Opini

Bagaimana Selayaknya Fikih Dipandang

Di kalangan masyarakat muslim, posisi fikih sering disejajarkan dengan syariat. Perlahan namun pasti, sikap seperti ini akan mengubah identitas fikih sebagai produk keilmuan yang fleksibel menjadi kental dengan sakralitas dan resisten terhadap pandangan-pandangan baru. Perubahan makna ajaran yang tertuang di dalam fikih kemudian rawan dianggap sebagai pengubahan syariat itu sendiri.

Dewasa ini, hegemoni corak pemikiran tekstual dan konservatif menjadikan kitab-kitab fikih klasik turut dianggap sebagai kitab agama, bukan produk keagamaan. Padahal, predikat tersebut hanya dimiliki oleh teks-teks agama yang bersifat transendental dan universal seperti al-Quran dan Hadits. Pada kondisi seperti ini, menjadi tidak heran jika progresivitas fikih berjalan melambat, stagnan dan terkesan kaku sehingga kurang mampu menjawab persoalan-persoalan kekinian. Bagaimana selayaknya kita memandang fikih?

Memosisikan fikih sejajar dengan syariat adalah sikap keliru. Oleh karena itu, perlu ditinjau kembali muatan dan muasal keberadaan keduanya. Yang menjadi perbedaan mendasar bagi keduanya ialah bahwa syariah berada di posisi yang lebih umum dan menyeluruh ketimbang fikih. Syariah mencakup tiga hukum Islam yang merupa dalam kaidah-kaidah akidah, akhlak dan aturan terkait perbuatan manusia dewasa dan mukalaf (syariat). Sementara di sisi lain, fikih hanya menggawangi perbuatan manusia dewasa dan mukalaf. Pengelompokan ini tertuang di dalam kitab-kitab fikih seperti al-Wajîz karya Syekh Wahbah al-Zuhaili. Menurutnya, fikih adalah suatu pengetahuan tentang hukum-hukum syariat yang diperoleh dari dalil-dalil yang terperinci.

Jika berbicara mengenai sumber, keduanya lahir dari asal yang berbeda. Syariat sebagai ajaran-ajaran Ilahi bersumber dari nas qath’iyy al-dilâlah yang bermakna pasti; hanya mengandung arti tunggal serta tidak mengandung kemungkinan penafsiran. Jenis hukum demikian dapat kita temui pada perintah kewajiban salat yang dipahami dari ayat aqîmu al-shalâh. Sementara itu, fikih bersumber dari nas yang bersifat zan (zhanni: membuka peluang adanya penafsiran). Ini bisa kita temui dalam hukum bacaan pada gerakan salat, misalnya.

Dari sana, kita bisa mengerti bahwa fikih hanyalah semacam hasil upaya manusia dalam menafsirkan maksud Tuhan yang berkaitan dengan perbuatan seorang mukalaf melalui nas yang bersifat multitafsir. Fikih hanya sebagai produk pemikiran manusia. Maka, sebagai hasil dari pemikiran manusia, fikih tidak semestinya dikultuskan sebab ia berpotensi keliru. Lantas, bagaimana selayaknya kita memosisikan kitab-kitab fikih klasik?

Saya teringat dengan gagasan besar yang diungkapkan oleh Kiai Sahal Mahfuzh dalam bingkai pemikiran fikih sosialnya. Melihat kondisi fikih belakangan ini yang kurang mengakomodir realitas sosial, beliau berusaha membumikan konsep fikih dalam tataran realitas melalui pendekatan komparasi.

Kiai Jamal Mamur Asmani dalam bukunya, Elaborasi Pemikiran Kiai Sahal menulis beberapa gagasan menarik Kiai Sahal yang bisa dijadikan contoh. Misalnya, kontekstualisasi teks-teks agama. Hal ini, tak lain bertujuan menghadirkan Islam yang relevan dengan waktu dan tempat terkini. Kiai Sahal adalah kiai terdepan yang mengawal wacana Badan Kesejahteraan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN).  Program pembatasan keturunan ini cukup menuai pro-kontra di berbagai kalangan lantaran ada riwayat yang menceritakan bahwa Nabi Muhammad SAW justru menganjurkan memperbanyak keturunan,  ditambah prinsip ‘banyak anak banyak rezeki’.

Menanggapi sabda terkait, Kiai Sahal beranggapan bahwa pada masa awal Islam Rasulullah SAW memang menganjurkan memperbanyak keturunan. Namun, setelah jumlah umat semakin besar seperti sekarang, yang perlu diperhatikan adalah tuntutan dalam mengembangkan kualitas dalam rangka mengangkat harkat dan derajat setiap individu dalam keluarga, bukan hanya perihal kependudukan.

Dalam memperkuat arugumentasinya, Kiai Jamal Mamur Asmani menyebutkan bahwa Kiai Sahal berpijak pada kerangka pemikiran ulama-ulama klasik seperti Imam Ghazali dan Ibnu Hajar. Kedua ulama klasik tersebut memperbolehkan pelaksanaan KB dengan alasan untuk menghindari kesulitan ekonomi atau kesulitan hidup. Polemik yang muncul bisa diimbangi dengan pentingnya meningkatkan kualitas dalam mendidik anak.

Sampai di sini, saya kira cukup jelas bagaimana Kiai Sahal memosisikan pemikiran fikih klasik. Beliau menjadikan pemikiran fikih klasik sebagai pijakan alternatif untuk menelurkan hukum-hukum yang sesuai dengan ruang dan waktu.

Lantas, di mana letak kontekstualisasinya? Kita bisa melihat kepekaan Kiai Sahal dalam mengamati realitas masyarakat yang masih dililit problem kemiskinan, kesehatan dan pendidikan. Selain tetap melestarikan kerangka pemikiran fikih klasik, beliau juga menggunakan pendekatan ilmu-ilmu sosial humaniora untuk menangkap fenomena sosial yang dinamis. Di sinilah alasan Kiai Sahal membolehkan KB; supaya setiap keluarga muslim mampu meningkatkan kualitas pendidikan dan kesehatan anak untuk kemudian diproyeksikan menjadi kader-kader apik nan cemerlang, berguna bagi agama dan bangsa.

Kontekstualisasi fikih Kiai Sahal menjadi pelajaran berharga bagi para pembelajar hukum Islam bagaimana selayaknya memandang dan memperlakukan teks-teks agama. Upaya yang ditawarkan Kiai Sahal sebelum melakukan kontekstualisasi adalah perlunya seorang pembelajar ilmu syariah menyadari pentingnya membuka diri terhadap berbagai disiplin ilmu di samping melatih diri untuk membaca perkembangan sosial.

Pada akhirnya, progresivitas fikih bergantung pada pemaknaan dan penafsiran individu terhadap fikih itu sendiri. Semakin luas wawasan seseorang, pandangan-pandangan fikih moderat sangat mungkin diejawantahkan.

Back to top button