Opini

Menolak Kaku dalam Beragama

Munculnya orang-orang yang mengaku pakar (nyatanya tidak) dalam suatu bidang ilmu, khususnya ilmu agama, menambah sebuah permasalahan bagi umat Islam dan Islam sendiri. Dengan ketidakpakaran dan pemahaman yang tidak utuh terhadap nas-nas agama, mereka (pseudopakar) biasanya berani memberikan fatwa atau pandangan terhadap sebuah permasalahan umat. Misalnya menghukumi semua yang tidak ada pada zaman Nabi adalah bidah. Permasalahan baru yang tidak ada pada zaman Nabi SAW dan tidak disebutkan secara eksplisit dalam al-Quran maupun Sunah. Bermodalkan kepercayaan diri, mereka sedikit-sedikit katakan bahwa itu adalah bidah, dan semua bidah adalah sesat. Bukan tidak mungkin, hal semacam itu akan menimbulkan sikap beragama yang kaku, saklek, fanatik dan bahkan menjadi ekstremis.

Kurangnya pemahaman mereka terhadap bidah menimbulkan perluasan makna bidah. Sehingga ia mencakup segala hal baru yang tidak pernah terjadi di zaman Nabi SAW, meskipun pada hakikatnya bertujuan baik; mengabdi pada agama. Di sisi lain juga meyakini bahwa segala sesuatu harus berlandaskan kepada nas khusus yang menerangkannya. Jika tidak, maka akan pula dianggap bidah dan sesat. Dari sini, saya rasa mereka lupa atau sengaja melupa, bahwa Islam mempunyai kaidah umum yang bisa diterapkan pada hal-hal baru yang tidak ada pada zaman Nabi SAW.

Memahami Bidah
Bidah secara bahasa memiliki makna yang luas. Ia meliputi segala sesuatu yang baru dan tidak pernah ada contoh sebelumnya. Baik itu yang berkaitan dengan agama; semisal shalat, zakat, puasa dan haji, ataupun yang berkaitan dengan hal duniawi; seperti pertanian dan perindustrian. Namun, apakah segala sesuatu yang baru selalu dianggap tercela dan sesat hanya karena faktor kebaruannya atau karena kemunculannya setelah zaman Nabi SAW?

Sebelum menjawab pertanyaan ini, mari kita cermati beberapa pendapat ulama tentang masalah bidah. Imam Syafii, sebagaimana dikutip oleh al-Baihaqi, berpendapat bahwa bidah terklasifikasi menjadi dua. Pertama, perkara baru yang menyalahi al-Quran, Sunah, Ijmak atau Atsar, perkara inilah yang disebut sebagai bidah yang sesat.

Kedua, perkara baru yang baik dan tidak menyalahi satu dari empat hal di atas, maka perkara baru tersebut tidak dikatakan tercela. Pendapat Imam Syafii inilah yang kemudian disepakati oleh para ulama setelahnya, seperti Syekh Izudin bin Abdusalam, Imam Nawawi dan lainnya.

Syekh Izudin bin Abdusalam berpendapat bahwa bidah adalah mengerjakan sesuatu yang tidak pernah dikenal pada masa Rasulullah SAW. Bidah menurut beliau terbagi menjadi lima; bid’ah wajibah, bid’ah muharramah, bid’ah mandubah, bid’ah makruhah dan bid’ah mubahah. Cara untuk mengetahui kelima hal itu adalah dengan membandingkan bidah pada kaidah-kaidah syariah. Apabila bidah itu masuk pada kaidah wajib, maka menjadi bidah wajib, begitu seterusnya. Dalam bidah wajib, Syekh Izudin memberikan contoh menekuni ilmu Nahwu sebagai sarana memahami al-Quran dan Sunah. Hal tersebut hukumnya wajib karena menjaga syariah itu hukumnya wajib dan tidak mungkin kita dapat menjaga syariah tanpa ilmu Nahwu.

Pendapat Imam Nawawi tidak jauh berbeda dengan Syekh Izudin. Secara umum, Imam Nawawi membagi bidah menjadi dua macam; bidah baik dan buruk. Secara lebih rinci, beliau juga membagi bidah menjadi lima macam, sebagaimana yang dilakukan oleh Syekh Izudin.

Sementara Ibn Rajab al-Hanbali memaknai bidah secara lebih sempit. Beliau mengkhususkan kata bidah hanya kepada hal baru yang tercela dan tidak mempunyai landasan syariah saja. Sedangkan sesuatu yang masih berlandaskan pada syariah tidak dinamakan bidah, walaupun termasuk dalam kategori bidah secara bahasa.

Dari beberapa pendapat ulama di atas, sudah jelas kiranya bahwa menghukumi sesuatu dengan bidah itu tidak mudah. Diperlukan ijtihad terlebih dahulu, membandingkan dengan hukum syariah yang sudah ada, tentunya dengan menguasai ilmu-ilmu pendukung seperti Nahwu, Ushul Fikih, Qawaid Fikih dan lainnya. Bukan hanya dengan menghafal satu Hadits “Kullu bid’ah dlalalah” lantas dengan mudah menghukumi bidah. Apalagi mengatakan bahwa semua bidah sesat dan menyebabkan masuk neraka.

Waktu yang terus berputar dan zaman terus saja berjalan, meniscayakan selalu munculnya hal-hal baru yang diperbolehkan dan tidak ada di zaman Nabi SAW. Allah SWT telah menjadikan syariah Islam relevan dengan setiap waktu dan tempat. Segala sesuatu yang baru pasti mempunyai hukum yang bersumber dari nas syariah. Hukum tersebut hanya dapat diketahui oleh para ulama, bukan para awam. Maka tidak heran jika Allah SWT memerintahkan kita untuk bertanya kepada ulama, apabila tidak memahami sebuah permasalahan.

Pentingnya Bermadzhab
Fenomena tabdi’ (menganggap orang atau kelompok lain ahli bidah) ini tidak muncul secara tiba-tiba di tengah masyarakat muslim, ada faktor-faktor yang mendorongnya. Selain karena pemahaman yang tidak komprehensif terhadap nas agama, seperti yang saya sebutkan di prolog tulisan ini, pun dipicu faktor jauhnya masyarakat dari turats dan kekayaan intelektual yang diwariskan oleh para ulama kita. Faktor yang kedua ini dapat kita temui pada orang-orang yang mengajak kita untuk tidak bermadzhab. Menuntut pemahaman secara langsung terhadap al-Quran dan Sunah, tanpa melalui ulama yang ilmunya sudah mumpuni, namun masih bisa salah. Orang-orang ini muncul dengan jargonnya “Kembali pada al-Quran dan Sunah”.

Padahal, kita semua tahu bahwa para ulama terdahulu mengambil kesimpulan sebuah permasalahan lintas madzhab itu mereka juga mengambil dari al-Quran dan Sunah. Apalagi, para ulama madzhab tersebut sudah memahami ilmu syariah secara mendalam, dibantu dengan kecakapan serta penguasaan mereka atas ilmu-ilmu alat. Lebih dari itu, para ulama terdahulu dikenal dengan keikhlasan dan sifat waraknya, selain itu pada kenyataannya mereka juga lebih dekat dengan masa Nabi SAW dan Sahabat. Maka dari itu, pandangan-pandangan mereka terhadap suatu permasalahan memang layak untuk diikuti. Mengikuti para ulama tersebut sama saja dengan mengikuti al-Quran dan Sunah.

Lantas, jika masih ada yang menolak untuk mengikuti pendapat ulama dan mengajak kembali pada al-Quran dan Sunah, apakah mereka mampu memahami al-Quran dan Sunah secara utuh, sehingga tidak perlu memakai kacamata ulama? Apakah mereka sudah mencapai derajat mujtahid? Jika memang sudah demikian, tidak akan ada salahnya jika langsung kembali pada al-Quran dan Sunah, tentu tetap dengan syarat memenuhi kriteria menjadi mujtahid, menghormati turats ulama sebelumnya dan membantahnya dengan kritik yang konstruktif.

Apabila sebaliknya, dalam artian, masih belum mampu memahami dan menyimpulkan sebuah hukum secara langsung dari al-Quran dan Sunah, serta masih di level hanya bisa memahami al-Quran dan Sunah dari terjemahan, maka saya rasa, kita tetap membutuhkan seorang ulama. Tujuannya agar kemudian kita dalam beragama menjadi tidak kaku dan serampangan dalam menghukumi sesuatu. Karena kita tahu, tidak semua permasalahan disebutkan secara langsung dalam al-Quran dan Sunah.

Back to top button