Editorial

Jangan Menjadi Masisir yang Lucu binti Rancu

Kerja media adalah kerja intelektual berbasis data dan fakta. Jika sebuah media mengunggah tulisan yang isinya berbentuk warta atau artikel tanpa bersumber data yang valid, maka jelas media tersebut sedang mengunggah sebuah kebohongan. Media tersebut sangat tidak layak dikategorikan sebagai media jurnalistik. Apalagi jika media tersebut digawangi para mahasiwa “langit” agen bangsa dan agen perubahan. Sebab kerja jurnalistik adalah kerja ilmiah berbasis data. Begitu juga sebuah artikel berbentuk opini di ruang media, ia harus ditulis berbasis data dan fakta, lalu dilengkapi dengan opini penulis atas suatu hal disertai referensi penguat. Ketika sebuah media mengangkat sebuah tulisan opini yang isinya ternyata tidak sesuai fakta, bahkan ada manipulasi data atau isi tulisan dari penulis asli oleh sang editornya, maka media tersebut sangat tidak layak disemati sebagai media jurnalistik yang kredibel, apalagi media terbaik.

Salah satu tugas media selain menyuguhkan berita adalah menjadi alat kontrol sosial. Ketika media melihat sesuatu yang menyimpang, mengetahui adanya ketidakadilan atau ketidakbenaran, maka ia wajib “melawannya” dengan menyuarakan pembenahan. Sebagai media jurnalistik, kami pun terpanggil untuk berusaha melaksanakan tugas mulia itu. Media kami tidak pernah mengaku menjadi media paling sempurna atau media paling Azhari, tapi kami hanya menyuarakan apa yang seharusnya kami suarakan. Media kami tak pernah menulis bahwa kami adalah representasi suara Azhar, maka kami yang paling berhak tampil di muka bersama acara besar PPMI, umpamanya. Atau misalnya kami berstatement, PPMI hanya berhak bekerja sama dengan kami, karena kami adalah Azhari sejati, bukan Azhari kaleng-kaleng. Tidak begitu. Kami hanya mencoba mengejawantahkan hasil Muktamar Azhar yang terbaru pada 26-28 Januari 2020 lalu.

Yakni, al-Azhar akan mengoptimalkan perannya dalam melawan pemikiran-pemikiran atau aliran-aliran yang menyimpang dalam Islam. Aliran-aliran radikal dan konservatif yaitu mereka yang menolak adanya pembaruan pemikiran Islam. Mereka menyerukan kerancuan pemahaman agama serta pemalsuan istilah syariat. Seperti halnya seruan mereka terhadap hijrah, jihad, pembunuhan, hubungan dengan aliran di luar komunitas mereka atau aksi kriminalitas yang merampas nyawa di luar kelompok mereka yang memicu “Islamophobia” di benua Eropa.

Al-Azhar pun secara tegas tidak mengakui adanya negara Islam. Sebab negara menurut Islam adalah negara yang berkonsep demokratis dan dijalankan dengan undang-undang yang berlaku sesuai dengan kondisi masing-masing negara. Al-Azhar sebagai pemimpin ulama dunia menyatakan tidak mengakui adanya negara agama. Karena tidak ada dalil pasti dalam khazanah klasik umat Islam. Segenap ulama dunia resmi menolak adanya sistem negara yang tidak mengakui keberagaman beragama bagi penduduknya. Khilafah adalah konsep pemerintahan yang dilaksanakan oleh para sahabat Nabi sesuai dengan zamannya dahulu. Hingga kini, tidak ditemukan dalam al-Quran dan Hadits sistem tertentu dalam membangun negara.

Jika al-Azhar sebagai institusi secara lugas menyatakan, bahwa akan melawan pemikiran-pemikiran yang tersirat dari ketentuan di atas (HT, IM atau Salafi-Wahabi), masak iya kita Masisir yang mayoritas adalah mahasiswa al-Azhar justru akan membuatkan panggung untuk mereka. Bahkan meski itu acaranya baik, kami tidak yakin tidak akan ada mafsadatnya. Jika pihak al-Azhar tahu bahwa para mahasiswanya membuat acara dengan ustadz-ustadz pro khilafah, kader pro IM atau simpatisan Salafi-Wahabi, apa itu tidak sama saja menistakan (KBBI—hina; rendah, noda, cela; tidak enak didengar) wajah kita di depan para masyayikh Azhar. Belum lagi kalau nanti setelah adanya acara bersama itu kemudian ada mahasiswa Azhar yang menjadi pro khilafah, siapa yang nanti mau bertanggung jawab? Ini enggak lagi suudhan lho, langkah antisipasi semata. Jadi sekali lagi persoalannya bukan karena merasa paling Azhari, tapi karena kami peduli dengan institusi Azhar. Jika mengkritik dan peduli lantas difitnah mengklaim sebagai paling Azhari, tentunya Din Syamsuddin yang pada 18 Agustus nanti akan mendeklarasikan Koalisi Aksi Menyelematkan Indonesia (KAMI) sebagai wujud kritik kepemimpinan Jokowi dan kepedulian atas Indonesia patut ditasbihkan sebagai orang yang paling Indonesia. Masak begitu? Kan justru jadi lucu binti rancu logikanya.

Cek Juga
Close
Back to top button