Dialektika Literasi; Ikhtiar Bermedia Sosial Secara Benar

Baru-baru ini tulisan editorial bedug.net yang berjudul “Jangan Kotori Jubah Azhar” menuai respon yang cukup ramai. Opini redaktur yang mengangkat tentang polemik agenda kerja sama antara pihak PPMI Mesir sebagai induk organisasi Masisir dengan penyelenggara acara “Amazing Muharam” itu memicu beragam komentar pembaca. Sekalipun pihak PPMI Mesir telah membatalkan dan membuat klarifikasi serta kronologi kegiatan tersebut, bagi saya masih tersisa remahan topik yang menarik untuk tetap diperbincangkan, yaitu perihal kedewasaan, berikut etika beropini. Bahkan, saya sejatinya berharap agar tulisan editorial berikut pro-kontra agenda yang berujung pembatalan itu bisa memantik diskusi lanjutan. Sehingga, ruang media sosial kita nantinya terkesan lebih hidup, logis, kondusif dan argumentatif. Bukan hanya sekadar cuitan, nyinyiran, apalagi komentar banal para netizen yang cenderung tidak berisi, lantaran dibayangi oleh rasa sentimen subjektifitas personal atau golongan.
Tulisan saya kali ini akan berupaya mengajak pembaca agar lebih menghargai kerja literasi. Perbedaan sudut pandang, pola pikir, sampai ranah ideologi pun harus dihadapi dengan cara-cara yang benar dan elegan. Seperti halnya keragaman opini yang tertuang dalam diskusi hangat beberapa bulan lalu, antara Goenawan Mohammad dan beberapa esais atau tokoh Indonesia. GM atau Mas Goen sapaan karib Goenawan Mohammad merupakan tokoh sentral yang memicu tanggapan publik terkait diskursus sains, filsafat, agama dan pandemi. Penulis Catatan Pinggir; salah satu rubrik khusus sajian Majalah Tempo itu, mula-mula bertugas selaku narasumber dalam sebuah webinar yang mengusung tema “Berkhidmat Pada Sains.” Acara yang melibatkan beberapa intelektual dan tenaga ahli medis itu pun sempat diunggah di kanal Youtube Perhimpunan Dokter Umum Indonesia (PDUI). AS. Laksana atau Mas Sulak, ia biasa dipanggil lalu menanggapi secara ilmiah apa yang disampaikan Mas Goen di forum tersebut sembari mengutip tulisan GM beberapa hari sebelumnya.
Sebagaimana dipaparkan Alois Wisnuhardana, sosok yang menghimpun perdebatan opini antara GM beserta seteru ideologinya mengatakan bahwa wacana media sosial itu lantas menimbulkan polemik pemikiran serius. Puluhan orang lintas disiplin keilmuan urun rembug menyampaikan pandangan dan gagasannya tentang sains, agama dan filsafat. Alois mengumpulkan berbagai tanggapan dari pihak yang muncul terkait topik itu di lini masa Facebook. Ia kemudian menyatukannya dalam dokumen tunggal dengan format PDF. Sampai saat ini Alois masih menerima kiriman tautan baru dari siapapun penulis atau pemikir yang berminat untuk masuk dalam gelanggang diskusi. Dialektika semacam itu lantas membangkitkan semangat baru dalam bermedia sosial. Sehingga, tercipta iklim medsos yang identik dengan kekayaan khazanah intelektual dan saling menghargai perbedaan sudut pandang. Kedewasaan, etika beropini, berikut kerja literasi yang seperti itulah yang perlu kita apresiasi tinggi dan layak menjadi teladan bersama.
Bila merujuk pada khazanah Islam klasik, sikap toleran dan menghargai opini orang lain sekaligus menanggapinya secara bijak inilah yang menjadi ciri utama keragaman pendapat di kalangan imam madzhab. Mereka terbiasa berbeda pandangan, lalu berdebat aktif dengan tetap mengindahkan etika-etika berdiskusi. Selanjutnya mereka mengabadikan pembelaan terhadap pendapat madzhabnya melalui kerja literasi. Karya-karya ulama terdahulu itulah yang menjadi bukti, bahwa perbedaan pendapat merupakan suatu keniscayaan. Lewat karya mereka kita juga bisa menyaksikan puingan semangat literasi, berikut geliat intelektual di masanya. Mereka berpegang dan berpedoman pada pesan Nabi, bahwa perbedaan di kalangan umat Islam adalah rahmat (ikhtilâfu ummatĂ® rahmah). Tanpa memegang prinsip toleransi atas keragaman pendapat ini, kemungkinannya bisa berujung pada perpecahan hingga pertikaian yang barang tentu sangat tidak kita inginkan. Sehingga, perbedaan cara pandang, pola pikir dan semacamnya bila tidak disikapi dengan elegan bukan lagi akan menjadi rahmat, justru sebaliknya malah berubah menjadi laknat. Wal’iyadzubillah.
Menurut Grand Syekh al-Azhar, Prof. Dr. Ahmad al-Thayib, di antara karekteristik khazanah Islam klasik adalah keragaman madzhab berikut kekayaan perspektif ulama terhadap interpretasi al-Quran dan Hadist yang lantas melahirkan beberapa disiplin keilmuan tertentu. Perbedaan tersebut kemudian membentuk iklim dialektika yang aktif dan kondusif. Pemimpin tertinggi al-Azhar tersebut juga tidak mengingkari realita ekses perbedaan pemahaman yang memunculkan beberapa sekte ataupun golongan yang fanatik dan berideologi takfiri. Lebih lanjut beliau berkomentar, “Kita tidak memungkiri bahwasannya dalam perjalanan sejarah kaum muslimin -dahulu dan sekarang- terkadang diwarnai dengan cobaan berupa kemunculan beberapa poros aliran yang cenderung radikal-ekstremis ketika menyikapi perbedaan pendapat dan madzhab. (Aliran radikal-ekstremis itu tidak segan) sampai mengafirkan dan menghukumi rival ideologisnya dengan status telah keluar (dan menyimpang) dari ajaran agama. Akan tetapi, termasuk kebodohan yang memalukan apabila menyifati penyimpangan aliran radikal-ekstremis itu sebagai ciri utama khazanah turats kaum muslim. Ataupun menyimpulkan (intoleransi pendapat hingga sikap takfiri) sebagai prinsip yang terus berlaku sepanjang sejarah kaum muslim di masa lalu dan sekarang,” Syekh Thayib secara tegas menyampaikan orasi ilmiahnya tersebut di negara Kuwait beberapa tahun silam.
Komentar Syekh Thayib di atas hendaknya bisa menjadi bahan refleksi bagi kita khususnya berkaitan dengan sikap toleran dan ejawantah etika tatkala berbeda pendapat. Secara aktual kita bisa juga menyederhanakan pesan beliau dengan kebijaksanaan dalam menyampaikan argumentasi. Aktifitas ruang media sosial kita saat ini sudah terlalu bising dengan komentar netizen yang cenderung sentimental dan bar-bar ketika menanggapi pihak yang berseberangan. Budaya literasi dan etika beropini tentu harus terus digalakkan agar dialektika ilmiah dapat berjalan, bahkan melalui perantara platform media sosial. Bukan hanya sekadar saling lempar klaim nirargumentasi, sampai memvonis nyinyir atau dungu kepada pihak-pihak yang berlawanan. Seperti saat viralnya status keagamaan jajanan klepon atau pada kasus terbaru saat PPMI hendak menjadi penyokong acara yang digagas panitia yang mayoritas narasumbernya berseberangan dengan institusi al-Azhar.