Opini

NU dan Masyarakat Industri

Pada 2019 saya mendapatkan kesempatan untuk berlibur ke Indonesia setelah tiga tahun berada di Mesir. Selama satu bulan penuh di rumah, kegiatan demi kegiatan silih berganti berdatangan mulai dari kunjungan ke beberapa kota hingga mengisi acara keagamaan di kampung halaman. Gambaran kampung halaman yang dimaksud bukanlah pedesaan berlatar persawahan dan keramahan masyarakat petani, melainkan kawasan industri dengan berbagai macam hiruk-pikuk kaum buruh dan menengah.

Salah satu hal menarik dari semua kegiatan saya adalah ketika berdiskusi dengan seorang kolega ayah yang berprofesi sebagai pengusaha kontraktor. Salah satu keluhan yang diutarakan adalah berkembangnya arus “Islam Kanan” di kompleks perumahan tempat tinggalnya. Hal tersebut disebabkan oleh ketidakmampuan NU untuk bersaing dengan kaum “Islam Kanan” khususnya dalam bidang pendidikan formal. Padahal, secara jumlah pihak Nahdlatul Ulama sangat diuntungkan karena sebagian besar adalah kaum urban dari desa yang merupakan basis utama kultur keagamaannya. Bisa dikatakan di sini terdapat kesalahan strategi atau pembacaan kultur masyarakat sehingga kurang mampu menjaga arus massa di tengah persaingan ketat perebutan jemaah umat Islam di tengah wilayah perkotaan atau industri. Oleh karenanya, kali ini saya akan mencoba menelaah dua kultur keagamaan antara NU dan masyarakat industri kemudian berusaha menemukan titik temu di antara keduanya.

NU Vis a Vis Masyarakat Industri
Sebelum membahas lebih lanjut, terlebih dahulu saya memaparkan tiga pembagian kultur masyarakat disertai corak keagamaannya oleh Prof. Kuntowijoyo di dalam bukunya, Muslim Tanpa Masjid. Tiga bagian tersebut terdiri dari masyarakat agraris, semi industri dan industri dengan mencukupkan pembahasan pada dua bagian saja. Bagian pertama, masyarakat agraris terdiri dari petani dan orang-orang yang hidup di sekitar daerah pertanian atau perkebunan. Mereka memiliki budaya gotong royong sehingga membentuk masyarakat nan harmonis dan integral. Adapun garis komandonya masih berbasis kultural di bawah kepemimpinan orang yang memiliki pengaruh besar seperti tokoh agama, sesepuh desa dan lain-lain. Selain itu, gaya perekonomian daerah pertanian dan perkebunan cenderung kurang kompetitif karena tingkat produksi dan konsumsi yang relatif stabil dan masih bergantung pada kondisi alam. Kondisi demikianlah yang memengaruhi cara berpikir mengenai kualitas suatu barang atau jasa dengan tidak berpatokan pada harga atau uang.

Corak masyarakat agraris dengan segala keharmonisan dan basis kepemimpinan kultural menjadi tempat di mana Nahdlatul Ulama (NU) dilahirkan dan dibesarkan. KH. Hasyim Asy’ari selaku pendiri pemimpin pertama pun berprofesi sebagai petani dan tokoh masyarakat di daerah Tebuireng. Dari sini, dapat dipastikan bahwa kultur tersebut telah mendarah daging sejak awal berdiri hingga saat ini. Hal tersebut bisa dilacak dari kultur keagamaan yang dibangun berdasarkan prinsip gotong royong dan keharmonisan sosial seperti budaya tahlilan, selawatan, nyadran dan lain-lain. Kemudian, sebagian besar tokoh agama NU berdomisili di desa dan menjadi pemimpin kultural yang mengayomi masyarakat dari berbagai sisi seperti agama, budaya, moral hingga ekonomi.

Selanjutnya, sistem pendidikan yang diunggulkan oleh Nahdlatul Ulama ialah corak pesantren dengan sistem asrama yang tertutup. Pola pendidikan asrama yang tertutup bertujuan untuk memaksimalkan pembangunan karakter santri sesuai dengan arahan pesantren dan mencegah adanya intervensi kultur dari luar yang dapat mengganggu jalannya pengaderan. Selain itu, pondok pesantren menerapkan biaya yang cukup terjangkau dengan tujuan agar dapat mengakomodasi kebutuhan pendidikan seluruh masyarakat hingga lapisan paling bawah. Dengan demikian, kompetisi institusi pendidikan tidak ditentukan dengan harga jasa melainkan kualitas dari pondok pesantren tersebut.

Bagian kedua dari pembahasan kultur sosial milik Prof. Kuntowijoyo ialah masyarakat industri yang terdiri dari orang-orang yang berdiam diri di kawasan industri dan perkotaan. Komposisi masyarakat industri yang berasal dari berbagai daerah akibat urbanisasi membuat karakteristik budayanya cenderung netral atau tidak condong pada budaya daerah tertentu. Sebagian besar penduduk yang hidup di kawasan industri atau perkotaan memiliki tujuan untuk memperbaiki kondisi ekonomi sehingga menciptakan intensitas kompetisi yang tinggi di antara mereka. Komposisi warna-warni, arus urbanisasi yang dinamis silih berganti dan suasana kompetitif menyebabkan turunnya daya keharmonisan masyarakat dan menciptakan watak yang cenderung individualis.

Kemudian, karakteristik kota atau kawasan industri yang terstruktur dan sistematis membuatnya lebih tertata secara tata kelola dan garis komando. Pengelolaan kota diatur oleh perwalian kota atau kawasan yang dipimpin oleh satu wali kota dan dibantu oleh beberapa divisi terkait. Adapun regulasi kepemimpinan berlangsung secara demokratis dan siapapun yang memiliki kualitas dapat mengajukan diri dan terpilih untuk memimpin kota atau kawasan industri tersebut.

Selain itu, sifat masyarakat industri sebagai kawasan perputaran modal besar dengan geliat ekonomi tinggi membuat siapapun ingin mengambil peruntungan sehingga menciptakan kompetisi yang dinamis. Di sana, setiap pelaku ekonomi menjajakan berbagai macam produk dan jasa dengan kualitas dan harga yang bersaing. Hal tersebut kemudian memengaruhi cara berpikir mengenai kualitas barang dan jasa yang berpatokan dengan harga. Semakin mahal harga barang semakin bagus kualitasnya.

Latar belakang kehidupan perkotaan yang sedemikian rupa turut membangun corak keislaman yang berbeda dari Islam ala NU di desa. Ia cenderung lebih substantif dan privat karena penyesuaian dengan karakter individualis masyarakat industri. Kemudian ditambah lagi dengan komposisi warna-warni membuat orang Islam di sana sering bersentuhan dengan berbagai macam corak keislaman hingga agama lain sehingga mereka dapat memilih corak mana yang sesuai dengan keinginan.

Karakter pragmatis pada masyarakat industri pun turut mempengaruhi kaum muslim di perkotaan khususnya pada ranah pendidikan. Berbekal prinsip harga menentukan kualitas secara otomatis mereka beranggapan bahwa sekolah berkualitas ialah sekolah yang memiliki biaya akomodasi paling tinggi. Apalagi jika ditambah dengan ketentuan nilai (grade) tertentu maka akan semakin menaikkan tingkat eksklusivitas sebuah sekolah.

Kondisi-kondisi seperti itu rupanya dimanfaatkan oleh kaum kanan untuk menyebarkan pemahaman Islam versi mereka. Model penyebaran itu dilakukan dengan jalur pendidikan. Membangun sekolah-sekolah Islam yang bonafide untuk menarik massa peserta didik dari umat Islam sekitar. Meski NU sudah beradaptasi dengan turut membangun sekolah formal, akan tetapi kurang diminati karena masih sering berpatokan pada segmentasi kaum bawah yang terkesan murahan bagi orang kota. Oleh sebab itu, wajar saja KH. Said Aqiel Siradj dalam sebuah ceramahnya mengatakan bahwa mayoritas yang mengisi jabatan di perusahaan besar dan pemerintahan dapat dipastikan terpapar radikalisme. Tersebab hegemoni pendidikan sekolah Islam bonafide oleh mereka.

NU selaku Masyarakat Industri
Melihat kondisi di atas, saya tidak ingin berkesimpulan bahwa NU harus mengubah jati dirinya secara total menyesuaikan karakteristik masyarakat industri dan mengakibatkan dualisme-biner di tubuhnya. Bagaimanapun juga kultur keislaman yang dikembangkan NU sudah sesuai dengan karakter manusia sebagai makhluk sosial. Maka di sini yang menjadi perhatian utama ialah strategi propaganda kultur NU untuk masyarakat industri.

Saya rasa dalam hal pengayoman masyarakat, upaya NU cukup efektif melalui pengajian mingguan dan beberapa kegiatan keagamaan lain mengingat kaum urban banyak dari desa yang berafiliasi dengan NU. Akan tetapi, yang perlu dikoreksi ialah konsentrasi segmentasi jasa pendidikan yang juga turut meramaikan pasar kelas atas (high class). Tentunya hal tersebut tidak ditujukan untuk gengsi semata melainkan untuk memperluas jangkauan massa sehingga muslim non-NU juga berminat untuk menyekolahkan putra-putri di sekolah formal milik Nahdlatul Ulama. Tersebab ukuran kualitas di mata masyarakat industri sudah terpenuhi dan dapat menjadi sarana deradikalisasi dan penyebaran Islam Nusantara.

Selain itu, berkaitan dengan persaingan yang cukup dinamis antar-ormas Islam di lingkungan sosial masyarakat industri membuat strategi dakwah Islam kultural yang menitikberatkan pada moral dan keharmonisan tidaklah cukup. Diperlukan materi-materi berbobot yang berkaitan dengan teologi, fikih kontemporer, moral politik dan lain-lain untuk menjaga keteguhan Islam ala NU di tubuh para Nahdliyin. Dengan melakukan beberapa perubahan strategi, maka ada harapan dalam upaya pencegahan radikalisme agama dan menguatkan pengaruh Islam ala NU yang sudah teruji waktu telah menjaga keutuhan bangsa ini dengan semboyan, hubb al-wathan min al-îmân .

Back to top button