Urgensitas RUU PKS

Beberapa waktu lalu, kabar mengejutkan datang dari gedung DPR di Senayan. Yaitu DPR mencoret 16 RUU dari daftar Prolegnas (Program Legislasi Nasional), yang mana salah satunya adalah penghapusan RUU PKS (Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual). Menurut Marwan Dasopang, selaku Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI ia menyatakan akan menarik RUU PKS dari Prolegnas tahun 2020 dengan dalih pembahasannya agak sulit.
Faktor lain yang mendasari dicabutnya RUU PKS adalah masa pandemi yang menjadikan tidak memungkinkan untuk membahas semua RUU yang akan diajukan. Langkah DPR ini cukup mengecewakan banyak pihak dan mendapat reaksi keras dari Masyarakat, karena RUU PKS ini yang justru digadang-gadang akan menjadi senjata utama untuk melindungi keadilan bagi para korban kekerasan seksual. Padahal, dalam 12 tahun terakhir, grafik korban kekerasan seksual terus meningkat, bahkan diprediksi angka tersebut akan terus naik.
Sementara faktanya, di masa pandemi ini DPR justru telah memproses RUU perihal Omnibus Law. Hal tersebut tentu sangat mengecewakan, karena RUU PKS yang didukung penuh oleh Masyarakat malah diabaikan. Sedangkan RUU yang ditolak besar-besaran oleh Masyarakat malah didukung penuh DPR. Jadi wajar bila DPR memang lebih suka mendukung sesuatu yang bersifat ‘basah’ dan menguntungkan mereka. Karena dalam Omnibus Law, fokusnya dalam bisnis dan akan lebih berpihak kepada para pengusaha. Dari sini, saya pun mencoba menghubungkan urgensitas RUU PKS dalam pandangan Islam, karena erat kaitannya dengan kemaslahatan umat.
RUU PKS dan Keadilan
Kata adil berasal dari bahasa Arab al-‘adl yang berarti orang yang tidak dipengaruhi hawa nafsunya, sehingga ia tidak menyimpang dan lurus. Oleh karenanya, al-‘adl mengandung banyak arti, salah satunya menurut Harun Nasution adalah menentukan atau membentuk hukum dengan benar; bermaksud mempertahankan hak dengan benar. Ini sebagaimana sudah dijelaskan dalam al-Quran dalam QS al-Qasas “Yang telah menciptakan kamu, lalu menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan lurus (seimbang) (fa’adalaka)”. Ayat tersebut menjelaskan bahwa Allah memerintahkan untuk berlaku adil dalam memberikan hak atau melawan hal-hal yang batil.
Selain itu, menurut Prof. Quraisy Syihab, adil adalah sesuatu yang dirasa seimbang, tidak berat sebelah, atau seseorang merasa pantas, nyaman dan adil. Salah satu ciri keadilan menurut beliau adalah kesimbangan antara hak dan kewajiban. Termasuk pemaknaan kata adil adalah sebagai penetapan hukum dengan benar. Dasar atau asas yang dicapai utuk mengatur kehidupan adalah keadilan. Hal ini selaras dengan firman-Nya pada surat al-Nisa ayat 58, bahwasanya “Dan jika engkau menetukan hukum, maka tentukanlah hukum di antara mereka dengan adil, sungguh Allah mencintai orang yang menentukan hukum dengan adil.”
Sementara keadilan dalam lingkup kemasyarakatan menurut Abu Zahrah, guru besar Universitas Kairo, adil adalah semua hubungan kemanusian yang dibina atas dasar keadilan dan persamaan di antara umat manusia. Jadi adil di sini saya artikan sebagai membentuk hukum dengan benar dan pemenuhan hak terhadap masyarakat.
Dari macam-macam deskripsi dan tipologi keadilan seperti distributif, komunikatif dan kapitalis yang dikategorikan menurut Quraisy Syihab, saya rasa RUU PKS masuk dalam jenis keadilan distributif, dimana keadilan memberikan hak atau jatah kepada setiap orang yang menuntut jasa-jasa yang telah diberikan (pemberian menurut haknya masing-masing pihak). Prinsip dasar keadilan distributif adalah bahwa yang sederajat harus diberlakukan sederajat. Jadi korban kekerasan seksual harus diberlakukan sebagai korban yang dilindungi, seperti larangan mengkriminalisasi korban, pemulihan, pendampingan korban kepada layanan psikolog, layanan kesehatan untuk trauma fisik, rumah aman, dan seterusnya. Karena sampai saat ini banyak korban belum mendapatkan gambaran perlindungan tersebut, tentunya RUU PKS menjadi teramat dibutuhkan. Dari sisi pelaku pun, hukuman yang diberikan kebanyakan belum sebanding dengan “derita” korban yang telah diperkosa dan mendapat trauma berkepanjangan. Di sinilah RUU PKS menjadi urgen untuk disahkan dan diterapkan sebagai payung hukum dan perlindungan.
Melihat dari pemaknaan adil di atas, DPR sebagai “wakil rakyat” tentunya harus bersikap adil dan peka melihat kebutuhan mendesak atas RUU PKS. DPR sebagai kepanjangan tangan rakyat yang mempunyai legalitas harus melaksanakan kewajibannya di gedung parlemen. Yaitu harus adil memberikan hak kemanusian untuk setiap individu, terlebih usai melihat banyaknya kasus kekerasan atau pelecehan seksual yang kian meningkat. Masih sangat sedikit kasus kekerasan seksual yang masuk meja hijau karena rata-rata korban dalam kondisi trauma psikologis, tertekan dan malu untuk mengungkapkan. Jika melihat hal ini, negara pun diharapkan “hadir” memberikan pelayanan, rasa nyaman dan aman untuk setiap masyarakatnya yang terdiskriminasi.
Macetnya pembahasan RUU PKS bagaimanapun juga adalah salah satu bentuk cerminan ketidakadilan lembaga legislatif dan yudikatif. Hal ini juga tentunya menciderai makna Pancasila, utamanya sila ke-5, “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Apabila RUU PKS benar-benar ditarik, akan hilang payung hukum bagi korban kekerasan seksual, karena dalam RUU sudah dijelaskan secara rinci, hukum yang melindungi hak-hak para korban.
Islam sangat menjunjung tinggi prinsip keadilan, sebagaimana dikatakan oleh Prof. Quraisy Syihab, salah satu wujud keadilannya yaitu mewujudkan lingkungan yang nyaman serta bebas dari kekerasan. Terlebih ada kaidah fikih, “al-‘Adl wajib fi kulli syaiin”. Walhasil, pengesahan RUU PKS menjadi wajib dirumuskan dan diaplikasikan oleh pihak-pihak yang berwenang.