Jebakan Spirit Purifikasi Agama

Orang-orang yang bermimpi hidup (layaknya) di zaman Nabi adalah mereka yang terjebak dalam status quo, nostalgia semu dan kejayaan masa lalu. Mereka ingin memurnikan agama dengan cara mengakses aturan dan hukum Tuhan langsung dari sumbernya. Mereka juga hendak mengabdi kepada agama secara by pass alias pintas. Sebentar, sebentar, sengaja saya sebut mengabdi karena dengan hal itu, secara otomatis apa-apa yang dilakukan; mulai dari memahami, mempraktikkan dan mengajak orang lain pun pasti dengan cara yang sama, melalui jalan pintas dan instan.
Mereka tidak sadar atau pura-pura tidak sadar bahwa dalam dimensi agama, atau secara spesifik dalam dimensi syariah sendiri—ada hierarki umum yang berlaku. Secara global, dimensi tersebut dapat dibagi menjadi dua: pertama, ushûl i’tiqâdiyyah yaitu yang berkaitan dengan akidah (teologi), dan yang kedua, furû’ fiqhiyyah, berkaitan dengan hukum Islam. Yang mana, masing-masing dari dua dikotomi ini terbagi menjadi ushûl (aspek statis) dan furû’ (aspek dinamis). Aspek dinamis di sini, secara tidak langsung mengafirmasi bahwa syariah Islam itu kontekstual sepanjang masa. Dan tentu bukan hal yang aneh jika pembaharuan wacana keislaman (Tajdîd al-Khitâb al-Dînîy) terdengar gaungnya di mana-mana.
Mereka bisa diibaratkan sekelompok orang di lantai dasar yang hendak pergi ke lantai atas flat, tanpa melewati tangga atau lift yang tersedia di flat itu. Mereka ingin tiba-tiba sampai di lantai atas, tanpa mau bersusah payah melewati tangga satu per satu. Sebuah keinginan yang lucu, utopis dan mustahil.
Terkait model beragama semacam ini, saya jadi teringat buku Syekh Ali Jum’ah, al-Tharîq ilâ al-Turâts. Sebenarnya buku ini bukan tulisan beliau langsung, namun berupa hasil seminar “Pengenalan Ilmu-ilmu Keislaman (Naqliyyah-Turâtsiyyah) bagi Peneliti Ilmu-ilmu Humaniora” yang dimulai pada 20 November 2001. Hasil seminar ini kemudian dibukukan oleh pusat penelitian ilmu-ilmu politik di bawah koordinasi Dr. Nadia Mushtafa dan Dr. Saifudin Abdul Fatah.
Berlatar belakang kegelisahan Syekh Ali Jum’ah akan adanya retakan antara pemahaman masyarakat muslim dengan pemahaman ulama, terjadi tumpang tindih dalam memahami turats Islam dan ilmu-ilmu sosial. Layaknya setiap sel yang hidup dan berkembang, lambat laun retakan itu akan menjadi lubang yang cukup besar.
Syekh Ali Jum’ah menyampaikan sebuah ceramah (muhâdlarah) terkait kegelisahan itu di kanal YouTube beliau yang diunggah 11 Januari 2020, bahwa banyak masyarakat muslim membaca turats tapi tidak memahami apa yang dibaca. Retakan pemahaman itu benar-benar tumbuh, makin membesar. Karena tentu yang dimaksud bukan pemahaman yang dangkal, melainkan pemahaman yang mendalam (fahm amîq). Dengan pemahaman yang mendalam, nantinya mereka (atau bahkan kita) dapat mengambil sikap, mau menerima pendapat ulama, atau menolaknya. Mau mengkritisi, atau memilahnya.
Dalam buku tersebut, Syekh Ali Jum’ah mendefinisikan turats Islam sebagai produk manusia yang dinukil secara verbal atau lisan (bagi umat Islam) sebelum masa seratus tahun. Dari definisi ini, hal yang perlu digarisbawahi adalah turats tidak membatasi pada hasil cipta masyarakat muslim. Turats juga mencakup karya cipta non muslim—selama memiliki sumbangsih terhadap kemajuan peradaban Islam. Semisal karya Louis Ma’luf, kamus al-Munjid. Dan dengan batasan seratus tahun, buku-buku kontemporer di masa sekarang, suatu saat akan menjadi turats seiring berjalannya waktu.
Secara universal, ada tiga tahap yang ditekankan Syekh Ali Jum’ah dalam memahami turats, pertama, pemahaman dan konsepsi. Seseorang harus memiliki pemahaman dan konsepsi yang sudah matang. Tidak hanya paham di permukaan, namun juga sungguh-sungguh meresapi, jauh, mendalam. Konsepsi itu merupakan titik tolak menuju tahapan berikutnya, yang kedua, yaitu tajrîd (netralisasi). Penetralan atau netralisasi ini berkaitan dengan lima ‘awâlim (komponen). Lima komponen ini adalah komponen partikel kecil, seorang pelaku, rumus/lambang, pola pemikiran dan sebuah peristiwa. Yang nantinya, kelima ‘awâlim (komponen) ini disaring dan dihilangkan dari konteks turats. Baru kemudian beranjak pada tahap selanjutnya. Ketiga, istinbâth. Proses istinbâth ini bukan istinbâth al-hukm (menggali hukum) dari turats yang sudah ada, melainkan menggali metodologi dan kaidah yang tercantum dalam turats tersebut.
Dari tiga tahapan itu, setidaknya kita menyadari beberapa hal. Pertama, keberadaan retakan dan lubang yang cukup besar antara masyarakat muslim dengan turats–nya akan sirna salah satu caranya dengan mengaplikasikan tahapan yang telah diupayakan Syekh Ali Jum’ah. Dengan mengikuti dan menerapkan solusi tersebut, kita telah meminimalisir lubang itu. Apabila belum mampu meminimalisir, kita telah mengupayakannya. Jika belum mampu mengupayakan, setidaknya tidak membuat retakan dan lubang lain yang lebih besar.
Kedua, apa yang dilakukan oleh Syekh Ali Jum’ah dalam al-Tharîq ilâ al-Turâts adalah bentuk afirmasi bahwa agama dan/atau syariah Islam mampu menjawab problematika kekinian. Syariah tidak selalu hitam-putih dan halal-haram. Syariah tidak sebatas laku ibadah, tapi juga laku intelektual. Semangat mengakses aturan Tuhan seyogianya berbanding lurus dengan kesadaran memahami pola aturan satu per satu.
Ketiga, keberadaan lubang yang cukup besar itu, seharusnya membuat mereka (barangkali juga kita) meyakini bahwa model beragama dan mengakses hukum Tuhan tidak bisa secara cepat dan instan. Spirit kembali pada al-Quran dan Sunah serta spirit purifikasi agama tidak bisa diimplementasikan dengan mendobrak rambu-rambu peribadatan yang sudah ada. Bagaimana dapat melewati jalan pintas, jika di jalan tersebut terdapat lubang dan retakan yang (terkadang) kita sendiri baru menyadari hal itu?