Opini

Kenaifan Para Pengusung Khilafah

Sebenarnya orang-orang yang hingga hari ini mengampanyekan khilafah sebagai satu-satunya solusi dari segala problematika manusia modern adalah orang-orang naif yang delusif. Mereka memelintir Kitab Suci dan menjadikan Hadits Rasulullah sebagai alat melegitimasi nafsu mereka atas kekuasaan dan jabatan. Alih-alih menawarkan bayangan keadilan dan keharmonisan masyarakat di bawah naungan sistem khilafah, justru dakwah mereka itu semakin menampakkan bahwa semua hanyalah bualan semata. Bahkan, semata menjajakan ayat-ayat atas nama kepatuhan terhadap Tuhan. Banyak pertanyaan yang ditujukan kepada mereka dari ulama Ahlussunah: misalnya, sistem khilafah seperti apakah yang menurut mereka sebagai sistem yang sah? Khulafaur Rasyidin, Dinasti Umayah, Abasiyah atau lainnya? Namun hingga kini kita belum jua menemui jawaban dari para pemuka pengusung khilafah.

Seruan tentang negara Islam atau khilafah adalah salah satu problema yang dibahas Farag fouda, tokoh sejarawan dari Mesir. Dari Farag Fouda saya berhasil diajak untuk membaca fakta sejarah seobjektif mungkin. Dalam bukunya ‘Al-haqiqah al-Ghaibah’ atau Kebenaran yang Hilang, ia memaparkan beberapa fakta sejarah yang juga turut mewarnai sistem khilafah pada zaman salaf al-salih tersebut. Namun, kematian dan karya Fouda yang ada tak cukup membuka mata orang-orang untuk menghentikan teriakan para pemuja sistem khilafah.

Hal serupa juga terjadi pada negeri kita.  Hingga beberapa dekade terakhir ini, persoalan negara teokrat ini dibincangkan dan diperdebatkan penduduk negeri. Semakin ke sini, para pengusung khilafah semakin terang-terangan berusaha “mengobrak-abrik” NKRI. Bahkan baru-baru ini mereka merilis film Jejak Khilafah di Nusantara. Padahal mereka juga mengetahui fakta sejarah yang dipaparkan oleh Fouda di atas. Bahwa khilafah adalah dagangan yang tidak lagi laku di negeri Timur Tengah. Namun, problematika hari ini bukan lagi problema fakta sejarah, melainkan problema prinsip dan pilihan yang tidak mudah untuk segera diselesaikan.

Bagi kita pengguna media sosial, kita pasti merasakan hiruk pikuk aktivitas dari kaum yang mengaku jihadis dan pengusung ketentuan Allah tersebut. Bahkan, masalah sekecil apapun kini akan digoreng untuk menuju penegakan kalimat Allah. Dari mulai pandemi, ancaman resesi, klepon, hingga penggunaan Avatar di Facebook. Kalimat takbir seolah menjadi jargon yang bisa dibawa dan dijual ke mana-mana. Mereka berjalan ke sana- ke mari untuk meminta pengakuan bahwa ‘saya orang Islam’, ‘saya pembela agama Tuhan’, ‘saya pembela tauhid’ atau ‘saya adalah seorang yang patuh dan taat terhadap agama saya’. Agama yang mulanya sebagai wilayah vertikal, hari ini menjadi suatu hal yang perlu untuk dipamerkan dan hanya sebatas wilayah horizontal (pengakuan dari manusia lain). Sudah menjadi tabiat manusia untuk ingin dikenali sebagai kelompok paling Islami dan paling solutif. Barangkali kaum jihadis tersebut juga terjangkiiti sifat manusiawi yang semacam itu.

Mereka juga berhasil mendompleng pasar labelisasi ‘hijrah’ yang tengah menjadi tren dalam masyarakat kita. Yang menjadi sasaran utama adalah pentolan-pentolan masyarakat yang tiap harinya dilihat di layar televisi, para artis, influencer atau tokoh pemuka lainnya. Arus cara berpakaian mereka juga disyiarkan, bahwa sudah selayaknya kaum muslimin nyunnah dengan celana pendek nggantung dan gamis ala Pakistan atau berjenggot serta berjidat hitam. Hingga hari ini, marak segala jenis busana dengan embel-embel serba syar’i. Seolah keislaman seseorang hanya bisa diukur dari kulit (visualisasi) semata.

Imbasnya, hingga hari ini pun kita masih disibukkan dengan visualisasi sosok manusia paling bertakwa di hadapan manusia. Lantas, bagaimana umat Islam akan mengalami kemajuan jika fokusnya pada hal remeh temeh (furu’iyyah) seperti itu? Islam tidak akan maju hanya dengan para pemudanya memakai celana cingkrang dan meneriakkan khilafah. Esensi Islam sebagai agama rahmatan lil alamin juga tidak akan terejawantah jika para pemudanya sibuk mengafirkan sana-sini. Islam juga tidak akan menjemput ilmu pengetahuan jika yang menjadi pembahasan juru dakwah dan para agamawan adalah tempat keluarnya Dajal, Klepon, Avatar, sementara Nasa sudah bolak-balik melakukan penelitian luar angkasa.

Dalam buku Limaadza Ta’akhharal Muslimun wa Limaadza Taqaddama Ghairuhum, Amir Arslan Syakib menuliskan beberapa sebab yang menurutnya menjadi problematika umat Islam hari ini. Dari sini, saya akan membahas dua sebab utama yang dituliskan oleh Arslan Syakib sebagai sebab pertama dan kedua, yaitu: kebodohan dan kurangnya ilmu.

Pertama, Arslan mengibaratkan mereka yang bodoh adalah yang tidak mampu membedakan mana khamar dan mana cuka. Seseorang yang terjebak dalam hal kebodohan, mereka hanya tidak mampu untuk membedakan mana khamar dan mana cuka. Ia akan mampu melepaskan diri dari kebodohannya jika mau mencari tahu, kemudian terus membaca atau bertanya kepada orang yang mampu mengeluarkan dirinya dari kebodohan tersebut.

Dalam hal mementaskan diri dari kebodohan, yang perlu digarisbawahi juga minat membaca umat Islam. Banyak pemuda Islam yang berstatus sebagai mahasiswa masih mengalami kesulitan untuk menumbuhkan minat baca-tulis dalam diri mereka. Apalagi untuk datang ke seminar dan turut nimbrung di dalam meja-meja diskusi. Menurut saya, langkah untuk mementaskan diri dari kebodohan bisa dimulai dari para pemuda Islam itu sendiri. Jika mereka memiliki wawasan yang luas dan pemikiran terbuka, akan semakin mudah untuk mencarikan solusi dari problematika agamanya. Taha Husein adalah salah satu pemikir yang mengkritisi minat baca umat Islam secara umum dan masyarakat Mesir secara khusus. Ia terang-terangan mengatakan bahwa pemuda negerinya memiliki kemalasan untuk membaca, dan kalaupun mereka mau membaca, mereka hanya membaca buku-buku ringan yang tak berbobot. Hal tersebut disampaikannya dalam buku Mustaqbal alTsaqafah Misr dalam tajuk pembahasan merosotnya kaum intelek yang ada di negerinya.

Bagi Arslan Syakib, yang lebih membahayakan dari kebodohan adalah kurangnya ilmu. Yang saya pahami dari maksud Arslan Syakib dengan diksi ‘kurang ilmu’ adalah mereka yang tahu akan sesuatu, namun belum sempurna dalam pengetahuannya tentang hal itu, tapi sudah memviralkan pemahaman minim yang dimilikinya. Hal tersebut saya temukan dalam narasi sesudahnya, bahwa Arslan Syakib menyebut mereka sebagai golongan orang-orang yang tidak tahu bahwa diri mereka tidak tahu, yang mana ini kalau kata Abu Hamid al-Ghazali sebagai rajulun yadrî annahu yadrî.

Dari sini, sudah selayaknya kita berusaha mengejewantahkan esensi Islam, menyandingkannya dengan semangat moderatisme dan proresivitas, bukan semata membebek kepada para revivalis dan kaum Islamis yang hanya tahu seruan khilafah atau teramat mementingkan visualisasi Islam. Yang tak kalah krusial, sudah selayaknya kita juga sadar akan pentingnya minat baca-tulis umat, agar umat memiliki kemampuan berpikir, berwawasan luas, bisa menerima perbedaan, serta mau menerima pendapat orang lain.

Back to top button