Opini

Urgensitas Santri dan Sanad dalam Berdakwah

“Sanad adalah bagian dari agama, jika bukan karena sanad maka setiap orang benar-benar akan berkata –tentang urusan agama— terhadap apapun yang ia inginan,” (‘Abdullah ibn al-Mubarak).

Seiring dengan berkembang pesatnya era digital, dakwah mulai memanfaatkan keterbukaan internet melalui platform media sosialnya seperti Youtube, Telegram dan WhatsApp. Tak heran jika pendakwah-pendakwah baru di era kekinian ada yang terbiasa disebut ‘ustadz medsos’. Salah satu hal yang menarik dari para ustadz medsos ini adalah topik ceramah mereka yang aktual, ringan, bahkan beberapa di antaranya menggunakan teknik bercerita tentang masa lalunya sebagai pendosa, mantan pendeta, mantan napi atau cerita-cerita kelam lainnya yang bisa menimbulkan motivasi bagi pendengarnya. Sedangkan para pendakwah serius, ketika membahas sesuatu, mereka akan panjang lebar dan memasukkan berbagai pandangan ulama empat madzhab di dalamnya. Sementara ustadz-ustadz medsos biasanya akan langsung menembak pada satu kesimpulan disertai ayat al-Quran dan Hadits Nabi.

Problematika yang cukup vital adalah terkait ketersambungan sanad ilmu dari para ustadz medsos tersebut. Tidak jarang kita temui pernyataan ustadz-ustadz medsos yang mengatakan bahwa mereka belajar secara autodidak melalui Youtube atau portal-portal Islami lain. Misalnya saja ada ustadz yang mengaku belajar Islam secara mandiri dan mengatakan bahwa gurunya adalah Rasulullah dan para Sahabat langsung (12/8/2018). Ada kejadian yang ramai beberapa waktu yang lalu, video seorang pendakwah yang tidak mengaplikasikan ilmu tajwid ke dalam bacaan al-Qurannya (28/6).

Kejadian-kejadian tersebut menunjukkan bahwa dalam berdakwah atau memberikan fatwa agama, modal tampang, pintar ngomong dan kompeten saja tidak cukup, tapi juga harus ada aspek yang dipercaya; guru. Seyogianya perkataan dari Imam Ibnu Mubarak yang telah saya kutip dalam pembukaan di atas, bisa direnungkan kembali sehingga tidak menimbulkan kejadian serupa di masa yang akan datang.

Metode al-Tahammul
Menanggapi pernyataan ‘berguru langsung kepada Rasulullah dan para Sahabat’, hal ini merupakan perkara sulit–bukan berarti mustahil bagi orang awam. Sebab sewajarnya ilmu dihasilkan dari belajar, bukan dilahirkan dari muallaf, apalagi melalui pesan gaib. Begitu pula tidak ada proses instan dalam mencarinya, ada berbagai aspek yang ikut berhubungan dalam menuntut ilmu. Sehubungan dengan hal ini, dalam ilmu Mushthalah al-Hadits ada delapan metode al-Tahamul (menerima) ilmu. Metode ini, walaupun merupakan salah satu diskursus dalam ilmu Hadits–karena fokusnya sanad dan matan, akan tetapi menurut hemat saya, berlaku untuk berbagai disiplin ilmu agama; tafsir, fikih, tasawuf dan lainnya.

Delapan metode tersebut sesuai dengan tingkatannya, yaitu mendengar langsung dari guru, membaca di hadapan guru, seorang guru memberi izin kepada orang lain untuk meriwayatkan ilmu yang ada padanya (al-Ijazah), guru memberikan secara langsung apa yang telah ia riwayatkan (al-Munawalah), al- Kitabah (menulis), guru memberi tahukan kepada para muridnya tentang kitab yang telah diterimanya dari guru-gurunya (alI’lam), wasiat, dan seseorang mendapatkan hadits yang ditulis langsung oleh perawinya (al-Wijadah).

Selain hal-hal di atas, pertanyaan-pertanyaan mengenai sanad dalam belajar agama, substansinya bukanlah muttashil atau munqothi’ semata. Akan tetapi lebih kepada apa yang ditransmisikan oleh guru kepada muridnya. Sisi histori asbabul wurud dalam hadits yang tidak ditemui dalam buku pelajaran, atau mengenai thariq al-istinbath dalam ilmu fikih yang tidak dituliskan dalam kitab-kitab turats. Menurut saya, berguru bukanlah menyoal pemahaman dari suatu lafadz hadits atau kalimat yang tidak diketahui sahaja.

Dari beberapa metode yang telah saya singgung sebelumnya di atas telah mensyaratkan adanya guru dalam setiap tingkatannya. Hal ini menunjukkan bahwa berdakwah di jalan Allah tidak dibenarkan kecuali mendapatkan izin dan atas sepengetahuan guru. Guru memiliki peranan penting sebagai perantara tersambungnya sanad sampai kepada Rasulullah SAW, sehingga belajar secara mandiri kemudian menisbatkan Rasulullah sebagai gurunya secara langsung adalah mustahil adanya.

Diriwayatkan dalam kitab al-Fawaid al-Mukhtarah, seorang dokter yang memahami teks tanpa guru, ia hanya mempelajari buku-buku kedokteran secara mandiri. Suatu hari ia membaca sebuah hadits “Habbah al-sauda’ (jintan hitam) adalah obat bagi segala penyakit,”. Akan tetapi dalam kitab yang dibacanya terdapat sebuah kesalahan sehingga huruf ba’ dalam lafadz habbah berubah menjadi huruf ya’ sehingga ia membacanya “Hayyah al-Sauda’ (ular hitam) …”.

Demi mengamalkan Hadits tersebut, ia mencari ular hitam dan mengonsumsinya, sehingga yang terjadi kemudian dia justru buta dan meninggal. Dari cerita ini, dapat kita ambil kesimpulan bahwa talaki dan mengaji kepada guru atau syekh yang bisa membimbing itu penting. Hal serupa dikatakan oleh Syekh Ibrahim al-Kattani bahwa para ulama dan syekh yang hubungannya bersambung hingga kepada guru-guru sebelumnya, sampai sanad mereka berujung kepada Rasulullah.

Santri Harus Turun Gunung
Dakwah secara bahasa memiliki makna mengajak. Adanya fenomea ustadz-ustadz medsos memang satu sisi memiliki sisi “dakwah” versi mereka tersendiri. Mereka mampu masuk dan merangkul kalangan muda yang sedang semangat-semangatnya belajar agama. Pun mereka mampu merangkul jamaah orang kota yang “haus” akan hal-hal berbau transendental.

Para ustadz medsos itu, meskipun mereka memiliki kompetensi untuk ikut andil dalam berdakwah, tapi secara kualifikasi dan kapabilitas mereka masih patut dipertanyakan. Apabila dakwah yang mereka serukan hanya merupa ajakan ke masjid atau ajakan mengaji, bolehlah hal itu dilakukan. Namun yang harus lebih diperhatikan adalah jika mereka sampai membuka pengajian secara berjam-jam dengan tema khusus, kemudian setelahnya merasa paling benar sendiri dan menyalahkan pihak lain. Hal semacam ini yang mulai bermasalah.

Fenomena ustadz-ustadz medsos yang tidak diketahui sanad keilmuannya itu seolah telah diprediksi oleh Ibnu Mas’ud “… Tidak ada manusia yang dilahirkan dalam kodisi alim, ilmu harus dipelajari. Maka belajarlah kita semua …”. Akan tetapi, hal ini juga merupakan sentilan kepada golongan ustadz yang memiliki sanad keilmuan jelas. Katakanlah para santri pesantren salaf yang telah menimba ilmu selama bertahun-tahun dan telah mempelajari berbagai kitab dasar untuk memahami masalah yang lebih kompleks. Artinya mereka yang sudah lama mempelajari agama dan telah memegang sanad keilmuan juga harus lebih peduli terhadap perkembangan dan problematika umat.

Ketatnya hierarki keilmuan dan begitu merasuknya doktrin “al-adab fauq al-‘ilm” bagi santri salaf kerap menimbulkan perasaan ‘ada orang yang lebih pantas’ atau sungkan terhadap sesepuh, sehingga membuat santri malas untuk unjuk gigi berdakwah. Terlebih bagi santri yang memang malas untuk berdakwah dan memilih banting setir ke dunia lain. Memang benar adanya kontribusi kepada umat tidak melulu melalui jalan ceramah di depan khalayak ramai, akan tetapi melihat kenyataan di lapangan dengan maraknya orang-orang yang gampang ngustadz, itu juga turut dipicu sedikitnya para santri yang mau untuk muncul berdakwah. Wabakdu, jika kondisinya seperti sekarang, andil dan kontribusi santri salaf sebagai pemegang sanad keilmuan agama untuk mau “turun gunung” berdakwah kepada umat agaknya menjadi sebuah kebutuhan mendesak.

Back to top button