Opini

Benarkah Watak Buruk Tidak Bisa Diubah?

Banyak sekali para cendekiawan, baik muslim atau non-muslim yang angkat bicara soal moral (baik-buruk perbuatan). Auguste Comte, misalnya, mengatakan bahwa kecondongan manusia terhadap hal yang baik dan buruk merupakan tabiat atau fitrah yang dibawa sejak lahir, sehingga manusia tidak punya kuasa atasnya. Teori-teori lain menyebutkan bahwa asal tabiat manusia adalah baik sedang tabiat buruk yang datang kemudian, begitu pun sebaliknya. Immanuel Kant menyatakan bahwa moral dibangun berdasar perasaan-perasaan atas kewajiban.

Dari teori-teori tersebut, kita mendapati seolah manusia terlahir dibekali dengan seperangkat nilai moral yang pasti dan mengikat, meskipun saat dilahirkan hal tersebut mungkin berada di luar jangkauannya. Kita terkadang mengatakan bahwa manusia terlahir berjiwa malaikat atau berperangai setan. Manusia lahir dengan sudah dibebani kewajiban-kewajiban yang ditentukan. Atau, Fulan lahir sebagai pribadi yang ceroboh dan tidak cerdas sehingga merugikan orang lain, dan sebagainya.

Jika benar begitu, maka manusia tidak memiliki andil terhadap watak yang notabene bawaan. Watak tersebut memengaruhi laku-laku moral, sehingga peran kasadaran dan keinginan bisa jadi konstan. Pengetahuan akan hal baik dan buruk tidak lagi penting. Puncaknya, kebaikan tidak akan bernilai lagi karena moral atau kecenderungan baik-buruk seseorang diartikan sebagai fitrah, di mana manusia tidak memiliki kesempatan untuk dapat mengubahnya.

Lalu, bagaimana Islam mengartikan moralitas? Apakah ia fitrah sehingga tidak bisa diubah? Atau ia bukan merupakan fitrah sehingga masih bisa diusakan? Ada yang mengatakan bahwa watak manusia layaknya jasmani, tidak bisa diubah. Allah SWT adalah satu-satunya Dzat yang menciptakan dan membentuk jasmani manusia. Sebagaimana penciptaan dan pengubahan jasmani bukan ranah kuasa manusia, demikian pula jasmani. Namun saya kurang sepakat. Jasmani (al-khalqu) dan watak yang mengiringinya (al-khulqu) merupakan dua hal yang berbeda. Menyama-ratakan keduanya begitu saja rasanya kurang bijak.

Seekor anjing umpamanya. Secara jasmani seperti itulah wujud anjing; terberi dan tak bisa diubah. Sedangkan wataknya, masih bisa diubah dengan dilatih dan dibiasakan. Anjing yang dilatih untuk menjaga rumah misal, atau anjing yang dilati berburu. Agama Islam tidak melarang penganutnya untuk memakan hasil buruan seekor anjing. Dari sini, kita mendapati bahwa hewan saja masih memiliki potensi untuk diubah wataknya, apalagi manusia dengan kelebihan akal dan hati nurani yang dianugerahi Allah SWT. Oleh karena itu, kita sepakat bahwa al-khalqu dan al-khulqu adalah dua hal yang berbeda. Jasmani adalah pemberian Allah yang tak bisa diubah, sedangkan watak manusia bisa diubah dengan latihan dan pembiasaan.

Ibnu Miskawaih sebagai seorang filsuf etika mengemukakan bahwa manusia memiliki tiga unsur, yaitu jasad, hayat dan ruh. Jasad sebagai unsur materi yang bisa dijangkau oleh indera dan bersifat ijbâriy (tidak bisa diubah). Ruh pun begitu, ia berasal dari Tuhan (wa nufikha fîhi min rûhihi) yang bersifat ijbâriy. Sedangkan hayat, merupakan unsur ruhani sebagai natur jasad dan daya gerak manusia seperti ambisi, emosi dan hal lain yang bersangkutan dengan mental. Di sinilah wilayah manusia. Ia memiliki kesempatan untuk mengubah itu dengan upaya latihan dan pembiasaan. Unsur hayat bekerja sama dengan akal mengontrol setiap hasrat keinginan dan gerak-gerik manusia.

Dari sini, bisa kita telaah mengapa madrasah-madrasah menjadikan akhlak sebagai salah satu mata pelajaran yang mesti ada. Karena hakikat akhlak atau moral, masih bisa diubah oleh manusia dengan usaha-usaha. Begitupun misi utama diutusnya Rasulullah SAW untuk menyempurnakan akhlak manusia, akan menjadi sia-sia jika kita pasrah dengan meyakini bahwa watak buruk kita tak bisa lagi ubah.

Namun, perlu digarisbawahi bahwa mengubah watak seseorang menjadi lebih baik tidak cukup dengan nasehat atau pun pengetahuan soal baik-buruk. Perlu adanya pembiasan. Pengetahuan baik dan buruk ialah ranah teoritis, sehingga maklumat seperti itu tidak semerta-merta bisa mengubah watak seseorang. Praktik dan pembiasaan mutlak perlu.

Back to top button