumnya (348.446 kasus). Kasus yang ditemukan berupa kekerasan fisik, psikis, seksual dan penelantaran ekonomi.

Penyebab tingginya angka KDRT di Indonesia begitu kompleks. Salah satu yang cukup dominan adalah budaya patriarki. Seperti yang kita tahu, budaya ini masih langgeng dan mapan di tengah arus pergerakan kesetaraan gender yang begitu-begitu saja. Nampaknya, masyarakat kita belum dapat membaca bagaimana dampak budaya patriarki jika terus terlestarikan. Karenanya, menjadi penting kiranya bagi kita untuk memahami budaya patriarki dan keterkaitannya dengan KDRT.

Dalam Pengantar Gender dan Feminisme karya Alfan Rokhmansyah (2013), patriarki didefinisikan sebagai struktur yang menempatkan laki-laki sebagai penguasa tunggal, sentral dan mutlak. Perempuan ada dalam posisi subordinat di bawah kuasa laki-laki. Pada praktiknya, struktur tersebut menimbulkan kesenjangan dan ketidakadilan gender. Ia memberi ruang luas pada laki-laki untuk mendominasi ranah publik seperti politik, sosial dan ekonomi di satu sisi dan mempersempit ruang gerak serta mengurangi hak perempuan, di sisi lain. Singkatnya, patriartki menempatkan mereka sebagai masyarakat kelas dua.

Sikap dan cara pikir patriarkis yang terlihat kental di masyarakat sebenarnya telah terbentuk di keluarga sebagai masyarakat mikro. Kesenjangan yang kerap ter-lakukan di lingkup keluarga secara tidak sadar menjadi pemicu kuat motif-motif KDRT. Kesenjangan gender dalam keluarga memang belum bisa menjawab mengapa sebuah kekerasan terjadi, namun ketimpangan cara pandang dalam melihat jenis kelamin sedikit banyak memengaruhi tindakan. Keyakinan dogmatis peran dan kedudukan laki-laki menjadi pengesahan budaya lama yang menguasai alam bawah sadar kedigdayaan lelaki di tahta keluarga dan peran sosialnya.

Pertama, kondisi sosio-kultural yang cenderung diskriminatif terhadap perempuan. Masyarakat umum memandang bahwa laki-laki mempunyai otoritas mutlak sebagai kepala rumah tangga. Ia juga memiliki kontrol penuh serta kebebasan dalam memerlakukan istrinya. Di samping itu, perempuan selalu dituntut menjadi seorang istri yang patuh terhadap segala perintahnya (baik-buruk). Secara tidak langsung, laki-laki akan memiliki privilese itu begitu saja. Padahal jelas, sebagaimana kita tahu, tidak semua laki-laki cakap untuk menggunakan otoritasnya dalam rumah tangga.

Keadaan ini membuka ruang bagi suami untuk berlaku sewenang-wenang terhadap istri, tak terkecuali kekerasan. Penamparan, pemukulan, dan berbagai macam perlakuan kekerasan fisik lainnya, jarang membuat suami mendapat cap sebagai pihak yang bersalah. Belum lagi jika berbicara mengenai kekerasan rumah tangga dalam arti yang lebih luas seperti kekerasan verbal, pemaksaan hubungan seksual atau penelantaran ekonomi. Permasalahan ini akan bertambah parah ketika bertemu dengan berbagai permasalahan keluarga dan sosial seperti perselingkuhan, pengangguran dan kemiskinan.

Menghadapi kenyataan seperti di atas, masyarakat pedesaan masih khususnya cenderung memilih cara-cara kekeluargaan dalam menyelesaikan konflik semacam KDRT. Dalam banyak hal, mereka lebih nyaman saat bisa menyelesaikan konflik di luar meja pengadilan. Selain membawa efek positif, pilihan mereka justru mempersempit data KDRT yang dimiliki Komnas Perempuan terbatas pada kasus terlapor saja. Kasus tidak terlapor yang entah terselesaikan atau tidak semakin menyulitkan pihak perempuan terutama, sebab opsi perceraian meskipun legal masih dianggap tabu. Meski dalam banyak kesulitan, pernikahan pada akhirnya kudu dipertahankan dengan dalih menjaga nama baik keluarga. Kesejahteraan keluarga [ada akhirnya ialah harga yang mesti dipertaruhkan.

Kondisi di atas diperparah oleh fakta bahwa perempuan era sekarang masih memerlukan ‘usaha lebih’ dalam menjangkau dunia pendidikan, politik, ekonomi dan sebagainya dibanding laki-laki. Alih-alih berkompetisi dengan laki-laki, justru perempuan terkungkung dengan stereotip menjadi tukang masak dan beranak. Hal itu membuat perempuan tak cukup memiliki kekuatan dan suara untuk melawan arus. Kenyataan seperti ini merupakan pelemahan sistemik terhadap perempuan yang membuat mereka selalu kalah dari laki-laki tak terkecuali dalam rumah tangga.

Kedua, pemahaman agama yang tekstual. Tidak dapat dimungkiri bahwa masih banyak teks dan narasi beragama yang bias gender. Doktrin-doktrin satu arah tersebut biasanya lahir dari pembacaan teks-teks agama dari luaran dan terjemahan saja. Misalnya, potongan ayat “Al-rijâlû qawwâmûna ‘ala al-nisaa…” (QS al-Nisa: 34) dipahami sebagai bukti superioritas laki-laki terhadap perempuan. Implikasi tekstual yang paling umum dari pemahaman ayat ini adalah bahwa perempuan tak boleh menjadi pemimpin dalam ranah apapun. Laki-laki dianggap mutlak lebih kuat dari mereka.

Kemudian, hal di atas diperparah dengan pemahaman Hadits: “Tidak sekali-kali aku tinggalkan suatu fitnah yang paling membahayakan diri kalian, selain fitnah perempuan.” (HR Bukhari No. 4808) yang sering diartikan bahwa perempuan adalah sumber masalah. Keberadaannya di ranah publik dianggap menjadi sumber maksiat dan dosa. Tubuh dan suaranya adalah aurat yang harus dijauhkan dari tempat-tempat umum. Perempuan harus diam di rumah mengurus anak.

Selain doktrin-doktrin tekstual mengenai nilai laki-laki dan perempuan, banyak juga literatur Islam klasik yang membahas permasalahan rumah tangga secara diskriminatif. Ini menjadi berbahaya jika tidak dibaca dengan kondisi termutakhir masyarakat kita. Literatur-literatur tersebut masih luas digunakan dalam kurikulum instansi pendidikan keislaman seperti pesantren. Perhatian terhadap hal-hal yang terlihat kecil begini mutlak diperlukan mengingat budaya pesantren cenderung mengeramatkan kitab-kitab klasik dan mengamalkannya tanpa kritik.

Sebagai contoh, sebut saja kitab Syarh Uqûd al-Lujayn fî Bayân Huqûq al-Zawjayn. KH. Husein Muhammad dalam bukunya, Islam Tradisional yang Terus Bergerak mengatakan bahwa syarah tersebut jika tidak ditelaah secara komprehensif akan memunculkan wacana-wacana diskriminatif terhadap perempuan bahkan melegalkan tindak kekerasan. Seperti, seorang istri tidak boleh menolak untuk menyerahkan tubuhnya kepada suami kapan pun ia menghendakinya (baik dalam keadaan sibuk atau tidak) jika ia menolak ia akan dilaknat hingga pagi. Juga cerita-cerita yang mengisahkan bahwa suami boleh memukul istri jika menolak mempercantik diri ketika ia membutuhkan, menolak diajak tidur dan keluar rumah tanpa izin.

Teks tersebut mesti dibaca secara kritis supaya pemaknaannya selalu kontekstual dan bukan malah mengungkung perempuan dalam ‘kuasa kitab kuning’. Apalagi bagi kalangan masyarakat awam dan pedesaan, pengampu pengajian teks senada mesti memahmi betul posisi teks, masalah dan pemaknaan teks. Dengan demikian, menjadi disayangkan bahwa tidak sedikit lulusan pesantren yang notabene harus meluruskan makna dari teks-teks otoritatif justru ikut terjerembab dalam makna dogmatis-tradisional.

Di akhir tulisan ini, kita perlu mengakui bahwa secara sadar atau tidak, langsung atau tidak, pemahaman agama secara tekstualis dan kondisi sosio-kultural yang rumit rawan menjadi pendukung aktif KDRT di Indonesia. Untuk menanggulangi dua faktor mbongkot ini, mari kita memulai dengan mengubah cara pandang terhadap diri dan lingkungan kecil tempat kita bersosialisasi.

Back to top button
Verified by MonsterInsights