Berkhidmah kepada NU?

Saya Nahdliyin tulen. Saya lahir dan tumbuh di lingkungan Nahdliyin. Sejak kecil, saya biasa melihat Bapak berangkat ke kuburan setiap Kamis. Layaknya menjadi keharusan, tahlilan tujuh harian, empat puluh harian sampai haul dilangsungkan setelah ada sanak atau tetangga yang meninggal. Resikonya, saya baru menemukan alasan mengapa harus NU ataupun mengapa harus berafiliatif, ketika saya sudah besar. Bukan sejak dari awal saya mengaku sebagai Nahdliyin.
Setidaknya ketika Aliyah, saya baru mengerti kenapa saya butuh NU. Ia bagaikan filter penyaring air bersih layak minum di antara keruhnya air sungai sebab jauh dari sumber asli pegunungan. Alasan ini sudah sangat cukup untuk membuat saya tidak terpontang-panting saat keluar pesantren menyaksikan pergulatan antar-afiliatif di Indonesia.
Herannya, ada sebuah kalimat sentimental yang sering saya dengar terkait ke-NU-an, yang tidak pernah saya dengar sebelumnya hingga saya kuliah di sini—padahal saya mondok di pesantren yang dibangun oleh salah satu pendiri NU. Berkhidmah kepada NU. Ketika mendengar kalimat itu, seolah hati saya dibuat luluh tak berdaya. Selama ini, saya menganggap kalimat itu begitu keramat sehingga tak terbantah. Oleh sebab itu, apapun ajakan kawan yang disertai dalih “berkhidmah kepada NU” akan langsung saya amini. Tentu saja dengan berat hati. Sebab di balik itu, otak ini tidak berhenti mempertanyakan, mengapa saya harus khidmah ke NU. Kalau memang harus, sebenarnya apa substansi dari ajakan “khidmah NU” yang ia maksud? Apakah saya bisa berkhidmah kepada NU hanya dengan cara menerima ajakan tersebut?
Setidaknya, organisasi Nahdlatul Ulama didirikan karena dua alasan utama. Pertama, motif menjaga akidah Ahlusunah wal Jamaah. Jamak diketahui, saat itu ulama tradisionalis merasa cemas sekaligus prihatin atas naiknya rezim baru di Tanah Hijaz. Pasalnya, di negeri Hijaz terutama di Mekah dan Madinah, muncul larangan-larangan terkait praktik ibadah. Seperti larangan bermadzhab, larangan berziarah ke makam ulama Islam dan beribadah haji sesuai dengan empat madzhab. Oleh sebab itu, ulama tradisionalis Indonesia merasa perlu membentuk suatu komite atau perkumpulan ulama, sehingga memiliki hak untuk mengirim delegasi ke Hijaz guna menyuarakan pendapat.
Tidak hanya itu, yang jarang diketahui adalah bahwa saat itu ulama tradisionalis Indonesia juga berhadapan dengan kaum modernis sebagaimana didedah Gaffar Karim dalam Metamorfosis NU dan Politisasi Islam Indonesia. Yang mana kaum modernis justru menyambut baik rezim baru tanah Hijaz yang puritan tersebut. Ulama tradisionalis juga dibuat geram oleh mereka, sebab tidak mendukung usulan ulama tradisionalis yang meminta rezim Tanah Hijaz untuk menjamin kebebasan cara beribadah seluruh muslim belahan dunia di Mekah. Mereka dibuat kecewa lagi, karena konferensi para pimpinan kaum modernis pada awal Januari 1926 dan kongres al-Islam pada Februari 1926 memutuskan untuk tidak mengikutsertakan kaum tradisionalis dalam delegasi Hindia Belanda ke Hijaz. Hal ini meyakinkan banyak kiai tentang perlunya mengirim utusan sendiri untuk melindungi kepentingan mereka. Dengan maksud inilah, kemudian Nahdlatul Ulama didirikan.
Kedua, ulama tradisionalis juga bermisi membangun nasionalisme. Berbeda dengan kaum puritan yang mempertentangkan nasionalisme dengan agama, bahkan menolak nasionalisme dengan menyebutnya “kafir” atau “thâghût”, ulama tradisionalis justru mendukung nasionalisme sebagai landasan ideologis dalam bernegara. Mereka belajar dari konflik negara-negara di Timur Tengah yang tak berkesudahan seperti Irak, Afghanistan, Suriah dan Yaman. Konflik-konflik tersebut memperlihatkan bahwa kesamaan agama, belum atau tak mampu menyatukan pengikutnya dalam bermasyarakat. Negara-negara tersebut berpenduduk mayoritas Islam, namun masih saja terjadi perang saudara, saling berebut kekuasaan ataupun penindasan oleh rezim berkuasa. Tentu saja kita tidak ingin kejadian-kejadian tersebut menular ke bangsa kita.
Selain itu, jika memperhatikan bagaimana awal mula dakwah Islam di Indonesia, kita akan menemukan perjalanan dakwah para cendekiawan muslim di Nusantara tidak pernah bertentangan dengan nasionalisme, juga tidak berlawanan dengan ajaran agama. Mereka menyadari betul, bahwa untuk bisa mendakwakan Islam dibutuhkan tanah air yang kondusif juga. Mereka tidak hanya meletakkan pondasi dakwah yang moderat. Melainkan juga mampu memberi bukti nyata bagi perjalanan historiografi dakwah Islam di Nusantara yang menampakkan wajah Islam yang jauh dari sikap dan tindakan radikal.
Dengan melihat fakta-fakta di atas, menjadi semakin jelas bagi saya, mengapa saya memilih NU. Kiranya tidak berlebihan, jika saya pun mengamini bahwa sebagai Nahdliyin sudah seyogianya saya berkhidmah kepada NU. Sebab bisa dilihat dari rekam jejak awal kemunculan NU hingga saat ini, ia tak pernah mempertentangkan ajaran agama dengan ideologi nasionalisme. Keduanya berjalan beriringan, terbukti tak pernah ada konflik berskala nasional yang muncul karenanya. Namun, sampai di sini masih menyisakan pertanyaan, bagaimana substansi dari ajakan “khidmah NU” itu sendiri.
Sudah barang tentu, khidmah NU memiliki makna yang begitu luas. Mengingat bagaimana misi awal terbentuknya jam’iyah Nahdlatul Ulama, maka tindakan kita yang mendukung, menyebarkan, serta mendakwakan misi tersebut (menjaga paham Ahlusunah wal Jamaah dan ideologi nasionalisme) sudah tercakup dalam makna khidmah NU. Ia bisa diterjemahkan dalam berbagai bentuk selama tidak mempertentangkan kedua misi tersebut. Tidak bisa kita mempersempit maknanya dengan ucapan, “Ayo jadi pengurus NU, biar pernah khidmah di NU”.
Kalimat “khidmah NU” sering kali disandingkan dengan kesediaan seseorang untuk menjadi bagian dari pengurus NU. Meskipun hal tersebut benar, akan tetapi masuk dalam struktur kepengurusan NU bukan satu-satunya jalan khidmah NU. Saya pun sering mengernyitkan dahi ketika mendengar kalimat tersebut. Ndilalah karena tidak memahami substansi dari kalimat tersebut, asal menjadi bagian dari pengurus NU, ujung-ujungnya tak becus menjalankan amanah yang dimandatkan. Astaghfirullâh.