Membaca Arah Keberpihakan Pendidikan di Indonesia

Ada yang berbeda dari arah orientasi pendidikan di Indonesia. Ketika pendidikan mulai tak memiliki fungsi untuk pembebasan; pendidikan mulai tidak demokratis, pendidikan hanya menjadi ajang untuk kerja-kerja komersial dan bisnis. Alih-alih melahirkan generasi bermoral, religius dan intelek, justru pendidikan hari ini di mata saya hendak mencetak generasi ‘mesin’ yang hanya menghamba pada pekerjaan dan kesuksesan materi semata.
Para politisi, presiden, ahli pendidikan, hingga Menteri Pendidikan, semua berbicara panjang lebar, menaruh perhatian dan bersimpati besar atas pendidikan. Tetapi persoalan pendidikan tak kunjung selesai; sekolah-sekolah semakin mahal, pengangguran semakin banyak, degradasi moral semakin merebak. Keadaan dimana pendidikan hanya bersifat simbolis dan pragmatis; uang lebih berharga ketimbang ilmu, orang kaya lebih dihormati dibanding orang yang berilmu tapi miskin.
Persoalan ini terkait salah orientasi dan arah keberpihakan pendidikan di Indonesia. Semua fenomena di atas diakibatkan oleh fakta, bahwa telah terjadi perselingkuhan antara pendidikan dan pasar. Perselingkuhan yang terejawantah dalam sistem pendidikan neoliberal—atau pedagogi neoliberal dalam perspektif Henry Giroux—yang merasuki struktur, sistem, nilai-nilai hingga kultur pendidikan di Indonesia. Dari sini menjadi penting bagi kita untuk melihat lebih jauh akar permasalahan dalam pendidikan kita tersebut.
POP dan Neoliberalisme
Membaca arah pendidikan Indonesia, menurut saya tidak bisa dilepas dari ihwal program-program yang dicanangkan setiap pemangku pemerintahan. Hal itu bisa kita amati dari era Presiden Jokowi dalam Nawa Cita kepemimpinannya. Sebagai seorang Teknokrat dan Developmentalis, ia banyak mengedepankan proyek pembangunan infrastruktur dan pengembangan ekonomi-neoliberalisme. Dalam dunia pendidikan, saya rasa Jokowi juga berangkat dari semangat tersebut, misalnya dalam Kartu Indonesia Pintar (KIP), penyaluran bantuan beasiswa dan bantuan operasi sekolah (BOS) yang menarasikan pendidikan untuk membantu kebutuhan industrial dan ekonomi Indonesia.
Semangat tersebut kemudian diejawantahkan Nadiem Makarim serta Kemendikbud era Presiden Jokowi dalam program “Merdeka Belajar”. Secara esensial, program tersebut ditujukan untuk menyiapkan dunia pendidikan dan generasi muda Indonesia agar siap menghadapi era revolusi industri 4.0. Sejak awal dipilihnya Mas Mentri lulusan Harvard dan mantan CEO Gojek tersebut, sudah bisa dibaca bahwa pergerakannya kelak akan menunjang proyek developmentalisme Jokowi dalam sektor pendidikan.
Arah gerak Kemendikbud saya rasa semakin terbaca setelah munculnya Program Organisasi Penggerak (POP) yang ramai dibicarakan akhir-akhir ini. Tidak lama setelah launching, program tersebut mendapat sorotan dari banyak pihak. Program yang disinyalir akan menghabiskan APBN negara sebanyak 400 Miliyar tersebut dicurigai banyak pihak setelah lolosnya dua perusahaan swasta, Tanoto Foundation dan Putera Sampoerna Foundation, karena terindikasi ‘ditunggangi’ kepentingan lain.
Tak lama setelahnya, tiga organisasi yang mewakili ormas besar di Indonesia menyatakan mundur dari POP, yaitu Lembaga Pendidikan Ma’arif Nahdlatul Ulama (LP Ma’arif NU), Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah) dan Persatuan Guru Republik Indonesia; PGRI. Hal tersebut didasari ketidakjelasan dalam proses seleksi yang dinilai tak sejalan dengan semangat perjuangan pendidikan. Ketiga ormas tersebut juga menilai Mas Menteri terkesan ‘buang-buang’ anggaran dalam program ini, padahal seharusnya anggaran tersebut bisa dialokasikan pada keperluan lain di bidang pendidikan yang bersifat lebih mendesak.
Selain mundurnya NU, Muhammadiyah dan PGRI, Kemendikbud juga mendapat “teguran” dari DPR maupun MPR. Bahkan beberapa ketua partai politik juga turut memberikan komentar pedas. Kontroversi terus bergulir, bahkan hingga terdengar suara-suara untuk menurunkan Mas Menteri dari kursi Menteri Pendidikan. Melihat fenomena di atas, dugaan saya semakin kuat, bahwa Kemendikbud tengah terjerat kepentingan neoliberalisme. Apalagi memang ada beberapa pihak yang ingin menundukkan dunia pendidikan Indonesia di bawah kepentingan pasar dan kapitalisme.
Oleh karenanya, saya sepakat dan terus mendukung NU dan Muhammadiyah untuk bersikap kritis serta berhati-hati terhadap ajakan POP Kemendikbud ini. Meski pada akhirnya, NU memang memilih akan ikut POP dengan beberapa syarat dan evaluasi dalam program POP tersebut.
Pesantren dan Pedagogi Kritis
Dari sini, menjadi penting menurut saya untuk senantiasa kritis terhadap berbagai problem pendidikan di Indonesia. Perhatian kritis tersebut tidak hanya pada problem-problem parsial pendidikan; sistem, kurikulum dan sebagainya, tetapi kita juga perlu melek terhadap problem struktural pendidikan yang menyangkut relasi kuasa dan kepentingan di dalamnya. Jika sudah terlihat bahwa arah keberpihakan pendidikan di Indonesia mengarah pada neoliberalisme, maka sudah sepatutnya kita mulai membicarakan perubahan sebagai jalan keluar. Meskipun terlihat sulit, sekurang-kurangnya wacana ini bisa dimulai dari kesadaran kritis kita sebagai warga Indonesia.
Meskipun saya tengah skeptis dan pesimis terhadap wacana reformasi pendidikan yang disuarakan pemerintah, saya masih percaya bahwa wacana itu masih diperjuangkan pihak lain, yang lebih realistis dan terbukti trah perjuangannya di Indonesia. Pihak lain tersebut ialah pesantren; tiang pendidikan, khususnya pendidikan agama di Indonesia. Pesantren sudah sejak dulu melakukan reformasi pendidikan dan terbukti bisa melahirkan generasi-generasi cemerlang pejuang NKRI. Dengan kata lain, pemerintah dan pihak Kemendikbud harusnya mengaca dan berkonsolidasi pada pendidikan pesantren. Atau, semoga orang-orang pesantren kelak bisa mengisi kursi Kemendikbud, agar problem strukturalnya bisa ditanggulangi.
Pesantren menawarkan suatu pengajaran dan pendidikan emansipatoris—meminjam bahasa Gus dhofir Zuhri— yang mengajarkan toleransi, kesederhanaan, membebaskan manusia dan memanusiakan manusia. Pesantren tidak memandang kelas sosial (kaya-miskin), dikotomi pelajaran, maupun pertentangan agama dan negara. Pesantren juga terbukti sangat menekankan moralitas dalam pendidikan (pendidikan akhlak dan tasawuf, adab antara santri dan kiai, hingga penjagaan dari berbagai sikap amoral). Jika salah satu problem terbesar Indonesia adalah radikalisme agama, maka pesantren berada di garda depan untuk mengatasinya—dengan bukti bahwa sangat jarang ditemui lulusan pesantren yang radikal dan ekstremis. Tapi ini untuk pesantren-pesantren yang memang tidak berhaluan ekstrem atau radikal.
Selain pesantren sebagai penopang, menurut saya sistem pendidikan di Indonesia juga membutuhkan elaborasi pemikiran Pedagogi Kritis Henry Giroux, salah satu pakar pendidikan Amerika. Dengan mengejawantahkan Pedagogi Kritis, saya berharap pendidikan di Indonesia bisa melampaui krisis neoliberalisme. Dasar Pedagogi Kritis bertumpu pada prinsip bahwa pendidikan sebenarnya bertujuan untuk pembebasan dan penyadaran. Yakni ketika dalam sistem neoliberal, pendidikan lebih bersifat otoriter yang nantinya akan membunuh kebebasan dan menciptakan ketidakpedulian terhadap segala sesuatu yang terjadi. Dimana pendidikan acap terjebak pada birokrasi dan formalisme agama yang membunuh kebebasan dan kreativitas. Sekolah hendak digiring untuk membentuk manusia sesuai dengan kebutuhan perusahaan. Budaya yang disebarkan adalah budaya kepatuhan dan ketakutan. Sehingga para pelajar seolah-olah hanya menjadi robot yang harus siap diperintah untuk melakukan sesuatu.
Giroux hendak menentang kecenderungan hal itu, Pedagogi Kritis kemudian menjadi semacam tanggapan kritis atas keadaan tersebut. Pedagogi Kritis mengandaikan dirinya sebagai metode sekaligus praksis dalam sistem pendidikan. Dimana dalam masyarakat demokratis, Pedagogi Kritis hendak membangun kesadaran dan mendorong perubahan sosial secara luas. Pelajar kemudian dididik untuk setidaknya memberdayakan lima karakter dalam dirinya: berpikir kritis, reflektif, berwawasan luas, mampu membuat penilaian moral yang seimbang, serta bertindak dan memperhatikan tanggung jawab sosial. Singkatnya, Pedagogi Kritis ingin membuat manusia-manusia yang merdeka akan diri dan kehidupannya, baik sosial, politik, hingga aspek moral serta intelektualnya.
Oleh sebab itu, sistem pendidikan pesantren dan Pedagogi Kritis Henry Giroux menurut saya bisa diterapkan dalam wacana reformasi pendidikan di Indonesia hari ini. Pesantren hendaknya diperkaya dengan sistem Pedagogi Kritis, sehingga bisa menciptakan santri-santri progresif yang melek akan perkembangan ekonomi-politik negerinya, bahkan dunia. Santri sebagai pelajar juga nantinya akan memiliki kesadaran dan kepekaan sosial yang tinggi. Dengan kesadaran sosial dan sifat kritis tersebut, problem struktural yang mewujud dalam sistem neoliberalisme akan hengkang dengan sendirinya. Maka, lahirlah kembali nilai-nilai luhur pendidikan yang membebaskan, emansipatoris, sekaligus bermuara pada hakikat-hakikat transendental ilahi dalam semesta.