Esai

Kemerdekaan dan Nostalgia Khilafah

Hari ini, kita merayakan kemerdekaan Indonesia yang ke-75. Kemerdekaan yang menurut sebagian orang tidak pantas untuk dirayakan, karena di dalamnya ada beberapa hal yang menyalahi syariat Islam. Polemik semacam ini seakan-akan tidak pernah habis menjadi obrolan panjang yang diulas di meja kajian, warung kopi, majelis ta’lim, hingga perang komentar di media sosial. Anggapan saya, bahwa kemerdekaan negara kita tengah melewati fase pendewasaan sebagai bangsa yang berideologi satu. Jadi jangan justru diusik dengan utopisme mengembalikan kejayaan khilafah seperti di zaman masa-masa keemasan Islam.

Saat ini kita seakan dipertontonkan beberapa sikap warga Indonesia yang saling sikut untuk mengganti sistem pemerintahan Indonesia. Niat awalnya ya membumikan istilah-istilah syar’i, seperti NKRI Bersyariah, Ganti Sistem Pemerintahan, hingga penayangan film “Jejak Khilafah di Indonesia” yang baru-baru ini akan dirilis. Fenomena semacam ini seperti perbahasa “Ada udang di balik batu”. Tentunya, kita tidak asing lagi dengan tuduhan Indonesia adalah negara thagut yang tidak menerapkan syariat Islam serta abai untuk menegakkan sistem khilafah kafah. Lucu memang, terkadang penegakan syariat Islam versi mereka plus beberapa ulamanya menunjukkan diferensiasi yang cukup kentara, tapi tidak mau dicap kelompok pengusung khilafah.

Kita perlu mendudukkan satu-persatu persoalan di atas dengan cermat. Sebab, saya justru menangkap ada suatu kealpaan dan kesilapan kita dalam pembacaan ayat al-Quran dan Hadits tentang khilafah. Sehingga membuat kita lupa esensi kemerdekaan sebagai bangsa yang satu di bawah atap ideologi Pancasila. Jargon-jargon “Khilafah adalah Solusi” di setiap permasalahan bangsa menjadi cerminan, bahwa ideologi transnasional sengaja membonceng untuk memecah belah bangsa yang dibungkus atas nama agama. Nah, berangkat dari jargon yang dianggapnya sebagai solusi, membuat saya bertanya, apakah semudah itu menawarkan solusi untuk menyelesaikan semua permasalahan negara?

Saya tertarik dengan sebuah pertanyaan dari Gus Nadhirsyah Hosen setahun yang lalu. Apa kita bisa menjadi khalifah tanpa khilafah? Jelas bisa dong, karena sesuai konteks yang dibahas dalam al-Quran (QS. al-Baqarah: 30) bahwa Nabi Adam dianugerahi kemampuan untuk menjadi khalifah di bumi. Kenapa kita tidak bisa menjadi khalifah, padahal kita kan anak cucu Nabi Adam? Konteks khalifah selanjutnya dibahas ketika Allah menjadikan Nabi Daud sebagai khalifah atau raja untuk Bani Israil (QS. Shad: 26). Term khilafah sama sekali tidak dibahas dalam al-Quran, apalagi dengan model insyâ’-taklifi (perintah, larangan maupun pilihan di antara keduanya). Justru, inti makna dari khalifah itu sendiri adalah “pengganti” yang berfungsi sebagai tugas dasar universal manusia.

Sementara Hadits Nabi Muhammad yang kerap dijadikan sandaran keharusan untuk menegakkan khilafah termaktub dalam Musnad Imam Ahmad. Isi dari Hadits tersebut terdapat kalimat, “Tsumma takûnu khilâfatun ‘alâ minhâji al-nubuwwah,” setelah masa kenabian. Dari term kalimat “khilafah” ini ada bentuk pengulangan lagi setelahnya. Menurut Imam Shalahuddin al-Idliby, Hadits tersebut shahih dengan dikuatkan jalur periwayatannya dari Hudzaifah. Sedangkan pengulangan kalimat setelahnya memunculkan keraguan, yang perlu kita teliti lebih lanjut lagi.

Imam Bukhari dan Imam Ibn Majah mencatat satu Hadits yang menjelaskan bahwasanya nabi adalah khalifah atau pengganti dari nabi sebelumnya. Khalifah di sini merupakan hak prerogatif Tuhan untuk nabi yang memang pilihan-Nya. Lalu lanjutannya, “Takûnû khulafâ’, fataktsuru,” menjadi kalimat pembeda yang tidak berkaitan dengan posisi nabi sebagai khalifah. Jika kita mencermatinya, maka teks ini menegaskan sebuah kabar atau prediksi yang menjelaskan kemunculan khalifah setelah Nabi Muhammad dari kalangan manusia biasa. Khulafa’ yang diprediksi Nabi Muhammad adalah para khalifah yang tercatat dalam sejarah. Tentunya, tidak boleh menyatukan dua terminologi khalifah tadi (antara nabi sebagai khalifah dan khulafa’ setelah Nabi) sebagai ketentuan Tuhan yang wajib diterapkan. Sebab, sabda Nabi Muhammad terkait lafal khulafa’ sudah jelas dan berbeda, yakni bentuk prediksi atau ikhbari.

Bertalian dengan makna Hadits yang pertama, bahwa Imam Abu Dawud secara gamblang mencatat bahwa khilafah nubuwah terhitung dalam kurun waktu tiga puluh tahun pasca-kenabian. Pendapat Safinah terkait riwayat tersebut adalah masa Khulafa Rasyidin, yakni khilafah ‘alâ minhâj al-nubuwwah. Hal ini sejalan dengan hasil Muktamar al-Azhar bulan Januari 2020 kemarin. Bahwa khilafah merupakan konsep pemerintahan yang dilaksanakan oleh para Sahabat Nabi sesuai pada zamannya. Konsep pemilihan khalifah pun pada masa itu berbeda-beda, sehingga tidak menjadikan model baku yang wajib diterapkan. Ketika mengaitkan ketiga Hadits di atas, term khilafah merupakan satu prediksi yang akan terjadi setelah masa Nabi Muhammad. Baik itu prediksi masa khilifah Khulafa Rasyidin, munculnya pemimpin tidak adil, datangnya pemimpin setelah Nabi Muhammad, dll.

Pembahasan tentang khilafah memang cukup panjang. Dari beberapa konteks Hadits yang saya tampilkan, memberikan gambaran bahwa khilafah bukanlah sistem yang wajib diterapkan. Ia sebatas prediksi Nabi Muhammad yang akan terjadi, ya bagaimana pun kita mengakui bahwa sabda Nabi Muhammad adalah sebuah mukjizat. Ironinya, kita sering mencampuradukkan dan tidak bisa membedakan mana suatu Hadits yang semestinya itu bernilai khabari atau taklifi. Sehingga kerancuan berpikir kita terkalahkan oleh ego untuk mengakui, bahwasanya term khilafah sudah dibahas berulang kali, hingga menjadi perhatian khusus di Muktamar al-Azhar.

Penggiringan opini tentang wajibnya khilafah tentu menimbulkan bahaya laten terhadap stabilitas bernegara dan bersosial kita. Kita menyaksikan, bahwa persoalan ini membuat kita belum merdeka untuk menjadi bangsa yang utuh, meski sudah 75 tahun Indonesia berdiri. Memang secara pengakuan internasional, kita merupakan bangsa merdeka. Namun, sebagai bangsa yang satu ideologi dan berusaha menjaga keutuhan NKRI, kita masih belum merdeka, baik merdeka dalam beragama, maupun berbangsa. Rongrongan untuk mengganti ideologi dan sistem pemerintahan merupakan ambisi yang terus digelorakan oleh beberapa oknum “tokoh” dengan memanipulasi teks agama.

Diakui atau tidak, memang cukup alot bagi kita untuk memberikan sebuah argumentasi yang panjang lebar terkait persoalan di atas dari pendapat para ulama yang kapabel. Tersebab ideologi khilafah yang dianggapnya wajib sudah terlanjur mendarah daging dan melupakan jati diri mereka sebagai “kelompok” yang satu. Secara istilah, pola hidup berbangsa ialah kelompok masyarakat yang bersamaan asal keturunan, ideologi dan sistem pemerintahan yang telah disepakati. Jika dari pemahaman ini saja sudah keliru, bagaimana bisa dikatakan mereka merdeka dalam berbangsa?

Kemerdekaan yang kita pahami pun tidak melulu berkaitan dengan perang melawan penjajah atau mengangkat senjata. Ada satu hal yang lebih penting dari itu, yakni merawat kemerdekaan dan keutuhan bangsa dengan meleburkan ego pribadi atau kelompok kita. Yaitu ego untuk mengusung ideologi yang berbeda dan motif mengganti sistem pemerintah ataupun lainnya. Tentunya, kita tidak menafikan, banyak orang yang berpura-pura hidup dalam satu negara, mengaku bangsa Indonesia, tetapi diam-diam dalam dirinya masih ada motif untuk mengubah sistem pemerintahan dan menganggap negaranya sebagai thagut. Demi mewujudkan negara Islam, banyak dari simpatisan khilafah yang “rela” menjadi pegawai ataupun pejabat pemerintahan. Padahal pemerintahan yang sekarang sedang menjadi tempat mereka bernaung adalah pemerintahan thagut. Oknum-oknum seperti ini tentu sangat membahayakan keutuhan bangsa kita. Dari sini dapat dipahami, bahwa PR kita bersama tidak hanya perang melawan penjajah, namun perang bagaimana menyatukan ideologi yang sudah dimusyawarahkan oleh cendekiwan muslim dan tokoh-tokoh nasionalis kita.

Kemudian, terkait persoalan negara yang rumit dan masih banyak kekurangan memang realita yang tidak bisa kita mungkiri. Namun, tidak lantas khilafah menjadi satu-satunya solusi cerdas untuk mengentaskan segala persoalan bangsa. Banyak langkah yang mesti kita tempuh, daripada terjebak dalam nostalgia khilafah zaman bahela, semisal dengan meregenerasi penerus bangsa yang ahli ekonomi, ahli tata negara, memperbaiki moral generasi, membuka ruang dialog dengan pemerintah, dst. Asumsi saya, bahwa hadiah terbesar ulang tahun bangsa kita sekarang ialah mewujudkan kemerdekaan berbangsa dan beragama pada setiap warga yang tentu ini tugas kita bersama. Terakhir, Dirgahayu Indonesia, semoga kita selalu merdeka, rukun dan menjadi bangsa yang satu seutuhnya.

Back to top button