Opini

Penawar Paradigma Naturalistik G30S/PKI

Hari ini (30 September) adalah tanggal sakral bagi bangsa Indonesia, yaitu berkaitan dengan adanya momen bersejarah di hari ini beberapa tahun silam. Bagi masyarakat Indonesia, bau anyir darah, pembantaian, serta bayangan aksi antek PKI terhadap NKRI masih begitu lekat hingga saat ini. Hantu dan trauma PKI masih bergentayangan. Ketakutan atas catatan hitam bangsa tersebut menghasilkan sebuah ressentiment (dendam atau benci) terhadap PKI dan anak cucunya. Ressentiment itu bertambah kuat setiap menjelang atau sesudah tanggal 30 September di setiap tahunnya. Hal itu (bagi sebagian besar masyarakat) disebabkan kebiasaan rezim Orde Baru yang saat berkuasa selalu mewajibkan pemutaran film Pengkhianatan G30S/PKI yang dibuat oleh Arifin C. Noer pada 1984 di setiap tanggal 30 September.

Menyoal film, penayangan atau tidaknya film tersebut juga selalu menjadi topik obrolan hangat setiap tahunnya. Hal itu terlihat dari beberapa protes masyarakat terhadap seorang tokoh publik yang kembali mengingatkan dan menyetujui perihal pemberhentian kewajiban penayangan film tersebut secara resmi sejak September 1998 (Liputan6, 28/9/18). Mereka yang anti PKI, akan berteriak keras untuk mendukung ditayangkannya kembali film tersebut. Bagi mereka yang memilih jalan tengah, akan mendukung penayangan film tersebut, namun dengan mengajukan beberapa persyaratan. Sedangkan kelompok terakhir adalah mereka yang kontra akan penayangan film tersebut. Penolakan itu beralaskan karena lebih memilih menutup sejarah kelam bangsa. Selain aprori tersebut, mereka juga berangkat dari beberapa kritik atas film PKI sebagaimana dihasilkan riset-riset mutakhir sejarawan mengenai peristiwa 1965. Sehingga mereka (orang-orang yang menolak penayangan film PKI) berasumsi bahwa film tersebut hanyalah sebuah propaganda dari rezim Orde Baru. Karena faktanya demikian, akan sangat tepat dan lebih baik jika film tersebut tidak ditayangkan lagi tiap bulan September, agar ressentiment terhadap bangsa sendiri dapat disembuhkan?

Bagi saya, ada yang lebih penting dari persoalan ditayangkan atau tidaknya film tersebut. Yaitu bagaimana generasi muda tetap harus mengerti akan sejarah bangsa. Ditayangkan atau tidaknya film tersebut, ia hanya mampu memberi pengaruh sedikit (emosional sesaat), terlebih jika masyarakat kita mampu lebih berpikir secara terbuka. Karena ressentiment tersebut tidak serta merta lahir hanya dari sebuah penayangan film. Tidak salah lagi, bahwasanya ressentiment terhadap keturunan PKI yang mewabah di masyarakat disebabkan oleh salah kaprahnya cara pandang di antara masyarakat. Mereka menggunakan paradigma naturalistik (cara pandang yang natural) dalam melihat sejarah “Enam Lima” tersebut. Ressentiment tersebut terlihat sempurna, sebab masyarakat yang tidak hidup pada zaman PKI hanya dicekoki doktrin anti PKI beserta keturunannya. Mereka dipaksa untuk mengakui bahwa ideologi tersebut masih diteruskan oleh para keturunan PKI hingga saat ini. Ditambah mereka hanya mampu mendengar kekejaman PKI dari mulut ke mulut yang dikisahkan oleh generasi tua. Sehingga hal-hal tersebut memberikan efek kebencian, dendam, serta membuat masyarakat enggan untuk sekadar membaca atau mencari tahu hal yang berkaitan tetantangnya dari berbagai perspektif para ahli yang menangani sejarah 1965 tersebut.

Paradigma naturaslistik sendiri adalah sebuah kerangka berpikir yang mengumpulkan data berdasarkan observasi situasi yang wajar, sebagaimana adanya, karena pengamatannya dilakukan pada kondisi alamiah (natural setting). Selain itu, ciri lain dari paradigma naturalistik adalah pengamatan dengan memasuki lapangan yang berhubungan langsung dengan situasi dan orang yang berkaitan. Maka dengan ini, saya mampu mengatakan sebagian besar masyarakat kita menggunakan paradigma tersebut sebab; pertama, mereka benar-benar hanya mengumpulkan data apa adanya; yakni data yang diambil dari doktrin yang mereka terima dari para generasi tua, atau sekadar cekokan cerita dari mereka yang tidak akurat sama sekali dalam mengisahkan peristiwa “Enam Lima” tersebut. Kedua, pengamatan mereka terhadap lapangan hanya sekadar berupa tapak tilas. Karena kita sadar bahwa peristiwa tersebut adalah sebuah sejarah. Sehingga mereka mencukupkan untuk menapak tilas ke museum-museum kemerdekaan dengan sebatas membaca potongan sejarah yang tertera di sana.

Penawar Paradigma Naturalistik
Seorang filsuf Jerman kenamaan, Edmund Husserl pernah mengkritisi perihal paradigma naturalistik sekaligus mengemukakan tawaran solusinya. Dalam hal ini, Husserl menawarkan sebuah reduksi dengan tiga tahapannya sebagai sebuah solusi. Pertama adalah reduksi fenomenologis. Dalam reduksi tahap pertama ini, seorang peneliti diharapkan mampu menyisihkan atau melakukan filtrasi terhadap setiap pengalaman inderawi dan subjektif terhadap suatu objek. Dengan kata lain, pada reduksi pertama ini, seorang peneliti dituntut untuk menyisihkan pra-persepsi, pra-sangka, serta pra-anggapan ketika bertemu objek. Termasuk di dalamnya adalah menyisihkan segala anggapan buruk tentang PKI yang bersemayam dalam mindset-nya. Sehingga, diharapkan peneliti mampu untuk menemukan freshperspective (gambaran murni) ketika mengamati objek (red; peristiwa 1965). Hal tersebut ditujukan agar hasil penelitian tidak terdistorsi oleh penilaian subjektif.

Tahap kedua adalah reduksi Eidetic. Reduksi ini ditujukan untuk menemukan eidos atau esensi hakekat atau makna yang tersembunyi dari fenomena yang diamati. Proses ini dilakukan dengan melalui pengamatan yang seksama serta interaktif antara subjek dan objek, bukan melalui proses yang linear (Bertens, 1990). Jika tujuannya adalah menemukan esensi, maka sudah sepatutnya bagi seorang peneliti mampu untuk menyaring semua hal yang tidak termasuk intisari dari fenomena yang diamatinya. Maka dalam reduksi ini, seorang yang siap untuk meneliti peristiwa 1965, sudah sepantasnya bagi dia untuk bisa melepaskan diri dari hal-hal yang tidak ada keterhubungan dengan pelaku ataupun korban peristiwa tersebut. Misalnya adalah melepaskan diri dari segala persepsi yang berkaitan dengan keturunan para pelaku PKI ataupun keturunan para korban kekejamannya. Sehingga dia mampu tetap fokus terhadap apa yang diamati untuk mendapatkan intisari atau makna peristiwa tersebut.

Pada tahap akhir, dilakukanlah reduksi transendental. Inilah yang merupakan tahapan kunci. Dalam bahasa mudahnya, reduksi ini adalah reduksi yang menuntut kita agar mampu melampaui diri kita sendiri. Mengapa demikian? Karena pada reduksi ini, seorang peneliti diharapkan untuk mampu menekan keinginan atau hasrat pribadinya ketika dia meneliti objeknya. Seorang pakar yang memutuskan diri membuka kabut sejarah 1965, maka hasrat pribadinya tidak diperkenankan ikut campur. Dalam tahap ini, dia tidak diperkenankan untuk meneliti peristiwa “Enam Lima” atas keinginannya untuk menjatuhkan PKI atau memaksakan hasil penelitiannya untuk membenarkan ideologi tersebut, ataupun ragam hasrat lainnya. Proses pada tahap ini benar-benar dilakukan dengan cara seksama, iteratif, dan intuitif.

Setelah seorang peneliti akan mampu dengan sempurna membuka kabut sejarah dengan tahapan reduksi tersebut, maka kita sebagai masyarakat (kedua belah pihak, khususnya) sudah menjadi kewajiban kita untuk mampu membuka mata dengan hasil penelitian yang disuguhkan oleh para pakar. Sehingga, ketika masyarakat sudah mampu menerima dan meraih kesadarannya, makna sesungguhnya dari peristiwa kelam tersebut menjadi catatan sejarah yang harus ditadaburi, barulah setelahnya diupayakan usaha rekonsiliasi bagi pihak-pihak terkait. Pencapaian kesadaran inilah yang dituju oleh Husserl dalam fenomenologinya. Dengan adanya hasil penelitian, kemudian baru dilakukannya rekonsiliasi, maka ressentiment tersebut diharapkan mampu terkikis sedikit demi sedikit. Semoga!

Back to top button