CerpenSastra

Sadah dan Kematian yang Tersia

Di akhir pekan, mudah saja kau mendapati orang-orang menghabiskan waktu dengan berolahraga atau menggelar demonstrasi di depan gerbang balai kota.

Pagi itu aku dan Pine, adikku, berjalan-jalan di taman balai kota. Pine memaksaku menghampiri aksi demonstrasi segerombolan orang bermasker yang menggeletakkan tubuhnya di depan gerbang balai kota.

“Apa mereka mati?”
“Tanyakan saja sendiri.”

Dengan lugu, Pine mengguncang tubuh salah satu peserta demo, “Hei, Mas, apa kau sudah mati?” Tubuh itu tak menjawab. Aku terkekeh melihat Pine benar-benar menanyai salah satu dari mereka. Aku mengajak Pine pergi, namun ia tetap bersikeras untuk mendapat jawaban dan tetap mengguncang-guncang tubuh itu.

Dengan nada kesal seakan tak ingin diganggu, salah satu di antara mereka menimpali.

“Iya, Adek, kami sedang mati.”
“Kenapa kau mati?”

Aku yang ingin segera mengajak Pine pergi bertanya pada satpam penjaga gerbang tentang penyebab kematian mereka, “Tidak tahu, Mas. Tanyakan saja sendiri.”

“Jadi, kenapa kalian mati?” ucapku membantu Pine mencari jawaban. Satpam itu terkekeh setelah melihatku benar-benar menanyakannya.

“Saat ini kami mati terkena Covid-19, Dek, pemerintah tidak mengurus dengan benar.” Salah seorang demonstran menimpali, berusaha bersikap menyenangkan.

“Kalian mati terkena Corona? Apa maskermu tidak berfungsi?” sergah Pine. Mendengar itu, aku menarik tangan Pine, meminta maaf pada segerombol orang tersebut kemudian pergi. Jelas aku tak ingin membuat para demonstran itu tersulut emosi dan memaki kami karena pertanyaan-pertanyaan Pine yang luar biasa lugu.

Setelah kejadian itu, aku bersumpah tidak akan mengajak Pine pergi ke balai kota atau melihat aksi demonstrasi lagi. Terlebih aksi pura-pura mati. Aku serius, sebab sama sekali tidak lucu jika tubuh yang tergeletak di depan balai kota adalah mayat sungguhan.

Aku langsung mencari angkot jurusan pasar B. Sebenarnya, rumah kami tidak terlalu jauh dari balai kota, sekitar dua puluh lima menit perjalanan jika naik angkot atau lima belas menit jika menggunakan kendaraan pribadi. Suasana lengang, di Minggu pagi, lebih banyak orang memilih menghabiskan waktu dengan tidur ketimbang olahraga atau keluar mencari udara segar. Di dalam angkot, di bagian belakang hanya ada kami berdua, di bagian depan pun hanya ada sopir dan lelaki setengah baya yang mengempit ayam jago di bawah ketiaknya.

“Kau lapar?” tanyaku pada Pine, setelah ia memilih tempat duduk.
“Ya.”

Aku merogoh saku, mencari uang kecil dan memberinya pada sopir, “Warung Soto Wawan, Pak,” ucapku setengah teriak.

Jalanan tidak begitu ramai, aku mengamati gedung-gedung dan orang-orang yang baru membuka gerainya dari jendela. Pine terlelap, setelah angin membelai mukanya melalui jendela yang sengaja ia buka lebar.

“Kau dari mana, Dek?” Lelaki setengah baya dari kursi depan menanyaiku.
“Kecamatan Balong Tugel, Pak.”
“Bukan tempat tinggalmu, tapi kamu baru dari mana?” ujarnya dengan bibir setengah tersenyum.
“Oh, dari balai kota, Pak. Cari udara segar.”

Lelaki itu tidak langsung menanggapi, ia merogoh kantongnya, mengeluarkan sebatang rokok kemudian menyulutnya. Setelah lama, ia membuka kembali percakapan.

“Kau lihat ibu tua yang memakai payung hitam di depan gerbang balai kota?”
“Entahlah, aku tidak mengamatinya, sepertinya sih tidak ada.”

Lelaki itu menghela napas, “Syukurlah.”
“Kenapa memangnya?”

Lagi-lagi ia tidak menanggapi, hanya menghisap rokoknya dengan panjang, ”Kau orang baru di sini?”

“Iya, Pak, baru beberapa bulan tinggal di sini, orang tua pindah tempat kerja setelah penerapan New Normal berlangsung.”
“Baru pertama kali ke balai kota?”

Aku tidak menggubrisnya, memilih untuk mengamati beberapa kendaraan yang berhenti di tengah lampu merah.

“Ibu tua yang membawa payung hitam itu sudah bertahun-tahun melakukan demonstrasi tunggal, ia berdiri di depan gerbang balai kota setiap hari, juga dengan payungnya. Hampir semua orang asli sini mengetahuinya. Karena iba, tak jarang pula orang membujuknya agar ia tidak melakukan demo lagi,” bebernya lagi.

“Bukannya dia sudah berumur enam puluh tahun ke atas, Pak?” Mas Sopir menanggapi.
“Ya, sekitar segitu. Dulu waktu aku jualan kacang rebus, dia sudah melakukan demo itu.”
“Daripada disebut ibu, bukannya lebih pantas disebut nenek?”
“Kan kubilang ‘ibu tua’, Mas…”
“Iya juga, tapi, apa anaknya masih belum ketemu?”
“Kalau dilihat dari ketiadaannya di balai kota, ada tiga kemungkinan. Entah memang anaknya sudah ketemu, entah dia sudah putus asa.”
“Yang ketiga?”
“Aku tak ingin mengatakannya. Begini-begini, aku juga tidak ingin nasib buruk yang lain menimpanya,” ucapnya sok bijak.

Suasana kembali lengang, belum sempat aku menanyakan lagi tentang apa yang terjadi pada anak dari si ibu tua, angkot itu memelankan lajunya, mengambil haluan kiri, “Warung Soto Wawan, Mas,” sergah Mas Sopir.

Aku segera membangunkan Pine dari tidurnya. Aku memandang geli saat ia terkejut dan tampak kebingungan. “Ayo, sudah sampai,” ucapku. Ia menguap, membenarkan posisi duduknya, bersiap untuk turun.

Angkot itu melesat pergi, meninggalkan kami berdua di depan warung soto legendaris yang cukup sering dikunjungi keluargaku. Pemiliknya, Ibu Surti, langsung tergopoh menyambut dan meneriaki kami dari dalam warung, mempersilakan kami masuk. Badan berisi dengan setelan daster dan kain lap adalah ciri khasnya, ia cukup cerewet sebagaimana ibu-ibu pada umumnya, tapi sangat ramah. Aku berjalan lebih dulu memasuki warung, meninggalkan Pine yang berjalan sempoyongan, memunguti kesadaran.

“Soto babat dua porsi, Bu, yang satu nasinya setengah saja.”
“Iya, tunggu ya.”

Dengan sigap Bu Surti menyiapkan hidangan. Pine menghampiriku, mengambil dua bungkus kerupuk sebelum akhirnya duduk di sampingku.

“Habis dari mana tadi, Mas?”
“Dari balai kota, Bu.”

Biasanya, warung di sini cukup ramai. Karena warung ini hanya berjarak dua petak tanah dari Indomaret, orang-orang banyak yang sekalian mampir untuk memanjakan perutnya. Namun kali ini hanya ada aku, Pine, Bu Surti dan dua pelanggan lainnya.

Pine sudah menghabiskan dua bungkus kerupuk sendirian, aku mengambil satu gorengan, sembari menunggu hidangan tiba.

“Pak Wawan ke mana, Bu?”
“Ke pasar, Mas, cari daun jeruk sama cabe.”

Bu Surti menyahut dari belakang, kemudian muncul dengan kedua tangan membawa mangkuk.

“Oh iya, Bu, sama es tehnya dua ya.”
“Siap, Mas,” sahutnya, sambil menurunkan botol kecap dan sambal. Ia mempersilakan, lalu pergi ke dalam lagi, setelah beberapa lama, ia muncul kembali dan meletakkan dua gelas es teh di atas meja.

“Emang ngapain, Mas, ke balai kota?”
“Lihat orang mati, Bu,” sahut Pine sambil meniup makanan.

Sontak aku mengibas kepalanya. Bu Surti yang mendengar hal itu langsung penasaran, kemudian menyerang kami dengan petanyaan.

“Ha!? Memang ada orang mati di balai kota? Kenapa dia mati, kena Covid-19 kah?”
“Ada banyak orang, Bu, tidak tahu siapa. Waktu Pine tanya dia mati kenapa, dia jawab mati kena Covid,” jawab Pine.

Sebelum terlalu panjang, aku pun menjelaskan pada Bu Surti bahwa itu hanya aksi orang-orang yang melakukan demonstrasi. Tidak benar-benar mati. Ia melenguh lega bercampur kecewa. Sebagai permintaan maaf, aku mengalihkan topik pembicaraan.

“Bu Surti tahu ibu tua yang selalu membawa payung hitam di depan gerbang balai kota?”
“Kalian baru berjumpa dengannya???”
“Tidak, Bu, tadi di angkot ada yang membicarakannya.”

Bu Surti menjelaskan, bahwa ibu itu bernama Sadah, ia tahu namanya sebab dulu ia sempat membujuknya agar berhenti melakukan demonstrasi yang tak kunjung mendapat respon dari pemerintah. Ia melanjutkan, bahwa Bu Sadah melakukan itu untuk mencari anaknya yang hilang secara tiba-tiba.

“Sebagai sesama perempuan, juga sesama ibu, jelas aku tidak tega melihat nasib yang menimpanya. Apalagi dia sudah melakukan demo itu bertahun-tahun lamanya, demi bertemu atau mencari anaknya,” beber Bu Surti.

“Memang apa yang terjadi pada anaknya itu?” Aku menyahut, sambil menambah sambal ke dalam mangkuk.

Belum sempat Bu Surti menjawab petanyaanku, seorang pelanggan menghampiri kasir, menanyakan jumlah yang harus dibayar. Pelanggan itu pergi, meninggalkan kami bertiga dan satu orang pelanggan yang asyik sendiri dengan gadgetnya.

Sambil menata uang, Bu Surti melanjutkan ceritanya, kami pun mendengarkan dengan saksama. Ia mengatakan bahwa tidak ada yang tahu pasti mengapa anak Bu Sadah menghilang. Hanya saja, rumor yang beredar mengatakan bahwa anaknya telah diamankan oleh polisi atas tuduhan propaganda penggulingan rezim yang berkuasa saat itu.

Karena tidak ada yang tahu kepastiannya, orang-orang mulai menduga-duga sendiri. Ada yang mengatakan, kepergiannya atas kehendaknya sendiri, anak Ibu Sadah memang sengaja meninggalkan ibunya. Ada yang mengatakan bahwa anaknya telah diculik, anaknya dicuci otak ekstremis, kemudian sukarela terjun ke Afganistan untuk berperang membela Islam. Yang lebih ngawur, karena Bu Sadah berkulit gelap, ada yang mengatakan bahwa anaknya, diam-diam ke Amerika, ikut menuntut hak sipil masyarakat kulit hitam Afrika-Amerika di sana. Nah, karena tak tahu jalan menuju bandara, anaknya tersesat dan tidak pernah kembali.

“Apa pemerintah sama sekali tidak melakukan sesuatu?” tanyaku pada Bu Surti.
“Entahlah, ibu juga heran, padahal sudah bertahun-tahun ia melakukan demo seperti itu. Tidak ada tindakan konkret. Orang-orang di dalam balai kota itu tampaknya tidak punya empati sama sekali pada seorang ibu yang kehilangan anaknya?”

Keringatku mulai becucuran dari dahi dan batang hidung, aku meneguk habis es teh yang tersaji di atas meja. Sementara Pine sudah sejak tadi menghabiskan makanannya.

Aku melepas posisi duduk, mengambil uang dari saku dan memberikannya pada Bu Surti, “Tidak tahu juga, Bu.”

Setelah Bu Surti memberi uang kembalian, aku mengucapkan terima kasih, lalu pergi bersama Pine meninggalkan Bu Surti dan satu pelanggan tersisa. Mungkin butuh sekitar sepuluh menit jika berjalan kaki dari warung itu menuju rumahku. Kami terus berjalan, sesekali aku menyapa orang yang berpapasa dan kebetulan kenal, mengamati orang yang menyapu halaman rumah atau menikmati jalanan yang lengang. Sesekali bus lewat mencari penumpang, sesekali ada ambulan melaju tergesa, entah hendak menjemput kematian atau sekadar mengantar pulang pasien.

“Hei, Mas, apa Bu Sadah sudah mati?” tanya Pine tiba-tiba.
“Entahlah.”

Kami tetap berjalan, Pine tidak lagi bicara, tapi ia masih tampak penasaran. Mungkin Pine tidak tahan, akhirnya ia bertanya lagi.

“Hei, Mas, apa pemerintah itu jahat?”
“Entahlah, tanyakan saja pada orang-orang yang mati karena Covid-19.”

Back to top button