Opini

Pergeseran Ruang Media Sosial

Ada relasi yang kuat antara masyarakat dan penyebaran informasi dengan peran figur publik. Sebagaimana dewasa ini, figur publik memang mempunyai peran penting dalam penyebaran informasi yang diperuntukkan kepada masyarakat. Contoh jelasnya adalah ketika pertengahan bulan lalu beberapa figur publik diundang hadir ke istana guna hanya untuk menyuarakan himbauan terkait pandemi yang terjadi. Saya setuju jika pengaruh dari mereka terhadap masyarakat menjadi alasan terjadinya pertemuan tersebut. Hal itu sesuai dengan pola pikir masyarakat kita sekarang, yang lebih mengikuti kabar terbaru kehidupan selebritas daripada mencari informasi yang benar-benar dibutuhkan. Inilah celah yang saya maksud untuk “menggunakan” figur publik agar mereka bisa menunjukkan perannya ke arah yang baik.

Namun, beda cerita ketika figur publik menggunakan pengaruhnya hanya untuk menyuarakan pandangan subjektif individual. Selain kredibilitas mereka yang jelas diragukan dan kebenaran informasi yang dipertanyakan, pola pikir masyarakat yang telah saya sebut sebelumnya menjadi pertimbangan agar sebaiknya mereka tidak melakukan tindakan tersebut. Misalnya, Erdian Aji Prihartanto atau yang lebih dikenal dengan nama Anji, melalui akunnya di Dunia Manji, ia mengunggah konten video percakapan bersama Hadi Pranoto yang mengaku seorang profesor yang menemukan obat penyembuh Covid-19. Video di kanal YouTube Anji ini dinilai oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mengandung informasi sesat. Ditambah klaim Hadi Pranoto terhadap sejumlah obat herbal temuannya yang mampu menyembuhkan pasien Covid-19 dalam hitungan hari (JawaPos, 10/08).

Perlu diketahui, bahwa pengaruh yang dibawa figur publik bisa menjadi bumerang bagi masyarakat kita sendiri. Efek lain dari pengaruh figur publik membawa resiko terhadap hierarki sosial kita sekarang. Dalam artian, yang seharusnya posisi golongan akademis dan intelektual sebagai sumber informasi bagi masyarakat malah tergeser oleh peran figur publik melalui kontennya. Ini tak seharusnya terus terjadi jika kita menuntut informasi yang tersebar di masyarakat adalah informasi yang akurat. Sebelum saya lanjutkan, mari kita sepakati untuk menyebut golongan akademis, intelektual, atau para ahli dalam bidangnnya dengan profesional, dan para figur publik yang buruk dengan influencer dalam tulisan ini.

Ketidakseimbangan
Keberadaan media massa menjadi krusial di saat seperti ini. Seharusnya media massa bisa menjadi wadah bagi para profesional untuk menyosialisasikan himbauan terkait peristiwa yang terjadi. Memang sudah seharusnya media massa menjadi wilayah mereka, yang sudah jelas kredibilitas dan kebenaran informasi yang dibawa. Namun yang terjadi di realita sekarang adalah, suara dari media massa semakin tidak terdengar dan tertutupi oleh suara media sosial.

Jika media massa saya sebut sebagai wilayah dari profesional, maka bisa jadi media sosial (medsos) merupakan wilayah dari para influencer. Medsos memang lebih praktis dan langgas untuk seseorang bisa menyuarakan apa yang dia ketahui, itu pun terlepas dari keautentikan informasi. Meskipun ada juga profesional yang turut meramaikan medsos, tetapi suara mereka tetap tertutupi oleh suara influencer yang sudah pasti diramaikan oleh para pengikutnya (follower/subscriber). Saya kira keramaian yang terjadi ini diakibatkan oleh ideologi popularisme yang tertanam dalam diri influencer.

Lebih lanjut, Yasraf Amir Piliang dalam buku Bayang-Bayang Tuhan: Agama dan Imajinasi menyebutkan, bahwa ideologi popularisme telah menggiring berbagai wacana (politik, pendidikan, media, agama) ke dalam berbagai bentuk pendangkalan, sifat permukaan, penampakan luar, dan sekadar perayaan citra. Ideologi popularisme merayakan citra ketimbang makna, kulit luar ketimbang isi, penampilan ketimbang esensi, popularitas ketimbang intelektualitas. Ideologi semacam ini bisa menghambat pencerahan dan pengungkapan informasi yang autentik disebabkan hasrat mengejar ketenaran.

Selain itu, masifnya para influencer dalam meramaikan medsos juga membuat posisi media massa tersisihkan. Peristiwa ini disebabkan ketidakpercayaan massa terhadap para profesional. Sehingga secara tidak langsung, ideologi popularisme yang dibawa influencer berhasil tertanam dalam pola pikir masyarakat. Dikarenakan informasi atau pendapat dari profesional tersingkirkan oleh masifnya informasi dari influencer, masyarakat menjadi terbiasa dan tidak bisa membedakan mana informasi yang autentik.

Menurut saya, peristiwa semacam ini merupakan gambaran dari term matinya kepakaran oleh Tom Nichols. Saya kira term ini relevan dengan problem kita, dimana para profesional tersisihkan oleh masifnya konten influencer. Mengutip perkataan Nichols dalam bukunya, The Death of Expertise, Internet mengizinkan satu miliar bunga mekar, namun sebagian besarnya berbau busuk, mulai dari pikiran iseng para penulis blog, teori konspirasi orang-orang aneh, hingga penyebaran informasi bohong oleh berbagai kelompok”. Jadi, masifnya informasi dari influncer bisa menutupi dan memperkeruh informasi yang sebenarnya dibutuhkan oleh masyarakat.

Mengenai term matinya kepakaran, menurut saya dalam konteks ini lebih tepat disebut dengan tersisihnya kepakaran. Sebab, eksistensi para profesional sebenarnya masih terlihat, hanya saja mereka tertutup oleh para influencer yang membuat panggungnya sendiri. Dalam hal ini, demi menjaga hierarki sosial dengan tetap menjadikan profesional sebagai sumber informasi yang kredibel, para influencer perlu tahu di mana seharusnya mereka menempatkan diri. Mereka tidak perlu memaksakan tindakan di luar kapasitas kemampuannya hanya untuk alasan mengejar popularitas. Dengan begitu, tidak akan terjadi kembali tindakan yang berlebihan, seperti influencer yang menyuarakan hal yang bukan keahliannya. Lebih jelasnya, influencer tetap bekerja dengan membuat konten di medsosnya, dan membiarkan para profesional bekerja pada bidang keahlian dan wilayah pengetahuan mereka.

Back to top button
Verified by MonsterInsights