Delusi Persepsi Kemoderatan al-Azhar

Sosok (institusi) al-Azhar dan Azhari selalu menjadi perbincangan menarik di sekitar kita, baik lingkup Masisir, maupun Indonesia. Keduanya saling terkait satu sama lain selayaknya bapak dan anak, dengan peranan yang berbeda. Al-Azhar dalam bingkai bapak berperan menjadi panutan dan sumber kebijaksanaan bagi siapapun (anak-anaknya) yang mendekat dan belajar kepadanya. Selanjutnya, Azhari selaku anak yang telah mengambil manfaat dari al-Azhar berperan untuk mengikuti dan menyebarkan ajaran kebijaksanaannya, di manapun ia berada, terutama ketika ia sudah tiba di kampung halamannnya.
Melihat begitu dekatnya dua sosok tersebut, masing-masing dapat merepresentasikan satu sama lain layaknya sebuah cermin. Para Azhari merepresentasikan jiwa dan bentuk dari al-Azhar, begitu pula sebaliknya. Oleh Sebab itu, al-Azhar selaku institusi pendidikan berupaya menanamkan nilai-nilai manhaj Azhar pada setiap muridnya. Tentu, nilai-nilai utama yang diajarkan itu di antaranya adalah sikap beragama, baik untuk diri sendiri, interaksi dengan madzhab lain yang seagama, maupun ihwal hidup bersama (interaksi sosial) dengan agama lain.
Dalam sikap beragama untuk diri sendiri, al-Azhar membentuk corak berpikir Ahlusunah wa al-Jamaah yang berakidah Asy’ari dan Maturidi, dalam fikihnya bermadzhab empat, yaitu Hanafi, Maliki, Syafii dan Hanbali, serta bertasawuf Suni layaknya tasawuf ala Imam Junaid al-Baghdadi dan Imam Abu Hamid al-Ghazali. Pemilihan beberapa madzhab dan imam oleh al-Azhar diperuntukkan menjaga kesinambungan sanad paham keagamaan sekaligus wajah ilmiah dalam berinteraksi dengan Islam. Selain itu, madzhab yang dipilih sudah teruji kemoderatannya dan sesuai dengan karakter keislaman di daerah lainnya, termasuk Indonesia. Ini manhaj dasar al-Azhar yang bisa dirujuk dalam beberapa sumber tervalidasi.
Kemudian, dalam berinteraksi dengan paham Islam lainnya serta lintas agama, al-Azhar memiliki sikap tersendiri mengenainya. Sikap tersebut didasarkan pada objektivitas pemahaman yang dimilikinya, sekaligus melibatkan visi-visi humanisme dalam menilai kelompok liyan di luar sana. Oleh sebab itu, al-Azhar dengan senang hati bertoleransi dan bekerja sama dengan kelompok liyan dalam lingkup sosial atau interaksi sosial, misalnya menyambut tamu formal dari Saudi atau dari Iran. Namun dalam prinsip-prinsipnya, al-Azhar tidak segan mengkritik mereka, jika terdapat penyelewengan dari kelompok tersebut. Apalagi jika membawa-bawa nama agama. Di luar konteks agama, al-Azhar sangat merangkul sekte yang bahkan sudah disepakati sesat. Ini harus dibedakan dan diperhatikan.
Sebagai contoh, Grand Syekh Prof. Dr. Ahmad Thayib dalam wawancaranya dengan stasiun tv Dream tanggal 21 Agustus 2013 mengkritik paham Salafi-Wahabi dan menyebutnya sebagai Ghulat Hanabilah, mereka tidak termasuk Madzhab Hanbali karena telah mengubah Madzhab Hanbali dan juga tidak termasuk salaf salih. Bahkan pada tanggal 10 April 2010, dalam wawancaranya dengan stasiun tv Arabiyah, beliau mengatakan, “Tidak ada yang namanya kaidah pemikiran dalam pandangan Salafi. Kaidah pemikiran yang diakui oleh Islam adalah milik Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafii, Imam Asy’ari, bahkan madzhab Muktazilah … dan al-Azhar secara keseluruhan bukanlah Salafi dan pemikirannya bertentangan dengan Salafi …”.
Kemudian, menyikapi ideologi transnasional seperti HT dan IM, al-Azhar juga secara tegas menolak pemikiran konsepsi negara agama (khilafah) dan menegaskan konsep negara demokrasi saat ini sudah sesuai dengan Islam. Sebagaimana juga yang tertera di koran al-Ahram tanggal 28 bulan Januari tahun 2020, Grand Syekh telah menjelaskan, “Konsep negara dalam Islam adalah sebuah negara kebangsaan yang berasaskan hukum dan demokrasi saat ini, dan al-Azhar memutuskan bahwa Islam tidak mengenal apa yang disebut dengan negara agama karena tidak ada dalilnya dalam sumber turats kita …”.
Dari sini, dapat dipastikan bahwa sikap moderatisme Azhar bukan sikap membabi buta untuk menyetujui semua kelompok liyan di sana. Ia harus berdasarkan penilaian yang objektif, agar tidak terjadi kesalahan yang berakibat fatal dalam bertoleransi. Di sini, al-Azhar telah mencontohkan bagaimana sikap moderatisme dalam bergaul dengan kelompok liyan. Ketika ia dihadapkan dengan Wahabi-Salafi dan ideologi transnasional IM atau HT, al-Azhar secara tegas menyatakan sikapnya dan tidak segan mengkritiknya dengan keras karena mereka telah mendestruksi ajaran dan perwajahan Islam. Prinsip tersebut juga diaplikasikan dalam institusi Azhar, ketika mendapati dosen yang berhaluan IM, HT atau Salafi-Wahabi, al-Azhar secara tegas akan mengeluarkannya. Ini sudah berulangkali terjadi. Cuma memang ada sebagian yang masih “lolos screening” dari pemecatan karena mereka memakai prinsip taqiyyah (kamuflase) dalam bermuamalah. Nah, sebaliknya, ketika dihadapkan dengan Paus Vatikan yang mengajak kerja sama menjaga perdamaian antar umat beragama, al-Azhar dengan senang hati memang mendukung, karena kerangkanya adalah toleransi dan kegiatan sosial.
Wabakdu, catatan redaksi (Editorial) yang ditulis oleh bedug.net berjudul “Jangan Kotori Jubah Azhar” merupakan sebentuk kepedulian terhadap institusi Azhar dan peringatan bagi mereka yang terkena delusi prinsip kemoderatan. Anggapan bahwa bertoleransi sama saja setuju dan mau duduk bersama dengan kelompok liyan yang dianggap bermasalah dengan Azhar sebagaimana tersurat di tulisan “Jangan Merasa Paling Azhari” di laman informatikamesir.net, justru melukai prinsip kemoderatan yang diajarkan oleh al-Azhar sendiri. Tersebab adanya salah pemahaman dan salah penerapannya.