Opini

China dan Mimpinya Menjadi Kaisar Dunia

Beberapa waktu lalu, saya telah menulis sebuah catatan di bedug.net yang berjudul “OBOR dan Delusi Khilafah di Indonesia”. Di situ, saya membahas mengenai sebab dan akibat dari proyek bernama One Belt One Road (OBOR) yang digagas oleh China. Tentunya, saya menyelipkan analisa dan pesan kewaspadaan, mengingat potensi lahirnya neo-kolonialisme pada proyek tersebut.

Terlepas dari hal tersebut, keberadaan pandemi Covid-19 yang berhasil mengobrak-abrik kehidupan manusia telah membuka mata saya mengenai kekuatan sebuah negara. Negara-negara penguasa industri dan perdagangan seperti Jerman, Amerika Serikat, Singapura, Jepang dan Korea telah jatuh ke jurang resesi dengan jumlah korban nyawa yang tak sedikit. Meski sudah ada negara seperti Selandia Baru yang bisa selamat, tetapi tetap butuh energi ekstra untuk pemulihan ekonominya.

Di antara semua itu, terdapat sebuah negara yang tetap bertahan dalam carut-marutnya kondisi saat ini, yaitu negara China alias Tiongkok. Negara Tirai Bambu ini telah berhasil selamat dari gelombang ketiga (third wives) pandemi dan mulai bangkit kembali ekonominya meski Cuma 3 persen (CNBC Indonesia). Bahkan, negara tersebut masih sempat berpolemik dengan negeri Paman Sam mengenai status Hong Kong dan Laut China Selatan yang sempat memicu kekhawatiran akan terjadi perang dunia ketiga. Melihat fenomena negara Tiongkok itu, saya akan mencoba sedikit mengulas negara yang menjadi “Macan Asia” tersebut.

China dan Jalan Panjang Revolusi
Tidak bisa dimungkiri, China memiliki sejarah yang panjang dalam perjalanannya menuju negara adidaya. Pada masa perang dunia kedua, di bawah pemerintahan Chiang Kai Sek, negeri ini mencoba untuk mendapat keuntungan perang dengan beraliansi ke Blok Sekutu yang terdiri dari Inggris, Prancis, Kanada dan Amerika Serikat. Sayangnya, belum sempat menikmati keuntungan, justru terjadi pemberontakan oleh Mao Zedong dan People Liberation Army (PLA) yang berhasil menyeret Tiongkok menjadi negara berpaham komunisme dan bersekutu dengan negara Uni Soviet. Adapun Chiang Kai Sek berhasil kabur dan mendirikan negara baru bernama Taiwan.

Hidup di bawah naungan komunisme yang (konon) menjunjung tinggi kesetaraan kelas sosial rupanya menjadi pil pahit yang harus ditelan oleh rakyat China. Kemiskinan merajalela, konflik luar negeri yang tak berkesudahan dan pembunuhan para cendekiawan dan intelektual saat Revolusi Kebudayaan telah menjadi catatan tinta hitam bagi sejarah Tiongkok selama di bawah naungan bendera komunisme. Pasca kematian Mao Zedong tahun 1976, negara tersebut kemudian melakukan pembenahan di era kepemimpinan  Deng Xiaoping.

Berawal dari kunjungannya ke negara-negara barat seperti Amerika Serikat dan Jerman, Deng Xiaoping melakukan restrukturasi ekonomi dan sosial di negaranya. Ia membuka kran investasi asing (Foreign Direct Investment) sambil memperkenalkan gaya kapitalisme ekonomi kepada rakyatnya. Kemudian, restriksi sosial yang berlaku di era Mao Zedong perlahan-lahan dihapus, sehingga memicu kelahiran banyak media massa dan NGO (Non Goverment Organization), baik lokal maupun internasional. Seluruh perubahan dalam rangka memajukan negerinya dilakukan oleh Deng Xiaoping dengan tetap mempertahankan sitem pemerintahan komunisme di bawah satu naungan partai, yaitu Partai Komunis China. Akibatnya, China mengalami kemajuan pesat dengan pertumbuhan ekonomi di atas delapan persen selama dua dekade. Bisa dikatakan, pada era ini negeri panda tersebut telah mengalami revolusi kedua.

Laju pertumbuhan tersebut terus bergerak pada masa kepemimpinan setelahnya, yaitu Jiang Zemin dan Hu Jintao hingga era Xi Jinping. Pada masa kepemimpinan Xi Jinping, China kembali memperkuat dirinya dan mengukuhkan posisinya di putaran global. Menurut Elizabeth C. Economy dalam bukunya “The Third Revolution”, sang presiden Republik Rakyat China tersebut memprakarsai revolusi ketiga dengan tiga hal; Sentralisasi pemerintahan, intensifikasi penetrasi sosial oleh negara dan proyeksi atas kekuatan China yang signifikan.

Pertama, sentralisasi pemerintahan dengan menjadikan Xi Jinping sebagai presiden sekaligus pemimpin tertinggi Partai Komunis China untuk menjalankan programnya yang bernama peremajaan China (China’s rejuvenation). Menurutnya, pada masa awal pembukaan China mulai dari Deng Xiaoping hingga presiden sebelumnya telah menumbuhkan virus KKN, baik di tubuh partai ataupun pemerintahan. Oleh sebab itu, program tersebut bertujuan untuk menghapus virus korupsi dengan cara penggalakan hukuman mati bagi terdakwa koruptor dan pendisiplinan, agar tercipta pemerintahan dan partai yang bersih serta solid.

Kedua, penetrasi sosial oleh negara. Maksudnya pemerintah membangun sebuah tembok virtual berupa regulasi dan pengawasan, tujuannya agar ide dan pengaruh liar asing tidak memengaruhi warga Tiongkok, serta bisa mengawasi sirkulasi keuangan, baik untuk investasi domestik maupun luar negeri. Hal tersebut juga diperuntukkan menjaga kestabilan negara dan memfokuskan rakyat pada impian bersama bernama Chinese Dream. Sebuah impian bersama untuk memajukan negara dan ras China.

Ketiga, proyeksi kekuatan China yang signifikan. Meskipun China telah menjadi negara yang berkembang pesat, tetapi ia belum menampakkan pengaruhnya di dunia internasional. Oleh karenanya, Xi Jinping mencanangkan program jangka panjang untuk menambah peran China ke tingkat global yang terbagi menjadi dua yakni, ekonomi dan politik pertahanan. Pada bidang ekonomi, ia menggagas proyek OBOR dan pendirian bank AIIB (Asian Infrastructure dan Investment Bank) yang bertujuan mengokohkan penguasaan pasar produk dan modal. Kemudian China mulai membangun pangkalan militer di luar negeri, sebagaimana yang dilakukan oleh Amerika serikat untuk meningkatkan pertahanan dan pengaruh politik. Dengan demikian, pengaruh China terhadap dunia internasional akan semakin menguat.

Setelah mengetahui serangkaian revolusi di atas, saya memahami bahwa Negeri Tirai Bambu tersebut berusaha mencari jati dirinya di pusaran dunia modern sembari mencoba mengambil peran di kancah internasional. Pada revolusi pertama, China bergabung dengan Uni Soviet dan menjadi kekuatan kedua bagi Pakta Warsawa dalam kontestasi perang dingin. Terkhusus saat perang Korea tahun1950, dimana dua ideologi sedang berebut pengaruh di semenanjung Korea. Akan tetapi, beraliansi dengan Uni Soviet justru membuat Tiongkok mendapat kerugian besar sehingga memutuskan untuk keluar dari aliansi tersebut pasca kematian Mao Zedong.

Selanjutnya, di bawah kepemimpinan kepemimpinan Deng Xiaoping, China mulai melakukan pembenahan dan merumuskan sendiri jati diri bangsanya. Melalui penggabungan sistem kapitalisme ekonomi dan pemerintahan komunisme, kondisi China terus membaik dan mulai turut aktif di dunia internasional. Kepiawaian dalam bidang industri menjadikannya disegani dan mendapat kedudukan yang setara dengan negara industri lainnya, seperti Jerman, Amerika Serikat dan negara-negara industri lainnya.

Setelah stabilitas ekonomi dan negara diperoleh, baru pada era Xi Jinping China melakukan serangkaian program kerja yang menitikberatkan peran di tingkat global. Visi ketiga dari revolusi yang dicanangkan menjadi bukti akan keseriusannya untuk membawa negeri ini untuk menjadi penguasa. Bisa dikatakan, sebutan macan asia bagi Tiongkok tidak hanya gelar omong kosong, karena kesuksesan negeri tersebut, bahkan juga menjadi gertakan bagi negara-negara yang telah lama berada di kursi kekuasaan.

Destruksi Supremasi Kulit Putih
Terdapat sebuah kalimat menarik dari Samuel Huntington dalam bukunya “Clash of Civilization”, “Akan selalu terjadi benturan di sebuah wilayah yang terdapat dua kekuatan yang sama kuatnya”. Jika dikontekstualisasikan dengan situasi saat ini, maka China telah menjadi kekuatan baru yang melawan hegemoni negara-negara pemilik supremasi kulit putih. Istilah supremasi kulit putih lahir di saat kolonialisme sedang merajalela. Istilah tersebut bermakna keistimewaan yang hanya dimiliki oleh penjajah (yang mayoritas kulit putih), mulai dari monopoli perdagangan, hingga hegemoni pengetahuan. Salah satu bentuk hegemoni pengetahuan ialah orientalisme. Dimana ia juga berfungsi untuk membantu kerja kolonial dalam memelajari karakter daerah yang dijajah dan sekaligus mesin propaganda untuk merekonstruksi ulang karakter dunia Timur. Keberadaan supremasi kulit putih sudah mengakar kuat dan dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh negara-negara kolonial, mulai dari pemain lama (Inggris, Prancis dll) hingga pemain baru (Amerika Serikat).

Meski kolonialisme telah lama berakhir dan sudah terdapat beberapa negara Asia yang kuat, semisal Jepang, India, Korea Selatan dan Singapura, tetapi tetap saja supremasi kulit putih merajalela melalui ekonomi dan politik internasional di PBB. Keberadaan China yang berani melawan supremasi tersebut membuktikan bahwa telah terjadi pelapukan pada tahta kekuasaan tersebut. Amerika Serikat yang selama ini selalu tampak gagah perkasa sebagai polisi dunia tampak kalang kabut ketika menghadapi Tiongkok dalam perang dagang dan polemik wilayah Hong Kong dan Laut Cina Selatan. Atas nama keseimbangan dan objektivitas politik internasional, saya sebagai saudara se-Asia mendukung posisi Republik Rakyat China (RRC) dalam mendestruksi supremasi kulit putih dan mengembalikan kedigdayaan Asia masa lalu.

Meski demikian, saya tetap menyayangkan tata cara Negeri Tirai Bambu tersebut dalam mengejar kekuasaannya. Dalam ekonomi, negara tersebut saat ini menjadi eksportir limbah, baik cair, asap dan rumah kaca nomor satu melampaui Amerika Serikat. Tentunya disertai intensitas tinggi akibat industri-industri yang dikerjakannya. Sifat acuh terhadap persoalan lingkungan menjadikan China tak lebih dari negara yang terobsesi kekayaan dengan menggunakan segala cara. Saya berharap karakter manusia Asia yang terkenal dengan kesahajaan dan harmonis dengan alam semesta hadir dalam perwajahan China modern saat ini, sebagai tawaran budaya (cultural offer). Dengan demikian, keberadaan calon kaisar baru ini tidak hanya sekadar pergantian kekuasaan saja, namun juga perubahan sikap manusia yang lebih harmonis terhadap alam semesta.

Back to top button