Humaniora

Derridean; Mendekati Yang Tak Terjangkau

Oleh: Muhammad Thariqul Akbar

Dari sekian tema dalam buku Derridean, edisi Mori, 2023, kumpulan esai Pasca-Teologi menjadi bagian yang menarik perhatian saya. Ketertarikan ini bisa dipahami setidaknya karena dua hal. Pertama, latar belakang saya sebagai seorang santri yang sedikit banyak bergelut dengan tema ketuhanan. Kedua, perjumpaan saya dengan bahasan di dalam sub tema ini yang cukup familiar, sebab spiritnya sudah saya jumpai di dalam karya-karya Eko Prasetyo, semisal Kitab Pembebasan; Tafsir Progresif atas Kisah-kisah dalam Qur’an (BERANDA, 2016). Adanya kemiripan spirit ini membantu saya dalam membaca teks-teks Derridean yang berkenaan dengan masalah ketuhanan (teologi).

Apa yang dihadirkan Muhammad Al-Fayyadl, penulis Derridean bagi saya adalah upaya menghidupkan kembali Tuhan yang singular, yang benar-benar lain (tout autre), yang tidak dikucilkan di dalam suatu konsep dan persepsi tertentu (hal. 44). Jika yang dilakukan Gus Fayyadl adalah upaya menghidupkan Tuhan, lalu, sejak kapan Tuhan itu mati? Tuhan apa yang hendak Gus Fayyadl hidupkan kembali?

Kematian Tuhan dalam diskursus filsafat setidaknya dapat kita rujuk kepada sejarah dunia Barat pada tradisi kekristenan di abad pertengahan. Zaman dimana otoritas gereja mendaku diri sebagai wakil Tuhan sehingga merasa berhak melakukan apa saja. Lantas, kebenaran milik mereka seorang dan siapa pun yang menolak kebenaran itu dianggap sebagai musuh Tuhan, serta sah-sah saja untuk dihukum mati. Dalam suasana represif yang sedemikian rupa, agama tidak hanya kehilangan pesonanya, tapi juga sisi personalitas dan pengetahuan tentang Tuhan menjadi final.

Tidak mengherankan, jika kemudian dunia Barat memiliki traumatis yang mendalam terhadap agama. Di atas traumatik tersebut, Barat melahirkan zaman modern yang menjadikan rasio (cogito) sebagai satu-satunya tuntunan hidup. Sebuah zaman dimana yang metafisik, termasuk Tuhan, tidak diberikan ruang untuk tampil (hal. 95). Meski pada akhirnya, zaman modern kemudian runtuh, harus mengakui kelemahan rasio dan kerinduan akan Tuhan kembali bersemai dari waktu ke waktu.

Di era selanjutnya, pascamodern, Tuhan hidup kembali melalui Derrida dengan wajah-Nya yang baru. Derrida menampilkan keberagamaan yang dihiasi dengan personalitas dan keterbukaan-Nya dari suatu konsep teologi tertentu. Nampaknya, wajah keberagamaan ini yang pertama-tama ingin disampaikan Gus Fayyadl. Tuhan, bagi Fayyadl, adalah Ia Yang Maha Hidup. Pemaknaan hidup yang dimaksud bukan kebalikan dari kata mati. Tuhan Yang Maha Hidup ialah Tuhan yang selalu hadir dalam laku keseharian manusia.

Dalam tradisi lain, Rumi misalnya, mendorong kita untuk ‘menuhan’. Rumi mengartikan menuhan sebagai kontekstualisasi dan aplikasi nama-nama Tuhan, tentunya ala qadr wa hasb al-Insan. Jika Tuhan adalah Yang Maha Kasih, kita sebagai hamba juga seyogianya menyebarkan kasih sayang. “Tuhan,” tulis Eko Prasetyo, “tak ingin dikenal hanya sebagai bayang yang jauh, tak terjangkau dan susah dipahami. Tuhan hadir melalui nama mulia-Nya tidak dalam posisi diam dan pasif, tapi hidup, bergerak, dan dinamis. Tuhan dalam Islam bukan sosok yang diam, sunyi serta ambivalen, tapi sosok yang muncul melalui perjumpaan yang prgresif” (Al-Fatihah; Bangkitlah Gerakan Islam, Intrans Publishing, 2022)

Selain selalu hadir, Tuhan juga Yang-Selalu-Bergerak. Ketika seseorang merasakan keberadaan Tuhan, ia tidak benar-benar sedang bertemu Tuhan. Ia hanya bertemu dengan ‘jejak’ Tuhan, sementara Tuhan sendiri telah pergi. Oleh karena itu, pencarian Tuhan menjadi perjalanan yang tak kunjung usai. Tersebab kapan pun kita menemui Tuhan, kita tidak benar-benar bersama dan menemui-Nya. Kita ‘hanya’ menyapa jejak-jejak yang ditinggalkan-Nya.

Alhasil, Tuhan menjadi Yang Tak Terjangkau karena kita terus-menerus berjarak dengan-Nya. Namun dalam hal ini pula, kehadiran Tuhan menjadi sesuatu yang tak bisa disangka-sangka oleh nalar masing-masing personal. Pertemuan dan kehadiran Tuhan bagi tiap orang pun menjadi berbeda-beda. Persis pada titik ini, agama (dan Tuhan) menampilkan sisi personalnya, di mana setiap orang bebas menyapa Tuhannya dengan keakraban dan privat.

Dalam pengertian Tuhan di atas, keimanan tidak dapat diartikan sebagai titik final, melainkan sebuah proses yang senantiasa berjalan, penuh gejolak juga harapan. Di satu sisi keimanan selalu mendorong kita untuk mencapai Tuhan. Pada saat yang bersamaan pula, kita tidak pernah mampu mencapai-Nya. Dalam jarak ini, iman senantiasa hidup di antara dualitas gejolak dan harapan. Iman bergejolak karena kita harus menjaga api kerinduan untuk bertemu dengan Tuhan di antara ketidakpastian. Namun di sisi lain, kita selalu punya harapan dan keyakinan bahwa Tuhan akan menemui kita suatu hari ini.

Gus Fayyadl tidak sedang merusak dimensi syariah dalam agama. Apa yang Gus Fayyadl lakukan, menurut saya, adalah mendakwahkan beragama yang dihayati secara personal. Sehingga agama tidak sekadar menyapa dalam rupa ajaran dogmatis, baik melalui buku atau bangku-bangku sekolah. Akan tetapi, lebih jauh, keimanan kita adalah api yang senantiasa bergejolak dan perjalanan yang tak kunjung usai sampai kita berjumpa dengan-Nya.

Gus Fayyadl tak juga hendak mencabut agama dari ranah sosial dan universalitasnya. Justru ia sedang menekankan untuk merenungi kembali bagaimana beragama antar-sesama itu dilakukan. Dengan membincang kedatangan Tuhan yang tak dapat disangka-sangka, Gus Fayyadl seakan mendorong kita untuk menunda pelabelan. Tersebab, kita tidak pernah tahu kapan dan kepada siapa Tuhan menampakkan jejak-Nya.

Walakhir, jika bertuhan bersifat personal, bagaimana dengan tujuan Tuhan yang menggambarkan diri-Nya melalui kitab suci? Hemat saya, penggambaran-penggambaran itu adalah buku panduan untuk menelusuri jejak-jejak-Nya. Dimana, penelusuran itu dimulai dari ritual, penghayatan, kemudian berakhir dengan pengalaman. Ketiga komponen yang senantiasa terus dinyalakan untuk mencapai kuntu sam’ahû wa basharahû. Di halaman 55, Gus Fayyadl mengatakan, bahwa “Semuanya akan datang pada saatnya nanti, tanpa pernah diketahui kapan dan di mana. Struktur ke-akan-datang-an (l’avenir) semacam inilah yang menghadapkan iman kita kepada ‘yang religius.’ Ketika iman tidak pernah definitif dan selalu terbuka untuk digugat, dipertanyakan, dan dimaknai ulang secara radikal, maka pada saat itulah ‘yang religius’ akan datang dan kembali ke pangkuan kita.”

 

Muhammad Al-Fayyadl, akrab disapa Gus Fayyadl, mengisi kesehariannya sebagai mudir Mahad Aly Nurul Jadid, Probolinggo. Derridean merupakan karya kelimanya setelah Derrida (LKiS Yogyakarta, 2005), Teologi Negatif Ibn ‘Arabi: Kritik Metafisika Ketuhanan (LKiS Yogyakarta, 2023), Filsafat Negasi (Cantrik Budaya, 2016) dan Fiction/Subjectivation Politique: Lecture de << La Nuit des prolétaires: Archives du revê ouvrier >> de Jacques Ranciére, Sarrebuck (Universitaires Europeennes, 2017). Berbeda dengan karya-karya sebelumnya yang cenderung membahas satu pembahasan atau tokoh tertentu, Derridean adalah kumpulan esai Gus Fayyadl dalam rentang waktu 2004-2015, sebagaimana tertuang pada latar depan buku ini. Terdiri dari tujuh tema (Obituarium, etikal, pasca-teologi, jeda, metode, patahan, serta politik dan polemik), Derridean lahir bersamaan dengan karya keenam, sebuah catatan harian Gus Fayyadl ketika di Paris dengan judul Des Feuilles de Paris.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button
Verified by MonsterInsights